Lenteng Agung, Jakarta Selatan

Cerita Tempe dan Tahu

Cerita Tempe dan Tahu
Avatar
Written by Dian Komala

Aku ingat betul hari itu adalah tanggal 24 Juli 2012, yaitu hari puasa ke empat. Hari itu adalah hari ke dua kepulanganku ke Jakarta setelah mengawali puasa di kampungku, Parungkuda, Sukabumi. Dan pada hari itu aku sedang berbincang dengan Mbak Minah, induk semang dari rumah kos yang aku tempati sekarang. Selain menjadi induk semang, Mbak Minah menambah penghasilan dengan berjualan nasi dan lauk untuk makan siang anak-anak kos. Namun ketika bulan Ramadhan tiba, Mbak Minah merubah jadwal makan siang menjadi makan sahur. Mbak Minah dan suaminya juga selalu memanfaatkan momen Ramadhan ini untuk berdagang es buah dan gorengan untuk berbuka puasa di pinggir jalan depan kos-kosan. Menu gorengan andalannya adalah tahu isi dan tempe mendoan.

Dengan menjual es buah di bulan Ramadhan, Mbak Minah bisa mendapat penghasilan tambahan.

Mbak Minah dan suaminya merupakan perantau asal Jawa Tengah. Mbah Minah berasal dari daerah Kebumen dan suaminya dari Cilacap. Kedua daerah tersebut merupakan kawasan yang dikenal sebagai Banyumasan, di mana tempe mendoan berasal dari kawasan tersebut. Pantas lah tempe mendoan dijadikan salah satu menu gorengan andalannya.

Sajian tempe mendoan buatan Mbak Minah yang biasa disajikan untuk anak kos sebelum harga kedelai melonjak.

Namun hari itu saat aku akan memesan tahu isi dan mendoan untuk berbuka puasa, ternyata Mbak Minah tidak membuatnya, dengan alasan dia tidak menemukan tahu dan tempe di pasar. Berceritalah dia tentang para pedagang tempe yang sedang melakukan aksi mogok tidak berjualan karena harga kacang kedelai yang melambung tinggi. Mbak Minah pun merasa merugi karena dua jenis gorengan yang berbahan dasar kedelai tersebut adalah gorengan yang paling laris. Aku pun harus mengurungkan niat untuk berbuka puasa dengan tahu isi dan tempe mendoan.

Orang Indonesia mana yang tidak mengenal tempe dan tahu! Terlebih tempe. Indonesia merupakan produsen tempe terbesar di dunia. Sebanyak 50% dari konsumsi kacang kedelai Indonesia diproduksi dalam bentuk tempe, 40% tahu, dan 10% dalam bentuk lain, seperti tauco, kecap dan sebagainya. Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia saat ini diduga sekitar 6,45 Kg.

Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an terjadi sejumlah perubahan dalam pembuatan tempe di Indonesia. Plastik mulai menggantikan daun pisang untuk membungkus tempe, ragi berbasis tepung (diproduksi mulai 1976 oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan banyak digunakan oleh Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia, Kopti) mulai menggantikan laru tradisional, dan kedelai impor mulai menggantikan kedelai lokal.

Menurut Wikipedia, tempe adalah makanan tradisional yang berbahan dasar kacang kedelai berasal dari Indonesia, tidak seperti makanan tradisonal kedelai lainnya yang biasanya berasal dari Cina atau Jepang. Pada zaman Jawa Kuno terdapat makanan berwarna putih yang terbuat dari sagu yang disebut tumpi. Tempe yang juga berwarna putih terlihat memiliki kesamaan dengan tumpi. Sehingga, kata ‘tempe’ diduga berasal dari bahasa Jawa Kuno. Sumber lain mengatakan bahwa pembuatan tempe diawali pada era Tanam Paksa di Jawa. Pada saat itu, masyarakat Jawa terpaksa menggunakan hasil pekarangan, seperti singkong, ubi, dan kedelai, sebagai sumber pangan. Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa tempe mungkin diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa yang memproduksi makanan sejenis, yaitu koji kedelai yang difermentasikan menggunakan kapang aspergillus.

Pembuatan tempe dimulai dari tahapan perebusan, pengupasan, perendaman dan pengasaman, pencucian, inokulasi dengan ragi, pembungkusan, dan fermentasi. Tempe kaya akan serat pangan, kalsium, vitamin B dan zat besi. Berbagai macam kandungan dalam tempe mempunyai nilai obat, seperti antibiotika untuk menyembuhkan infeksi dan antioksidan pencegah penyakit degeneratif.

