“Tapi gak nemu sama sekali,” ujarnya, sembari menyetir mobil. Saat itu dia mengantar kami dari Jatiwangi menuju Stasiun Cirebon karena kami harus pulang ke Jakarta. “Semuanya tertata dengan baik.”
Kita tahu, Jepang adalah salah satu negara yang tatanan masyarakatnya sudah demikian tertib dan dianggap sebagai masyarakat yang maju dengan etos kerja yang tinggi. Namun, baru-baru ini, media massa memberitakan bahwa pemerintah Jepang menerbitkan peraturan untuk “memaksa” para pekerja agar mau berlibur dalam rangka meningkatkan keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan warga negaranya.[1]Kompas, 9 Januari, 2015, Jepang Terbitkan Undang-undang untuk “Paksa” Karyawan Berlibur, diakses dari http://goo.gl/T3TZlG, tanggal 20 Januari, 2015, pukul 16:12. Situasi ini cukup ironis mengingat cita-cita akan tatanan masyarakat madani, di satu sisi, justru menimbulkan dampak sosiologis yang mengakibatkan anggota masyarakat melupakan esensi dari ketertiban dan makna kehidupan yang sesungguhnya.
Masyarakat madani adalah dampak yang diharapkan dari pembangunan modern, mengikuti perkembangan dari peradaban industri. Di Jepang, salah satu capaian peradaban ini ditandai dengan dibangunnya Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi, yang masuk dalam daftar 15 besar di dunia. Namun, pada 11 Maret, 2011, gempa bumi Tōhoku yang memicu tsunami menyebabkan bencana nuklir di kawasan Fukushima Daiichi, dan berujung kebocoran bahan radioaktif.[2]Eliza Strickland, 16 Maret, 2011, “Explainer: What Went Wrong in Japan’s Nuclear Reactors”, Situs web IEEE Spectrum, diakses dari http://goo.gl/dX8Jc, tanggal 20 Januari, 2015, pukul 17:01. Kebocoran itu mencemari lingkungan, termasuk juga bahan makanan di Jepang, seperti sayuran, teh, daging sapi, ikan air tawar dan susu.[3]Steven Starr, 21 November, 2012, “Costs and Consequences of the Fukushima Daiichi Disaster”, Physicians For Social Responsibility Web site, diakses dari http://goo.gl/lwFFLt, tanggal 20 Januari, 2015, pukul 17:09. Kerugian dan kegelisahan yang terjadi ini tidak hanya dialami oleh kawasan Fukushima Daiichi, tetapi juga meluas ke daerah-daerah lain. Bahkan, Pemerintah Kota Tokyo terpaksa harus menyebarkan ribuan air minum dalam kemasan botol ke rumah-rumah yang diduga memiliki bayi yang terkena radiasi tersebut.[4]Elaine Kurtenbach & Shino Yuasa, 23 Maret, 2011, “Anxiety in Tokyo over radiation in tap water”, Bloomberg Businessweek Web site, diakses dari http://goo.gl/RkW5TH, tanggal 20 Januari, 2015, pukul 17:17.
Dalam karya instalasi dua kanalnya, I live in Fear—After March 11 (2013), Nina Fischer dan Maroan el Sani, melakukan semacam eksperimen secara sinematis untuk merefleksi sekaligus mengeksplorasi kecemasan warga masyarakat dan ketidakpastian (situasi dan kondisi) yang ditimbulkan oleh bencana itu, karena mereka hidup dalam ancaman radiasi yang masih terus berlangsung.[5]Nina Fischer & Maroan el Sani, “I Live in Fear—After March 11”, SeMa Biennale MEDIACITY SEOUL 2014, Katalog, 2014, hlm. 47. Dalam karya yang terinsipirasi dari filem Akira Kurosawa, berjudul I Live in Fear (1955) itu, kita dapat melihat adegan seorang gadis yang enggan meminum air susu di Fukushima karena kekhawatirannya, sedangkan jika di Kota Aichi, ia tidak merasa khawatir sehingga bisa minum susu dengan tenang. Filem ini juga memperlihatkan adegan diskusi yang dilakukan beberapa pengungsi yang berasal dari lokasi yang terkena bencana setelah penayangan filem Kurosawa: ada salah seorang yang mengkritik kepasifan warga di daerah lain di Jepang terhadap bencana nuklir tersebut.[6]Lihat potongan dari filem ini di Web site Nina Fischer & Maroan el Sani, http://www.fischerelsani.net/selected/, diakses pada 20 Januari, 2015.
