‘Anak dipangku, kamanakan dibimbiang‘ (anak dipangku, keponakan dibimbing), itulah sebait pepatah minang yang menggambarkan fungsi seorang Mamak (panggilan untuk Paman di daerah Minang) yang ikut serta dalam mendidik dan membimbing anak kemenakannya (kemenakan adalah anak dari saudara perempuan yang dipanggil Mamak) layaknya anak sendiri. Tapi lain lagi dengan sebait pepatah yang aku berikan untuk seorang ibu muda, berumur 34 tahun, ‘anak digendong, pambali manunggu’ (anak digendong, pembeli menunggu). Sebenarnya bukan sebait pepatah, melainkan hanya sebaris kalimat atau abstraksi awal tentang ceritaku dari Indiana Café.
Ibu muda itu bernama Ernita, tapi aku lebih sering memanggilnya dengan sebutan Uni (panggilan untuk kakak perempuan di Minang). Indiana Café adalah warung Nasi Goreng milik Ernita yang terletak di pinggir jalan sekitar simpang tiga Bukit Surungan, tepatnya sebelum SMK Cendana, Padang Panjang. Setiap hari Indiana Cafe buka pukul 14.00 WIB hingga 05.00 WIB. Selain menjual nasi goreng, tersedia juga makanan lainnya seperti Roti Cane, Martabak Mesir, Mie Rebus dan Mie Goreng. Sedangkan minumannya hampir sama seperti yang biasa kita jumpai di warung makan lainnya.
Saat pertama kali aku datang ke sana, suara teriakan dan kenakalan anak-anak Ernita cukup berhasil membuat aku jadi kesal. Tapi lama–kelamaan aku jadi terbiasa, karena sering makan di tempat ini, dan terkadang pada akhir minggu aku juga terbiasa untuk ngebon dulu sama Uni.
Kehidupan keluarga Uni Ernita memang cukup unik untuk dituliskan. Seperti sebait lirik lagu Iwan Fals, ‘anak sekecil itu berkelahi dengan wakut, dipaksa pecahkan karang, lemah jarimu terkepal’. Tapi anak-anak Uni bukan dipaksa untuk pecahkan karang, mereka berkelahi dengan waktu karena setiap malam menemani ibunya menunggu pembeli datang.
Kelahiran empat orang anaknya hanya berjarak 1 dan 2 tahun. Anak pertamanya bernama Diki Rahma Putra berumur 7 tahun dan kini masih kelas 1 SD. Anak keduanya, Rahul Kurniawan, 6 tahun, baru sekolah TK, anak ketiganya, Andre Kurniawan, 4 tahun, belum sekolah. Sedangkan yang terakhir, Rian Kurniawan, usianya hampir 2 tahun, ia sudah bisa berjalan tapi masih tetap digendong oleh Uni.
Karena Diki dan Rahul sudah sekolah, selain malam minggu, sekitar jam 9 malam mereka sudah harus tidur. Tapi pernah juga, beberapa hari yang lalu dan bukan malam minggu, sekitar jam 10 malam, Diki dan Rahul masih belum tidur. Saat itu, Uni sedang membuat Nasi Goreng untukku sambil menggendong Rian. Uni berteriak menyuruh kedua anaknya tidur. Teriakan itu lumayan memekakan telingaku, tapi Diki dan Rahul yang sedang asyik duduk menonton Televisi di meja sebelah kananku, justru biasa-biasa saja mendengarkan teriakan ibunya.
Setelah Nasi Goreng selesai dibuat, Uni menghampiri Diki dan Rahul dan membawa mereka masuk ke dalam kamar. Selang 15 menit kemudian, saat Uni sedang membuat Mie Goreng untuk pembeli lainnya, Diki tiba-tiba muncul lagi dan kembali duduk manis menonton Televisi. Saat Diki baru melihat beberapa gambar yang ada di Televisi, Uni yang melihat Diki keluar dari kamarnya kembali berteriak-teriak menyuruh Diki untuk tidur. Sekitar 5 menit kemudian, giliran Rahul yang keluar dari kamarnya, bukannya ikut duduk manis di sebelah abangnya, ia justru menukar-nukar siaran Televisi seenaknya. Diki pun marah dan mereka bertengkar. Selain mendengar teriakan-teriakan ibunya, suara Diki dan Rahul ikut meramaikan suasana makan malamku saat itu.
Itu baru tentang Diki dan Rahul. Belum lagi tentang anak ketiganya, Andre. Dibalik wajahnya yang polos dan terkesan baik, pendiam, serta tidak suka mengganggu orang, ia ternyata sangat nakal. Andre sering sekali menjahili adiknya. Meskipun Rian sudah digendong oleh ibunya, tapi tetap saja Andre menganggu adik kecilnya itu.