Nama ‘tempe’ seringkali disangkutpautkan dengan suatu hal yang mengacu pada sesuatu yang bermutu rendah. Istilah seperti ‘mental tempe’ atau ‘kelas tempe’ digunakan untuk merendahkan dengan arti bahwa hal yang dibicarakan bermutu rendah karena murah seperti tempe. Soekarno, Presiden Indonesia pertama, sering memperingatkan rakyat Indonesia dengan mengatakan, ‘Jangan menjadi bangsa tempe’.

Sedangkan tahu, dalam Wikipedia adalah makanan yang dibuat dari kacang kedelai yang difermentasikan dan diambil sarinya. Berbeda dengan dengan tempe yang asli dari Indonesia, tahu berasal dari Cina, seperti halnya kecap, tauco dan sebagainya. Tahu adalah kata serapan dari bahasa Hokkian (tauhu) yang secara harfiah berarti ‘kedelai yang difermentasinkan’. Tahu pertama kali muncul di Tiongkok sejak zaman Dinasti Han sekitar 2.200 tahun lalu. Penemunya adalah Liu An yang merupakan seorang bangsawan, cucu dari Kaisar Han Gaozu, Liu Bang yang mendirikan Dinasti Han. Sebagaimana tempe, tahu dikenal sebagai makanan rakyat. Beraneka ragam jenis tahu yang ada di Indonesia umumnya diidentifikasikan dengan tempat pembuatannya, misalnya tahu Sumedang dan tahu Kediri.

Biasanya dalam sebuah sinema elektronik di televisi, untuk menggambarkan orang-orang miskin mereka menggunakan tahu dan tempe. Ya, bila orang dalam cerita tersebut makan dengan lauk yang hanya tempe dan tahu, maka orang tersebut sudah pasti miskin. Dalam penggambaran tersebut, bisa disimpulkan bahwa tempe dan tahu adalah makanan orang-orang yang tidak mampu, atau bisa disebut juga sebagai makanan rakyat.

Aksi mogok yang dilakukan oleh para pengrajin tempe dan tahu karena alasan harga kedelai impor yang melambung tinggi. Di mana kedelai impor dari Amerika yang kini sedang dilanda kekeringan menyebabkan harga kedelai meroket. Hal tersebut semakin ironis di mana makanan rakyat pun harus tergantung pada bahan makanan yang didatangkan dari luar negeri.

Aksi mogok para pengrajin dalam memproduksi tempe dan tahu membuat Mbak Minah tidak mempersiapkan tempe mendoan yang biasanya disajikan untuk penghuni kos.

Namun setelah menghilang selama tiga hari, kini harga kedua jenis bahan makanan tersebut naik. Harga tempe yang semula Rp 4.000 sampai Rp 6.000 per potongnya berubah menjadi Rp 6.000 sampai Rp 8.000 per potong, sedangkan harga tahu menjadi Rp 500 per biji dari semula Rp 450 per biji. Saat tempe dan tahu hilang dari pasaran ini, orang-orang pemakan tempe dan tahu harus mulai merubahnya. Misalnya Mbak Minah tidak bisa berbuat apa-apa selain mengganti menu gorengan andalannya menjadi bakwan jagung.

Bakwan jagung menjadi menu pengganti yang disajikan Mbak Minah selama tempe dan tahu tidak tersedia di pasaran.

Tempe dan tahu kini tidak bisa kita bilang sebagai makanan rakyat yang harganya murah. Seharusnya derajat ‘orang-orang tidak mampu’ menjadi naik kelas seperti halnya kenaikan makanan rakyat tersebut. Jika orang miskin tidak mampu lagi membeli tempe dan tahu, makanan rakyat yang bagaimana lagi yang harus dikonsumsi?

About the author

Avatar

Dian Komala

Dian Komala, akrab disapa Ageung, tinggal di Parungkuda, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sehari-harinya ia bekerja sebagai buruh pabrik wig di Parungkuda. Ageung turut aktif di Forum Lenteng dalam Program akumassa, untuk lokasi dampingan Lenteng Agung (Jakarta Selatan) dan Depok. Selain menjadi salah satu penulis aktif di jurnal online www.akumassa.org hingga sekarang, Ageung juga mengelola blog pribadi, bernama www.dariwarga.wordpress.com, yang mengangkat narasi-narasi warga Parungkuda, khususnya warga masyarakat yang tinggal di sekitar rumahnya.

2 Comments

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.