Penerbitan “UU berlibur” dan bencana nuklir Fukushima di Jepang adalah dua dari sekian banyak contoh yang menunjukkan betapa modernitas tidak selamanya memunculkan kebaikan. Pergesekannya dengan kearifan alam dan tanggapan sosiologis masyarakat, lambat laun, memancing kecurigaan kita akan standar suatu peradaban madani. Refleksi yang dilakukan oleh Fischer dan el Sani memicu niat untuk memeriksa kembali esensi dari peradaban itu. Karya ini merupakan salah satu yang sempat dipamerkan di SeMA Biennale MEDIACITY SEOUL 2014, yang berlangsung dari tanggal 2 September hingga 23 November.
***
Seingat saya, sepulangnya dari Korea Selatan pada awal Bulan September, 2014, Otty Widasari bercerita bahwa SeMA Biennale MEDIACITY SEOUL 2014 merupakan perhelatan seni yang sangat menarik di Korea saat itu. Ia dan Mahardika Yudha adalah dua seniman—anggota Forum Lenteng—dari Indonesia yang karyanya diundang untuk dipamerkan di Seoul Museum of Art (SeMA) dalam rangka biennale tersebut.
Salah satu yang Otty katakan menarik adalah All About Trembling (2004) karya Choi Sunghun dan Park Sunmin. Karya yang mendapat komisi dari SeMA Biennale MEDIACITY SEOUL 2014 itu sendiri berupa mixed media yang terdiri dari kawat listrik dan beberapa plastik. Senimannya mengonstruksi seolah-olah plastik-plastik itu tersangkut di kawat listrik. Pada menit-menit tertentu, plastik-plastik itu akan bergerak atau bergetar, seolah-olah sedang tertiup angin.
“Lu pasti ngakak, deh pas lihat karyanya!” seru Otty, bercerita.
Tatkala saya berkunjung ke Seoul Museum of Art pada tanggal 26 September, 2014, saya tersenyum gembira melihat beberapa tali membentang saling silang di langit-langit ruangan tengah museum. Plastik warna putih dan biru disangkutkan pada tali tersebut. Saya menyadari, sepertinya, plastik-plastik itu bergetar dengan bantuan alat khusus yang diletakkan di balik plastik sehingga sewaktu-waktu plastik akan bergetar seolah-olah tertiup angin.
Kedua seniman yang membuat karya ini berujar dalam sinopsis mereka bahwa kita sering melihat burung gagak atau burung gereja bertengger di kawat-kawat listrik di jalanan. Pemandangan itu memicu prasangka mengenai situasi yang beresiko: tersetrum atau bahkan bisa berujung kebakaran.[7]Choi Sunghun & Park Sunmin, “all about trembling”, SeMa Biennale MEDIACITY SEOUL 2014, Katalog, 2014, hlm. 114. Waktu mendengar cerita Otty di Indonesia, bukannya burung gagak atau burung gereja, saya justru mengingat fenomena pemandangan visual di jalanan yang biasa kita temui ketika musim layang-layang. Pada banyak tiang dan kawat-kawat listrik di pinggiran jalan, ada beberapa layangan milik warga tersangkut. Di Pekanbaru, kota kelahiran saya, misalnya, pemandangan ini sering saya sadari pada sore hari saat layang-layang yang tersangkut itu menggelepar di tiup angin, seakan ingin terbang bebas, tetapi apa daya benangnya melilit kawat atau ujung tiang listrik. Kurangnya area taman bermain, menyebabkan warga yang ingin bermain layangan memilih tanah lapang atau halaman parkir kantor-kantor pemerintahan sebagai tempat menerbangkan layang-layang mereka. Padahal, lokasi itu dekat dengan jalan raya, yang artinya dekat pula dengan tiang-tiang listrik. Banyaknya tiang listrik tidak mengurungkan niat mereka berekreasi, toh banyak juga layang-layang yang berhasil terbang. Hal yang sama juga pernah saya temui di Parungkuda. Anak-anak muda bahkan menjadikan tanah tempat melintasnya rel kereta sebagai lahan bermain layang-layang. Di tempat itu pun banyak kawat listrik membentang.
