Di sekitar Januari 2010, Forum Lenteng berkesempatan pertama kali bekerjasama dengan Komunitas Pasir Putih dalam Program akumassa. Program yang berdurasi sebulan ini adalah Program Pendidikan dan Pemberdayaan Komunitas Melalui Media(media literacy). Gelar Agryano dan Riezky Andhika Pradana menjadi fasilitator Forum Lenteng untuk kawan-kawan Pasir Putih saat itu.
Dua tahun lebih berjalan, Forum Lenteng kembali bekerjasama dengan Komunitas Pasir Putih. Seperti dua situs sebelumnya yang melakukan peningkatan kapasitas (upgrading) akumassa dengan membuat filem dokumenter panjang, yakni Dongeng Rangkas (2010) bekerjasama dengan Saidjah Forum (Rangkasbitung, Lebak) dan Naga Yang Berjalan Di Atas Air (2012) bekerjasama dengan Komunitas Djuanda (Tangerang Selatan), di tahun 2012, Komunitas Pasir Putih (Lombok) juga melakukan hal yang serupa, yakni membuat dokumenter feature.
Berawal dari cerita Gelar, kisah ini tentang Pak H. Amir, seorang Tuan Guru yang dijumpainya sewaktu menjadi fasilitator program tersebut. Menarik, apa yang dituturkan tentang Tuan Guru ini! Baginya, Tuan Guru yang dijumpainya selama sebulan di sana jauh dari kesan yang dibayangkan. Sejatinya, seorang pemuka agama distereotipkan sebagai seorang yang tinggi dengan nilai kesopanan, serta menjalankan ibadahnya sangatlah tekun, sehingga membuat anggapan dalam pikirannya untuk kepentingan akhirat ketimbang duniawi. Namun, dari pertemuan tersebut, asumsi di atas bertolak belakang. Cerita dari Pak Amir, membuat anggapan dalam dirinya bahwa kedudukan seorang Tuan Guru yang terkesan ‘berjarak’ sudah bergeser di sana. Mungkin hal ini bisa dimaklumi, karena Tuan Guru yang dijumpainya tersebut merupakan Ayah dari salah satu kawan kami di sana, kedekatan inilah yang meminimalisir jarak komunikasi ketika bercakap-cakap dengannya. Atas dasar inilah muncul sebuah cerita tentang Tuan Guru.
Tuan Guru dalam filem? Sebutan mubaligh atau penyebar agama Islam bisa dikategorikan ke dalam beberapa istilah nama, yakni, Syekh, Kyai, Ustadz, Penghulu dan Tuan Guru. Sebutan gelar-gelar ini didasari atas pengetahuan keislaman yang dimiliki, kealiman, kepribadian, pengayoman dan kharismanya dalam masyarakat. ‘Tuan Guru’, istilah sebutan gelar ini, mungkin masuk ke Lombok bisa ditelusuri ketika abad ke-18. Ide yang menarik apabila ‘dipindahkan’ ke dalam bingkaian kamera. Kehadirannya di tengah-tengah ruang masyarakat begitu sangat sentral. Aktifitas-aktifitas agama sampai dengan bersosial dalam masyarakat menjadi suatu bingkaian (frame) yang menarik. Suara mengaji, beribadah, berkomunikasi, terkadang selalu disimbolkan dengan atribut yang menempel di tubuhnya. Tak jarang dengan mengenakan atributnya, seorang ahli agama ini dapat dijumpai dalam sebuah ruang kampanye politik, yang mungkin pada masa sebelumnya, kedudukan seorang Tuan Guru dalam masyarakat cuma sekedar di ruang agama sebagai penasihat dalam perkawinan. Cerita-cerita umum bahwa kesehariannya mengajar agama, mengaji, sembahyang, yang mana penuh dengan nasihat kebaikan mungkin menjadi hal yang stereotip untuk mencapai tujuan umum dari semua umat manusia. Sama halnya dengan cerita seorang tokoh ternama lainnya atau bahkan politikus sekalipun. Ajaran-ajarannya mungkin banyak terbilang nasihat untuk kesempurnaan dalam mencapai tujuan hidup di dunia. Tapi bagi saya dan kawan-kawan, kami tidak membuat filem macam itu. Yang kami lakukan adalah bagaimana berusaha menangkap realitas yang sejujurnya dari Tuan Guru.