Ada tiga teriakan kalau Andre sudah menganggu Rian. Pertama, tangisan Rian saat diganggu Andre. Kedua, teriakan Uni yang melarang Andre untuk tidak menganggu adiknya. Teriakan ketiga adalah giliran Andre yang menangis setelah dimarahi ibunya. Setelah mendengar paduan suara yang tidak jelas di mana nada pertamanya, akhirnya suara-suara itu berhenti juga. Tapi hanya sebentar, Andre yang berhenti menangis dengan sendirinya, memang tidak lagi menganggu adiknya, tapi ia mencari permainan lain. Ia biasa memainkan telepon yang terletak di atas lemari tempat kotak uang atau menganggu pembeli yang sedang makan di sana. Biasanya setelah itu kembali lagi teriakan Uni mengudara di sekitar ruangan Indiana Café. Selain itu, ada lagi tingkah laku Andre yang lainnya. Jika Padang Panjang sudah diguyur hujan, Andre lebih memilih bermain tetesan air hujan yang jatuh dari atap luar Indiana Café. Teriakan yang sudah khas ditelingaku pasti akan terdengar jelas melarang Andre untuk tidak main air hujan.
Meskipun teriakan-teriakan itu sering terjadi di setiap malamnya, pembeli yang rata-rata adalah laki-laki dan beberapa orang mahasiswa di kampusku tetap datang untuk makan di sana. Jika sedang ramai penghasilan Uni bisa mencapai Rp. 500.000,- per malam, kalau tidak terlalu ramai biasanya penghasilan Uni sekitar Rp. 200.000,-.
Saat beberapa hari pertama aku makan di Indiana Café, aku mengira Uni Ernita adalah janda beranak empat. Karena setiap kali malam aku pergi ke sana, sama sekali aku tidak pernah melihat suaminya. Ingin bertanya, tapi tidak enak karena menyangkut persoalan pribadi. Setelah cukup lama penasaran, apakah Uni janda atau bukan, akhirnya terjawab juga pada suatu malam, dan itu pun tidak ada tujuan untuk mencari tahu siapa suaminya.
Ketika itu hari sudah jam 2 dini hari. Selesai makan nasi goreng, ada film bagus di salah satu stasiun televisi swasta. Karena penasaran seperti apa akhir film tersebut, aku ikut menonton dengan sangat serius bersama beberapa pembeli lainnya. Setelah filmnya hampir habis dan jam dinding sudah menunjukan pukul 03.45 WIB, tiba –tiba…
“Ngroooong . . . ngrong . . ngrong . . ngrong …ngrooooong…”
Suara motor berhenti tepat di depan Indiana Café. Semua mata mengalihkan pandangan dari televisi menuju ke luar Indiana Cafe, termasuk aku. Setelah aku lihat dengan seksama, pengendara motor itu adalah penjual Martabak Mesir yang ada di pasar.
Kemudian dua orang anak Uni, Andre dan Rian, bergegas menghampiri lelaki yang baru datang itu dengan kaki mungil mereka. Keduanya langsung digendong dan dipeluk oleh lelaki itu..
“Sebenarnya siapa lelaki itu?”, tanyaku dalam hati.
Sesaat kemudian Uni juga menghampirinya.
“ Mungkin saja itu suaminya Uni.” Aku menjawab pertanyaanku sendiri dengan sok tahu.
Setelah memperhatikan gerak-gerik mereka berdua dan kedekatan lelaki itu dengan Andre dan Rahul, aku yakin ia adalah suaminya. Tapi hingga beberapa hari kemudian aku masih tidak berani untuk menanyakannya.
Dua minggu setelahnya, aku dan dua teman sekampusku pergi makan ke Indiana Cafe. Sesampainya di sana, kami memesan makanan masing-masing. Sembari menunggu Uni selesai membuat makanan untuk kami, aku berbisik menanyakan tentang lelaki pengendara motor itu kepada salah seorang temanku. Jawabannya, persis sama dengan apa yang aku perkirakan. Lelaki itu adalah suami Uni, namanya Safwan.
Saat aku kembali makan di sana Sabtu depannya, sekitar jam 9 malam, seperti biasanya Padang Panjang selalu dibasahi tetesan air hujan. Aku beranikan diri menanyakan lebih jauh tentang kehidupan Uni.
Uni bercerita panjang lebar menggunakan bahasa Padang, inilah terjemahan penjelasannya…
“Tahun 1999, sebelum Uda nikah sama Uni. ia sudah kerja sama kakak Uni. Jualannya sama seperti yang Uni jual sekarang. Ketika itu Uni tidak di sini, karena bekerja di sebuah pabrik triples, di Pekan Baru. Sewaktu pulang ke Padang Panjang, uni dijodohkan sama Uda. Tapi untunglah kami ternyata saling suka. Kami pun sempat berpacaran beberapa bulan, hingga kami menikah sekitar tahun 2000. Setelah itu kami buka usaha sendiri. Modal pertamanya bukan dari kakak Uni, tapi dari hasil gaji Uda selama kerja bersama kakak Uni, ditambah dengan uang yang Uni kumpulkan selama kerja di Pekan Baru.