Sejak dulu, bermain layang-layang selalu menjadi kegiatan musiman bagi warga masyarakat Indonesia. Bisa dibilang, telah menjadi tradisi. Namun, seiring pembangunan kota-kota di Indonesia yang salah satunya dapat dilihat dari penyaluran listrik melalui kawat yang menghubungkan isolator dari tiang ke tiang, dari kota hingga ke desa—pembangunan jaringan kabel listrik bawah tanah belum umum di Indonesia—aktivitas warga ini menjadi sesuatu yang beresiko. Ada semacam gesekan atau benturan antara “tradisi warga” dan pembangunan modernitas. Kembali terkait ke karya All About Trembling, bagi si seniman, gesekan (benturan) itu disadari terjadi di antara kesalinghadiran yang goyah dari nilai-nilai yang saling berkonflik; getaran dari benturan itu berada di antara “perenungan yang muram mengenai dunia yang bergerak cepat” dan “laju peradaban yang tak terhentikan”.[8]Ibid. Sementara itu, dari hasil obrolan dengan Otty, karya ini sepertinya menjadi salah satu wakil yang merepresentasikan ide dari tema biennale di SeMA, yakni tentang hambatan. Plastik-plastik pada karya Sunghun dan Sunmin merujuk pada logika arus dan hambatan listrik, bahwa ternyata ada hambatan-hambatan listrik yang tak diharapkan (di luar rancangan jaringan listrik). Diskusi kami melihat bahwa ini mungkin dapa dibaca sebagai representasi tentang hambatan arus modernitas yang sedang berjalan. Ketika mesin modernitas semakin mapan, layangan (artinya, tradisi) menjadi hambatan. Akan tetapi bukan berarti resiko ini mencerminkan kebuntuan. “Lihatlah layang-layang!” ujar Otty. Sebab, melihat layang-layangan dapat memicu kita untuk melakukan refleksi terhadap tradisi, dan bisa jadi di sana kita akan menemukan jawaban atas perkembangan pembangunan yang ada.
***
Ghosts, Spies and Grandmothers. Hantu adalah kata kunci yang merujuk pada (pemanggilan kembali) tradisi dan sejarah yang terlupakan; Mata-mata adalah simbolisasi yang akan menuntun atensi kita kepada pengalaman dan ingatan tentang penjajahan dan Perang Dingin; sedangkan Andung/Nenek berdiri sebagai dirinya sendiri—bukan sebagai isteri dari kakek atau nenek dari cucu—dan merepresentasikan ketahanan dan kekuatan perempuan yang bersaksi dan menanggung derita di era (waktu) bergulirnya “tradisi”, “kolonisasi” dan “perang”. Walau tak berdaya melawan otoritas, daya tahan dan kasih sayang yang melekat pada citra tradisional perempuan tua dapat dilihat sebagai nilai aktif yang melebihi kekuasaan, dalam artian moral.[9]Park Chan-kyong, “Why “Ghosts, Spies, and Grandmothers”?”, SeMA Biennale MEDIACITY SEOUL 2014, Katalog, 2014, hlm. 8.
Demikian inti dari tema sentral biennale yang ditulis oleh Direktur Artistik Park Chan-kyong pada pernyataan kuratorialnya, dimuat dalam katalog SeMA Biennale MEDIACITY SEOUL 2014. Dalam perhelatan ini, terbaca niatan dari Park Chan-kyong untuk berwacana tentang “Asia”, atau lebih tepatnya—seperti yang seringkali diceritakan oleh Otty berdasarkan diskusinya dengan Park Chan-kyong—melihat kembali ke belakang bagaimana sesungguhnya “Asia modern” itu.
Menurut Otty, prinsipnya bukanlah “aksi melawan modernisme Barat” sebagaimana cara yang selama ini umum dipahami, yakni gaya pikir yang “marah”, “takut” atau sudah “menyerah” terhadap modernisme (Barat) lantas mencari alternatif wacana lain untuk menandingi atau membantahnya—contoh paling gampang adalah wacana Non Blok yang digagas oleh Soekarno, Jawaharlal Nehru dan kawan-kawan, dengan visi untuk hadir sebagai kekuatan baru. Justru, pada kuratorial Park Chan-kyong, tersirat bahwa skeptisisme yang ditonjolkan dalam agenda biennale ini ialah dengan cara “menggali secara baru” tradisi budaya spiritual—dan persinggungannya dengan ragam pengalaman mengenai kolonialisme dan Perang Dingin—agar muncul kembali melalui wacana media dan seni; bagaimana seniman dapat menyikapi isu tersebut dan menerapkan kode-kode interpretasi dalam metode komunikasi dan informasi.[10]Park Chan-kyong, Ibid.
Menurut pemahaman saya, aksi ini ialah menakar makna dan eksistensi “modernisme original Asia”, bukan “modernsime Barat yang bertumbuhkembang di Asia”. Pendapat itu, secara pribadi, muncul karena saya cukup merasa terusik dengan pernyataan Park Chan-kyong dalam video dokumentasi wawancara yang dilakukan oleh Otty.
“Saya sedang berbicara tentang Asia, Asia sebagai ‘a way of thinking’,” ujar Park Chan-kyong kepada Otty, dalam video wawancara dengan audio yang kurang jelas. “…kita harus mulai melihat ke belakang…, jangan takut terhadap orientalisme, jangan takut terlalu berlebihan. Ini saatnya bagi kita untuk berpikir tentang budaya Asia. Kita harus mengumpulkan material-material[nya], kita harus benar-benar melihat dengan serius apa yang telah terjadi cukup lama di Asia. Apa kulturnya…”
Menurut saya, yang membedakannya dengan unjuk gigi ala konferensi Asia-Afrika—yang menurut saya sifatnya lebih politis, agak jauh dari pengertian filosofis dalam sudut pandang kultural—adalah apa yang diwacanakan oleh Park Chan-kyong ini ingin menunjukkan dan memprovokasi kita betapa kebudayaan dan kearifan lokal Asia itu telah kuat sejak dahulunya.
