Sebelum malam itu, pada pagi harinya saya pamit kepada orang tua untuk mengikuti demonstrasi “Sumbar Melawan” di kantor DPRD Sumatera Barat, Padang, 25 September 2019. Gerakan gabungan dari berbagai mahasiswa dan dosen perguruan tinggi, komunitas, dan warga di Sumatera Barat itu menuntut presiden menerbitkan Perpu KPK, pembatalan pembahasan RKUHP, RUU Pertanahan, RUU lain yang bermasalah, dan karhutla.
Pagi itu, orang tua saya sempat cerita tentang sikap polisi yang represif kepada mahasiswa yang demonstrasi di daerah lain pada hari sebelumnya—yang juga telah saya amati lewat media massa. Sesaat sebelum saya pergi, Mama menyuruh saya membaca suatu doa yang ia berikan, sebanyak tiga kali. Saya tidak tahu itu doa tentang apa, tetapi saya yakin itu adalah doa keselamatan. Barangkali, itu sebabnya mereka harus memastikan saya pulang ke rumah.
Setelah membukakan pintu rumah pada malam itu, Apak langsung bertanya, “Kenapa ruangan DPRD dihancurkan, Adi?”
Saya Kira Polisi Begini, Ternyata Begitu
Sebelum menuju gedung DPRD Sumbar pagi itu, saya singgah ke kos kawan. Di sana, sudah siap Adam dan kawan-kawan yang juga akan pergi ke kantor DPRD. Ketika kami akan berangkat, Adam memperagakan suatu pose kepada saya dan bertanya, “Apa jelas seperti sedang merekam saya, Brad?”Saya balas, “Kenapa pula takut merekam?”
“Perekam adalah orang nomor dua yang dikejar polisi, Brad!” kata Adam.
Pernyataan itu mengingatkan saya akan video-video yang beredar di media sosial pada malam sebelumnya, khususnya video-video para demonstran yang bentrok dengan polisi, dikejar, dan digebuk.
Perjalanan saya ke kantor DPRD dipenuhi oleh pikiran ini dan peringatan orang tua saya agar berhati-hati, apalagi dengan polisi. Sementara itu, Adam sepertinya sudah memikirkan cara merekam jika ada tindakan-tindakan represif oleh polisi. Ia telah siap sedia akan kemungkinan terjadinya kekacauan. Saya harus memikirkan pula strategi mengakali kalau ada kisruh dengan polisi. Karena memikirkan strategi itu, saya bahkan lupa membeli kertas karton untuk menuliskan kata-kata protes. Padahal, telah saya siapkan beberapa pantun di HP terkait krisis di Indonesia hari ini, misalnya Irwan Prayitno suka berpantun/Pantunya entah apa saja/DPR kelakuannya ampun/Otaknya entah ke mana. Sebagai informasi, Irwan Prayitno adalah Gubernur Sumatra Barat saat ini dan suka berpantun di depan publik dalam banyak kesempatan.
Sesampai di jalan dekat gedung DPRD, banyak mahasiswa yang mengenakan berbagai jaket almameter dengan bermacam-macam warna. Ada yang sedang menuliskan sesuatu di kertas karton atau kardus, menunggu kawan yang lain, dan konvoi meneriakan tuntutannya. Sampai dekat gerbang masuk gedung DPRD, ada beberapa polisi sedang mengatur lalu lintas agar pejalan kaki yang melintas dapat berjalan dengan lancar.
Seorang polisi menaikkan tangannya, mengarahkannya kepada pengendara. Para pengendara pun menghentikan laju kendaraannya. Saya berjalan menyeberang dengan tetap menaikkan tangan, upaya sendiri menghentikan laju kendaraan. Saya tidak ingin mereka menolong karena saya merasa bisa melakukannya sendiri. Pikiran-pikiran kontra polisi masih bergelayut di kepala.