Indiana Café baru berjalan lima tahun. Tapi sepuluh tahun sebelumnya kami berdua sudah berjualan martabak di Pasar, namanya Martabak Mesir Wan. Ketika itu kami tinggal di pasar, kami masih ngontrak dan hampir beberapa kali pindah. Sudah jelang lima tahun, baru kami bisa membeli rumah di sini. Karena uni sudah biasa ikut jualan sama Uda, maka Uni membuka cabangnya di rumah, dengan nama Indiana Café.
Indiana Café adalah nama yang diberikan oleh teman Uni. Waktu itu, Uni mintak tolong supaya dinding dalam ruangan dilukis olehnya. Katanya, karena kami berdua mirip orang Indian, maka teman Uni melukis gambar Uni dan Uda persis kayak orang Indian. Setelah gambarnya selesai, tulisan Indiana Café dibuatnya di sebelah gambar kami berdua. Sampai sekarang, namanya tetap Indiana Café walaupun kini dindingnya sudah di-cat ulang.
Tiga tahun setelah kami menikah, Diki lahir. Ketika Diki berumur 4 bulan ia sudah Uni bawa ke pasar. Sambil bantu-bantu Uda memasak, Uni tetap menggendong Diki. Sampai sekarang si Rian, tetap uni gendong juga sambil melayani pembeli. Seperti itu juga si Rahul dan Andre, waktu kecilnya.
Banyak orang yang bertanya, “nggak sakit anaknya nanti ?”. Pertanyaan mereka sangat wajar sekali, bayangkan saja, jam 7 pagi anak-anak baru tidur. Nanti sekitar jam 1 siang, bangun lagi. Dari jam 1 siang sampai jam 6 pagi, mereka nggak tidur-tidur. Jam 7 pagi besoknya, baru anak-anak tidur lagi. Tapi Alhamdulillah sampai sekarang anak-anak Uni tidak kenapa-kenapa. Tapi setiap Uni selesai mandikan anak-anak; telapak kaki, ubun-ubun kepalanya, punggungnya, dadanya selalu uni kasi minyak kayu putih. Kecuali sekarang Diki dan Rahul, karena mereka pagi sudah harus pergi sekolah, jam 9 malam sudah harus tidur. Uni berharap kelak jika anak-anaknya telah duduk di bangku sekolah, Indiana Café aka buka pada pagi dan siang juga.
Setelah selesai Uni bercerita. Sambil nada bercanda, terakhir aku menanyakan, “kapan waktunya Uni berdua sama Uda?” Uni pun menjawabnya dengan tertawa cengengesan.
nde pit kamu mengingatkan ku ada utang ke uni indiana pit…
keren tulisannyo,,..
tanpa ada uni entah apa lah daya …
ketika kita ngak ada duit…
ya ngutang nasi gorengnya ke uni dulu..
hahahha
thanks Fan…
sama Fan..klo tidak ada Uni..entah di warung mana kita bisa berhutang klo lagi tidak uang setiap malamnya. Karena kebanyakan warung2 yang lain utang seribu, dua ribu saja…raut wajahnya alah banyak kerut2nya..hehehe
walh pit , fan emang bener indiana cfe tempat kita mengadu klo gy gada duit, selain dy kemna lgi kita mengadu… uni tuw udah kya ibu kita… tempat kita mengadu hehehhe
emang susah jadi anka kost mw mkan slah gak mkan jg slah…
tulisan dan ide cerita yang bagus…………
kak suka………
ada duka….. tapi dibalik tuw smua ada suka………
banyak pelajaran yang bisa dipetik…….
ditunggu crita berikutnya ya……….
salam wat indiana cafe…….
hey hey david.
ternyata kamu penulis,hheu..
keren keren.
tulisannya bikin ayu ngrasa lagi makan d indiana cafe..
skali2 ajak k sana ya viid..
wah…..kerentuh vit jadi kangen sama nasi goreng nya dan roti cani hehehehe….emang uni seorang ibu yang bijak deh. biar lagi repot untuk memasak tapi tetap saja kalo anak nya nangis dia bela2in untuk megendong anak nya sambil masak.
hihi…angga sma fandi jelas banget tampang ngutangnya…
jangan kseringan ngutangnya, ntar uni tu bngkrut, ga da lg t4 klian ngadu…
mmmm….mantap vid, mmg hal-hal sekecil apapun yang ada disekitar kita bsa kita jdi kan sebuah karya tulis di akumassa ini….
appiiiitttt……. cane ciek, mie rebus duo agiah dagiang!!!
jangan lupo bungkus buat yang di seruni!!!
good review…david mulai matang. Selamat.
iy bg..
makasi..atas support dan motivasinya bg^
bgtu toch critana,,, ynda td mikirna jg gtu,,,”suami” mana suami uni,, ank 4 kok uni smua yg ngurus gtu,,, ternyata jualan d pasar,,,
bsa d jdikan sbuah plajaran hidup… 🙂