“Asia itu adalah kawasan yang kuat tradisi,” kata Otty kepada saya dua hari yang lalu, menjelaskan maksud dari Park Chan-kyong. “Karena modernisme itu tidak lahir di sini. SeMA ini manawarkan perspektif yang memberi gambaran jawaban akan kegagalan modernisme (dan modernitas) tersebut.” Dengan kata lain, kita tidak lagi berbicara tentang mengumpulkan kekuatan untuk melawan Barat, tetapi merefleksi diri dan memahami bahwa Asia telah berkembang dengan caranya sendiri.
Prasangka mengenai kelemahan atau kegagalan modernitas dalam mengembangkan kehidupan masyarakat dapat terlihat dari terbangunnya suatu sistem yang dianggap cacat. Otty berulang-ulang menyebutkan kepada saya bahwa, selain tragedi nuklir Fukushima Daiichi, Park Chan-kyong juga mencontohkan tragedi tenggelamnya kapal feri Sewol di Korea pada tanggal 16 April, 2014, di jalur Incheon menuju Jeju, yang menewaskan hampir tiga ratus orang (mayoritas adalah siswa sekolah Danwon High Scholl).[11]Lina Koleilat, 4 September, 2014, “The Sewol ferry tragedy and its ongoing impact on South Korean Society”, East Asia Forum Web site, diakses dari http://goo.gl/ZjMU3h, tanggal 22 Januari, 2015, pukul 14:25. Tentu saja, dalam memaparkan contoh ini, sudut pandang saya akan jelas berbeda mengingat saya tidak memiliki sedikit pun pengalaman tentang (perkembangan) modernitas di Korea Selatan. Akan tetapi, sejauh yang saya telusuri, kasus feri Sewol ini memancing berbagai kritik dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah, dan hingga dugaan adanya konspirasi negara: mengalihkan perhatian isu melalui pemberitaannya kepada publik. Indikasi ini muncul di antaranya dari kritik masyarakat terhadap media massa yang hanya mengandalkan sumber pemerintah,[12]Cho Chung-un, 16 Mei, 2014, “Sewol disaster reveals failure of mass media as watchdog”, The Korean Herald Web site, diakses dari http://goo.gl/laoKvw, tanggal 22 Januari, 2015, pukul 14:34. tetapi banyak keterangannya yang tak konsisten dan tak akurat.[13]Yongjun Min, 17 April, 2014, “How Korean Media Got The Ferry Tragedy All Wrong”, The World Post Web site, diakses dari http://goo.gl/CFhAjy, tanggal 22 Januari, 2015, pukul 14:44. Bahkan, beberapa masyarakat menganggap bahwa pemberitaan terkait kasus feri Sewol beberapa minggu pascatragedi, adalah salah satu cara pemerintah untuk mengalihkan perhatian masyarakat terhadap kasus yang lain (yakni, isu tentang rancangan peraturan mengenai privatisasi pelayanan kesehatan).[14]John Power, 23 Juli, 2014, “Why South Koreans are skeptical over mysterious death of fugitive ferry owner (+video)”, The Christian Science Monitor Web site, diakses dari http://goo.gl/sCYYZ7, tanggal 22 Januari, 2015, pukl 15:03. Tingkah laku ini seperti pelaksanaan sensor halus, menginjeksi fungsi kekuasaan terhadap masyarakat dengan sarana dan mekansime pemaksaan melalui media; negara justru semakin menegaskan kekuasaan sentralnya di lingkungan masyarakat demokratis.
Kasus hilangnya pesawat AirAsia QZ 8501 di Laut Jawa dekat Selat Karimata pada 28 Desember tahun lalu merupakan contoh yang lebih kontekstual dengan Indonesia jika kita ingin mengelaborasi ide pameran di SeMA itu. Tempo, salah satunya, mengabarkan bahwa terdapat sepuluh orang calon penumpang yang selamat dari kecelakaan pesawat lantaran tidak membaca email pemberitahuan dari AirAsia tentang jadwal penerbangan yang dimajukan tiga jam lebih cepat.[15]Agita Sukma Listyanti, 28 Desember, 2014, “Tak Baca Email, 10 Penumpang AirAsia Batal Terbang”, Tempo Web site, diakses dari http://goo.gl/t1nmio, tanggal 22 Januari, 2015, pukul 15:49. Peristiwa ini menunjukkan adanya kebocoran dalam sistem yang dibangun oleh wacana modernitas: penggunaan teknologi informasi, seperti email, pada kenyataannya, belum sepenuhnya disadari oleh sebagian masyarakat sebagai bentuk pemberdayaan dan peningkatan strategi komunikasi. Kebocoran ini, secara ironis, justru menjadi kunci yang menyelamatkan sepuluh orang tersebut.