Beberapa langkah melewati gerbang kantor DPRD, para mahasiswa telah bertumpuk, ramai sekali. Saya berdiri sejenak, mendengar sorakan serentak para pendemo, melihat beberapa polisi sedang bercanda dengan beberapa peserta. Polisi itu meminta izin kepada mahasiswa itu untuk mengambil foto poster yang ia angkat tinggi-tinggi. Setelah memotret, pemotret dan yang dipotret tertawa, tergelak oleh tulisan yang ada di karton mereka itu. Entah apa tulisan di karton itu yang membuat mereka terlihat begitu mesra. Pikiran kontra saya pun mulai sirna.
Sekelompok polisi lain berdiri di sudut gedung. Santai-santai saja kelihatannya. Saya lanjut ke depan, menerobos secara perlahan kerumunan untuk melihat dan mendengar orasi kawan-kawan mahasiswa.
Sekitar jam sebelas, saya berdiri di depan sebelah kanan, berusaha menyimak suara dari toa orator, tetapi susah sekali mendengarnya sebab kerumunan nun jauh di sekitar terkadang bersorak serentak, menampik suara toa. Bukan bersorak, bernyanyi barangkali lebih tepat. Menyanyikan “DPR bangsat!” adalah salah satu liriknya yang bisa saya tangkap.
Di depan itu, tepatnya di depan pintu masuk ke gedung, ada sekitar enam baris polisi berbaris rapat menjaga pintu. Setelah mengamati betul setiap wajah polisi di barisan itu, saya berpikir bahwa ada yang tidak beres: mereka terlihat santai sambil mengawasi aksi mahasiswa.
Salah seorang polisi di dekat saya berjalan beranjak keluar dari kerumunan. Ketika ia melewati saya, saya sapa “Pak” beserta senyuman. Ia tidak menggubris. Barangkali ia tidak mendengar.
Poster dan Long March
Saya tidak sanggup lagi berdiri di sana. Massa mulai memaksa masuk, membuat saya tersudut ke dinding. Saya lalu keluar dari kerumunan, keluar gerbang, dan memutar ke arah samping satu lagi. Saya mulai mengamati dan mendokumentasikan poster-poster yang diangkat oleh mahasiswa. Tidak ada ungkapan poster di sana yang saya ingat karena hampir sebagian besar tulisan-tulisan di poster itu tidak kontekstual sebab tidak berkaitan sama sekali dengan tuntutan, antara lain, “Open VCS”, “Free Konsul”, “Pantek rami mah” (‘Sialan, ramai, ternyata’—trans.). Beberapa hal yang sangat saya cari ialah terkait krisis di Papua dan kriminalisasi aktivis, tetapi tidak ada—belakangan saya baru tahu dari siaran pers, bahwa tuntutan itu tidak masuk dalam tuntutan.Memang poster-poster pemantik tawa seperti itu juga dibutuhkan untuk mengisi luang. Akan tetapi, jika mayoritas berorientasi seperti itu, tentu tidak proporsional pula karena mengakibatkan aksi ini menjadi ajang tawa-tawa saja.
Akhirnya, saya putuskan untuk beristirahat sembari mengobrol dengan kawan-kawan dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Andalas (Unand)—tempat saya kuliah. Dari perbincangan itu, saya ketahui bahwa belum ada koordinasi sesama mahasiswa FIB.
Setelah bertemu dengan Hafiz, tetua FIB, kami berkeliling untuk mengumpulkan mahasiswa FIB di satu titik. Kami pun berhasil berkumpul: cukup ramai meskipun tidak semua. Massa pun dikoordinasi oleh Hafiz. Rombongan diminta istirahat dulu di titik tersebut sembari Hafiz berkoordinasi dengan koordinator lapangan lain.