Kurang lebih selama dua minggu, di sekitar bulan Februari 2012, saya bersama Gelar dan kawan-kawan Pasir Putih mulai merekamnya. Melihat langsung sekaligus ‘membaca’ Tuan Guru Amir dengan maksud menarasikan sebuah cerita dari Tuan Guru dan elemen-elemen di sekitarnya. Dari asumsi awal, tidaklah terlalu banyak berubah. Tuan Guru Amir ini memang terlihat lebih ‘santai’. Kebetulan pula, kami berdua tinggal di rumah beliau. Seseorang yang terbuka dalam menyikapi hal yang baru, itulah karakter beliau yang kami rasakan selama di sana. Selama produksi, banyak catatan mengenai konsepsi Tuan Guru. Tuan Guru H. Amir mendapat gelar ini atas pemberian masyarakat. Karena dia mengajar di sekolah dan naik haji, lalu masyarakat menasbihkannya sebagai Tuan Guru.
Kedudukannya di dalam ruang masyarakat bukan lagi hanya sekedar mengajarkan agama. Tetapi selama proses produksi tersebut kami juga mendapati bagaimana keterlibatan seorang Tuan Guru dalam memimpin sebuah acara aneka lomba anak-anak di kampungnya, bagaimana dia menonton filem bersama anak-anaknya, menggunakan HP (handphone) saat mengaji, atau bahkan bercanda dengan teman-teman anaknya. Kehidupan Pak H. Amir lebih banyak bersosialisasi kepada masyarakat dengan sangat terbuka dan modern. Pilihan-pilihan ruang Pak H. Amir juga lebih kepada ruang sosial dan agama. Jauh dari ruang politik dan ruang ekonomi apapun. Dirinya lebih memilih mengajar ajarannya untuk umat di rumahnya tiap seminggu sekali.
Dua minggu pun berlalu. Cukup singkat bisa melihat bagaimana sosok Tuan Guru. Namun selama itu, kerja kolaboratif ini banyak mendapat hal tak terduga. Inilah dokumenter. Dalam hal tak terduga kamera harus segera merekamnya. Dalam waktu yang cukup singkat ini kami berusaha merekam tentang Tuan Guru sekaligus merekam Pemenang, Trawangan dan beberapa peristiwa yang terjadi di lokasi lain. Percakapan yang sehari-hari menggunakan bahasa Sasak mendekatkan kawan-kawan lokal kami dengan objek-objek yang ingin direkam, dengan cara dan usaha meminimalisirkan jarak antar subjek dan lingkungan sosial, sehingga memudahkan bagaimana kerja kolaboratif berlangsung selama produksi pengambilan gambar.
Setahun lebih kami coba merampungkan editing filem ini. Kendala bahasa dan waktu memang sedikit menghambat dalam menyelesaikan editing, karena untuk editing memang semuanya dilakukan di Forum Lenteng, Jakarta. Tahap demi tahap akhirnya kami bisa merampungkan editing ini. Potongan-potongan gambar akhirnya berhasil kita susun menjadi sebuah narasi filem.Yakni, narasi tentang Tuan Guru di Lombok.Yang mungkin mendefinisikan bahwa Tuan Guru seharusnya adalah memang seperti demikian.***
Artikel ini merupakan kata pengantar dari Syaiful ‘Paul’ Anwar, sutradara filem Elesan Deq a Tutuq (Jejak yang Tidak Berhenti), dan bagian dari katalog filem dokumenter tersebut. Foto-foto adalah dokumentasi penayangan filem di Balai Pengembangan PAUDNI, Mataram, Nusata Tenggara Barat.