Sekali lagi, melalui dua kasus tersebut, terbuka sebuah pintu yang mengundang kita untuk melihat jawaban di luar mesin mekanisme modernitas. Dalam hal ini, himbauan dari SeMA Biennale MEDIACITY SEOUL 2014 adalah tradisi. Dalam esainya, seorang penulis bernama John Bocskay mengkritik sebagian pengamat Barat yang keliru mengaitkan penyebab kecelakaan feri Sewol dengan budaya/tradisi kepatuhan/ketaatan di Korea.[16]John Bocskay, “The West’s Confucian Confusion: How More Confuciansim Might Have Saved The Sewol”, Sweet Pickles & Corn Web site, diterbitkan pada 25 April, 2014. Diakses dari https://goo.gl/58cQBc, tanggal 22 Januari, 2015, pukul 16:14. Menurutnya, para pengamat Barat yang ia kritik hanya melihat tradisi yang cukup kuat di Korea itu hanya pada aspek bagaimana seseorang harus patuh kepada senior—yang menurut Bocskay, sesungguhnya tradisi itu menyinggung pemahaman tentang Konfusianisme. Bocskay mengutip, salah satunya, Andrew Salmon yang berpendapat bahwa penumpang yang menjadi korban kecelakaan itu mematuhi perintah kapten untuk tetap tinggal di kapal meskipun sudah benar-benar akan tenggelam.[17]Pendapat tentang “tradisi ketaatan” tersebut dapat dilihat di Andrew Salmon, “Culture of obedience scrutinized following Korean ferry disaster”, 18 April, 2014, di South China Moring Post Web site, http://goo.gl/ZPCviG, diakses tanggal 22 Januari, 2015, pukul 16:26. Bocskay menilai Salmon gagal memahami “tradisi ketaatan” tersebut, terutama hubungannya dengan Konfusianisme yang juga cukup kuat di Korea.[18]Tomasz Śleziak menjelaskan bahwa tradisi Konfusianisme telah mengakar di Korea sejak lebih dari 2500 tahun yang lalu. Lihat di Tomasz Śleziak, The Role of Confucianism in Contemporary South Korean Society. Artikel ini diakses dari https://goo.gl/FcEcxP, tanggal 22 Januari, 2015, pukul 16:37.
Menurut Bocskay, justru “tradisi ketaatan” yang dibayangkan oleh Konfusianisme itu bersifat resiprokal, dan “ketaatan” yang dilakukan bukan membabi buta. Jika “bawahan” memiliki kewajiban untuk taat maka “atasan” harus bertingkah laku untuk kepentingan bawahannya. Pemegang kekuasaan atau wewenang harus menumbuhkan kepercayaan publik. Artinya, kecelakaan feri Sewol tidak akan terjadi jika saja sang kapten memahami “tradisi ketaatan” yang sesungguhnya.[19]John Bocskay, Op.cit. Sama halnya dengan kasus AirAsia, ketika pihak pemilik penerbangan mampu membangun rasa kepercayaan masyarakat[20]Kita ketahui bahwa dalam aspek yang lain, pihak AirAsia sebagai pemegang wewenang penerbangan maskapai tersebut, telah melanggar kepercayaan masyarakat, sehubungan dengan sistem jadwal penerbangan yang amburadul.—atau media massa mampu membangun rasa kepercayaan publik dengan tidak mengeksploitasi dan mengkomodifikasi isu kecelakaan—situasi yang lebih buruk sangat mungkin tidak akan terjadi.[21]Contohnya, pemberitaan TV One yang mengeksploitasi keluarga korban demi meningkatkan rating, memunculkan dampak lanjutan berupa kepanikan kolektif dan juga fear of accident. Seharusnya, terdapat suatu kesadaran untuk tidak terjebak dalam mekanisme protokoler yang kaku yang dicetuskan di bawah visi pembangunan modernitas.
***
Dua karya Forum Lenteng yang dipamerkan di biennale ini adalah Sunrise Jive (2005) karya Mahardika Yudha dan Jabal Hadroh, Jabal Al Jannah (2013) karya Otty Widasari. Kedua-duanya adalah karya video.
Secara umum, peletakan karya-karya yang dipamerkan dalam SeMA Biennale MEDIACITY SEOUL 2014 dibagi ke dalam tiga ruang lingkup. Masing-masing ruang lingkup di tempatkan di lantai yang berbeda. SeMA sendiri terdiri dari tiga lantai.