Cukup lama kami beristirahat. Hafiz kembali dari mencari informasi dan mengabarkan kepada rombongan FIB bahwa kondisi tidak terarah lagi. Tuntutan telah diterima oleh perwakilan dewan dan akan dikirimkan ke pusat, katanya. Kemudian, ia mengarahkan kita untuk long march ke Masjid Raya Sumatera Barat. Sembari kami mulai jalan, Hafiz membisikan sesuatu kepada saya, “Banyak bendera lain berkibar sekarang, Di!”
Saya tidak mengerti sebenarnya dengan “bendera lain” ini, saya simpulkan saja itu bendera di luar aliansi “Sumbar Melawan”, yang barangkali adalah penumpang gelap!
Sepanjang Long March sejauh sekitar 3 km itu, saya berusaha meniru Jean-Luc Godard dalam film Godard Mon Amour (2017). Pada beberapa adegan di dalam film tersebut, Godard ikut dalam demonstrasi sambil meneriakan protesnya. Tetapi, saya bingung harus meneriakan apa. Rombongan yang beriringan dengan saya lebih banyak diamnya. Kami sungguh berjalan dengan tenang.
Sesekali, ada mahasiswa yang mengangkat posternya dan meneriakan aspirasinya. Tetapi, sekali lagi, posternya susah dihubungkan dengan krisis hari ini. “Amak-amak jua lamang/pantek…” (‘Ibu-ibu jual lemang/sialan…’—trans.) ialah tulisan dalam poster itu. Sama sekali tidak menerbitkan niat saya untuk ikut meneriakan kata itu.
Meskipun begitu, pada beberapa kesempatan saya ikut bersorak secara serentak dengan kawan-kawan lain. Yaitu, ketika rombongan pendemo harus berbagi jalan dengan pengendara. Dimulai oleh seorang mahasiswi bernyanyi keras-keras seperti ini: “Lamang-lamang jua etek/Etek-etek jua lamang/Katapi lah saketek/Beko kanai lampang…”. Terjemahan kasarnya; lemang-lemang menjual etek, etek-etek menjual lemang, ke pinggir lah sedikit, nanti kena tampar. Nyanyian itu kemudian kami ikuti.
Kantor DPRD Porak-poranda
Sesudah Magrib di kedai kopi dekat kampus Unand, saya mendapat kabar bahwa ada “pesta” di dalam kantor DPRD Sumbar. Kenapa saya katakan pesta? Pada awalnya, karena beberapa video di media sosial memperlihatkan aktivitas mahasiswa dalam ruangan DPRD itu; terdapat tulisan (caption) bernada “kita menang!” sehingga aksi orang dalam video tersebut menjadi semacam pesta dari kemenangannya.Tapi itu benar-benar mengejutkan saya. Pertama, saya merasa polisi berdamai-damai saja, kelihatannya. Kedua, tuntutan sudah diterima oleh perwakilan DPRD. Alasan apa yang membuat ricuh hingga ke dalam gedung adalah hal yang saya cari di dalam berita-berita terkait.
Beberapa saat kemudian, saya mendapati klarifikasi di media sosial dari beberapa perwakilan rombongan unjuk rasa—termasuk rombongan kampus saya. Mereka berkata bahwa mereka, sebelum kerusuhan dalam gedung, telah pergi mengikuti long march. Hal ini mendapat respon negatif dari warganet karena dianggap sebagai tindakan lepas tangan, cuci tangan, atau menyelamatkan almamater masing-masing. Baru kemudian saya menemukan press release dari aliansi “Sumbar Melawan” yang merangkup semua peserta aksi, dengan pesan sama, yaitu: sesudah tuntutan diterima, aliansi melakukan long march ke Masjid Raya Sumatera Barat.
Ada yang menyesalkan peristiwa itu. Ada yang mendukung aksi itu sebagai bentuk kekesalan rakyat selama ini. Bahkan, ada yang menganggap itu sebagai peristiwa seni. Tapi bagi saya, jalan tengahnya, kita mungkin bisa memaknainya sebagai gejala dari bergulirnya ketidakbenaran dan ketidakadilan di negeri ini. ***