Lantai pertama seakan menjadi ruang studi mengenai sejarah yang berhubungan dengan wacana yang hendak dibicarakan oleh biennale ini. Beberapa karya yang dipamerkan di lantai ini merujuk pada peristiwa aktual di masa lalu yang berhubungan dengan bagaimana logika modernitas itu terbangun secara global dan dianggap sebagai hal yang masih berlaku secara universal. Karya-karya ini bukan semata kritik, tetapi lebih berupa eksplorasi terhadap psikologi kemanusiaan kita yang didera oleh perkembangan dari wacana modernitas tersebut.
Selain I live in Fear—After March 11, karya yang menarik perhatian saya di lantai ini adalah Long Live (2011) dan Long Long Live (2013) karya YAO Jui-chung. Pada kedua karya video ini, kita melihat orang berseragam meneriakkan sesuatu—saya tidak bisa menerka orang itu berteriak apa. Pada Long Live, orang itu berteriak di dalam bioskop. Pada sinopsisnya, YAO mengungkapkan bahwa ia mengeksplorasi “peran penting (tapi sukar dipahami) sejarah” pada era seratus tahun pasca Revolusi Xinhai dan berakhirnya Perang Dingin, ketika neoliberalisme berhasil ‘menguasai’ dunia. Sedangkan di Long Long Live orang itu berteriak di depan sebuah penjara. Kamera bergerak zoom out, latar seting pulau kemudian terlihat sebagai rekaman yang diputar di televisi di ruang makan—sepertinya ruang makan penjara. Kamera terus bergerak zoom out, dan ternyata latar ruang makan itu adalah rekaman dari layar monitor yang lain. YAO mengaku video ini berhubungan dengan Peristiwa Taiyuan—gerakan anti pemerintah yang melibatkan tahanan dan penjaga Penjara Taiyuan—dan merupakan “refleksi terhadap lokasi itu, orang-orangnya, tentang penindasan, serta sindiran terhadap penguasa yang tak pernah gagal memimpikan hidup yang demikan panjang.”[22]YAO Jui-chung, “Long Live” dan “Long Long Live”, SeMa Biennale MEDIACITY SEOUL 2014, Katalog, 2014, hlm. 48-49.
Sementara itu, pada lantai kedua, kita dihadapkan pada karya-karya yang umumnya berbicara tentang tradisi shamanistik atau ritual-ritual lokal dan penggalian tentang imortalitas (alam keabadian). Karya-karya yang berbau shamanistik—yang menunjukkan interpretasi mengenai peran penting dari “grandmothers”—dapat terlihat, misalnya pada Ba Ba Bakuhatsu (Grandma Explosion) (1968) dan Tono Story (1975) karya Naito Masatoshi, Geoje-do Byeolshin-gut (1986) karya Kim Soo-nam, Pyeongan-do Jinjuk-gut (1986) karya KIM In-whoe, Grandmothers’ Lounge: From the Other Side of Voices (2014) karya Shang-il Choi dan Jiyeon Kim. Namun, yang justru menarik perhatian saya adalah karya lukisan Min Joung-Ki, berjudul Manmulsang Rocks on Mt. Geumgang (2014). Merepresentasikan bentuk bagian Oigeumgang dari Gunung Geumgang, si seniman justru melukis lanskap perbukitan itu secara melingkar (menyerupai bola). Di mata saya, dengan tampilannya lanskapnya yang melingkar itu, karya Min Joung-Ki memberikan suatu sensasi tentang alam keabadian, ‘dunia lain’, atau lorong menuju alam gaib. Nenek saya pernah bilang bahwa gunung adalah salah satu tempat bersemayamnya para setan yang hidup hingga akhir zaman karena tempat itu jarang ditinggali oleh manusia.
Sedangkan, lantai ketiga adalah karya-karya yang menghadirkan kacamata hari ini. Karya-karya di lantai ini, ketimbang sekadar refleksi, menurut saya lebih tepat disebut sebagai karya yang melakukan kontemplasi (tafakur) untuk menggapai suatu titik transenden dalam memaknai pergesekan atau konflik nilai-nilai yang berkembang seiring dengan mapannya modernitas, tetapi masih bersinggungan dengan kearifan lokal. Karya Otty Widasari dan Mahardika Yudha diletakkan pada lantai ini.
Jabal Hadroh, Jabal Al Jannah karya Otty erat kaitannya dengan kata kunci Andung yang disebut Park Chan-kyong, yakni posisi perempuan di era kontemporer. Dalam karya video ini, kita akan melihat sosok perempuan berhijab yang mencoba berjalan sendiri, melintasi bukit-bukit hijau, berjalan menuju air terjun untuk mandi. Seolah-olah, ingin menjauhkan diri dari hal yang duniawi (juga laki-laki). Akhir dari video ini memperlihatkan secara slow motion adegan si perempuan tersebut membiarkan dirinya diguyur air terjun.
“Itu adalah momen transenden,” menurut Park Chan-kyong. Menurut saya, karya ini merepresentasikan salah satu inti dari pewacanaan yang diangkat dalam biennale ini. Dan pada titik transendensi inilah kita akan dapat melihat hubungannya dengan “penggalian secara baru” budaya spiritual yang melekat dalam tradisi Asia, di samping isu perempuan yang juga penting dalam pernyataan kuratorial Park Chan-kyong.
Sementara itu, karya Sunrise Jive, kita akan melihat sekumpulan buruh dari sebuah perusahaan melakukan gerak senam dengan bermalas-malasan. Itu adalah rutinitas para buruh setiap pagi berdasarkan peraturan dari pihak perusahaan—sesungguhnya pada era pemerintahan militeristik, peraturan ini cukup umum di Indonesia, dan bahkan beberapa institusi masih menerapkannya. Video ini sendiri mengingatkan saya dengan kegiatan rutin senam pagi setiap Hari Jum’at ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) dulu, di Pekanbaru. Kami harus melakukan senam pagi sebelum memulai pelajaran. Sama seperti yang terlihat dalam video Mahardika Yudha, mayoritas murid melakukan gerak senam dengan bermalas-malasan.
Sejarah munculnya senam di Indonesia sangat erat dengan kolonialisme. Bermula dari zaman penjajahan Belanda, di tahun 1912 pemerintah kolonial mewajibkan pendidikan jasmani di sekolah-sekolah,[23]Commitment, tidak bertanggal, Edisi 05, hlm. 67. Diakses dari Commonwealth Life Web site, http://goo.gl/HSCwDF, tanggal 17 Januari, 2015, pukul 13:00. hingga ke zaman penjajahan Jepang, yang pada tahun 1942 mengganti kegiatan senam berbau Barat dengan “Taiso” (sejenis senam pagi berbentuk kalestenik) dengan iringan musik dari radio. Kegiatan “Taiso” ini merupakan rangkaian dari kegiatan memberi hormat ke arah beradanya “Negeri Matahari Terbit”, di mana Kaisar Jepang berada.[24]Ibid. Lihat juga di Marwati Djonoed Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1993, hlm. 92. Lebih jauh, beberapa pendapat percaya bahwa kolonialisme adalah buah dari modernisme seiring merebaknya agenda modernisasi. Saya pribadi menilai bahwa karya Mahardika Yudha melakukan kritik dalam konteks sejarah sosial-budaya di Indonesia dengan bercermin pada rutinitas buruh yang terjadi di masa sekarang. Namun, berdasarkan perbincangan Otty dan Park Chan-kyong, Sunrise Jive menjadi penting dalam wacana SeMA Biennale di tahun 2014 karena kecerdikannya mengungkai sebuah kecacatan mekanisme dari modernisasi Barat yang berkembang di Asia.
“Video itu menyoroti, zoom out, salah satu engsel dari mesin modernisasi yang cacat, tidak bergerak sempurna,” kata Otty kepada saya, menirukan kalimat Park Chan-kyong. “Itu terepresentasi dari gerakan bermalas-malasan para buruh ketika melakukan senam pagi. Itu menunjukkan kegagalan dari wacana modernitas.”
***
Meskipun “tradisi” sekarang ini disebut-sebut sebagai kunci jawaban atas kegagalan modernitas, perlu kita sadari bahwa pada sisi yang lainnya, “tradisi” atau “yang tradisional” adalah buah dari modernitas itu sendiri. “Tradisi” adalah semacam simbol yang terbentuk oleh kecenderungan “modern” dalam mengingat masa lalu. Oleh karenanya, refleksi terhadap “tradisi” haruslah menghasilkan suatu inisiatif untuk menemukan wujud esensial dari kebudayaan lokal (atau Asia) yang sejatinya telah meletakkan pondasi-pondasi kemadanian masyarakat kita. Pembangunan modernitas, pada kenyataannya, telah menghasilkan suatu pengalaman traumatik: perang, penjajahan, bencana nuklir, diskriminasi, legitimasi kekerasan dan kekuasaan sewenang-wenang.
Dengan meletakkan “tradisi” sebagai cermin, saya berpendapat bahwa Park Chan-kyong mengajak kita untuk tidak melupakan trauma masa lalu itu, apalagi takut terhadapnya. “Jika modernitas adalah pengalaman traumatik di masa lalu, maka tradisi ialah luka yang diakibatkannya,” ujar Park Chan-kyong dalam esainya berjudul On Sindoan: Some Scattered Views on Tradition and “The Sublime”.[25]Park Chan-kyong, On Sindoan: Some Scattered Views on Tradition and “The Sublime”, E-flux Web site, 2010. Pertama kali diterbitkan dalam Condensation: Haegue Yang (Seoul: Arts Council Korea, 2009). Diakes dari http://goo.gl/3LhzVF, tanggal 22 Januari, 2015, pukul 19:00. Melalui luka yang berbekas itulah kita akan belajar untuk tidak terluka lagi. Bukankah kuotasi terkenal dari Chuck Palahniuk—jurnalis dan novelis berkebangsaan Barat—justru berkata: “Betapa susah melupakan rasa sakit, tapi lebih sulit mengingat rasa manis. Kita tak punya luka untuk menunjukan kebahagiaan. Kita belajar begitu sedikit dari perdamaian.”
Footnote
1. | ⇑ | Kompas, 9 Januari, 2015, Jepang Terbitkan Undang-undang untuk “Paksa” Karyawan Berlibur, diakses dari http://goo.gl/T3TZlG, tanggal 20 Januari, 2015, pukul 16:12. |
2. | ⇑ | Eliza Strickland, 16 Maret, 2011, “Explainer: What Went Wrong in Japan’s Nuclear Reactors”, Situs web IEEE Spectrum, diakses dari http://goo.gl/dX8Jc, tanggal 20 Januari, 2015, pukul 17:01. |
3. | ⇑ | Steven Starr, 21 November, 2012, “Costs and Consequences of the Fukushima Daiichi Disaster”, Physicians For Social Responsibility Web site, diakses dari http://goo.gl/lwFFLt, tanggal 20 Januari, 2015, pukul 17:09. |
4. | ⇑ | Elaine Kurtenbach & Shino Yuasa, 23 Maret, 2011, “Anxiety in Tokyo over radiation in tap water”, Bloomberg Businessweek Web site, diakses dari http://goo.gl/RkW5TH, tanggal 20 Januari, 2015, pukul 17:17. |
5. | ⇑ | Nina Fischer & Maroan el Sani, “I Live in Fear—After March 11”, SeMa Biennale MEDIACITY SEOUL 2014, Katalog, 2014, hlm. 47. |
6. | ⇑ | Lihat potongan dari filem ini di Web site Nina Fischer & Maroan el Sani, http://www.fischerelsani.net/selected/, diakses pada 20 Januari, 2015. |
7. | ⇑ | Choi Sunghun & Park Sunmin, “all about trembling”, SeMa Biennale MEDIACITY SEOUL 2014, Katalog, 2014, hlm. 114. |
8. | ⇑ | Ibid. |
9. | ⇑ | Park Chan-kyong, “Why “Ghosts, Spies, and Grandmothers”?”, SeMA Biennale MEDIACITY SEOUL 2014, Katalog, 2014, hlm. 8. |
10. | ⇑ | Park Chan-kyong, Ibid. |
11. | ⇑ | Lina Koleilat, 4 September, 2014, “The Sewol ferry tragedy and its ongoing impact on South Korean Society”, East Asia Forum Web site, diakses dari http://goo.gl/ZjMU3h, tanggal 22 Januari, 2015, pukul 14:25. |
12. | ⇑ | Cho Chung-un, 16 Mei, 2014, “Sewol disaster reveals failure of mass media as watchdog”, The Korean Herald Web site, diakses dari http://goo.gl/laoKvw, tanggal 22 Januari, 2015, pukul 14:34. |
13. | ⇑ | Yongjun Min, 17 April, 2014, “How Korean Media Got The Ferry Tragedy All Wrong”, The World Post Web site, diakses dari http://goo.gl/CFhAjy, tanggal 22 Januari, 2015, pukul 14:44. |
14. | ⇑ | John Power, 23 Juli, 2014, “Why South Koreans are skeptical over mysterious death of fugitive ferry owner (+video)”, The Christian Science Monitor Web site, diakses dari http://goo.gl/sCYYZ7, tanggal 22 Januari, 2015, pukl 15:03. |
15. | ⇑ | Agita Sukma Listyanti, 28 Desember, 2014, “Tak Baca Email, 10 Penumpang AirAsia Batal Terbang”, Tempo Web site, diakses dari http://goo.gl/t1nmio, tanggal 22 Januari, 2015, pukul 15:49. |
16. | ⇑ | John Bocskay, “The West’s Confucian Confusion: How More Confuciansim Might Have Saved The Sewol”, Sweet Pickles & Corn Web site, diterbitkan pada 25 April, 2014. Diakses dari https://goo.gl/58cQBc, tanggal 22 Januari, 2015, pukul 16:14. |
17. | ⇑ | Pendapat tentang “tradisi ketaatan” tersebut dapat dilihat di Andrew Salmon, “Culture of obedience scrutinized following Korean ferry disaster”, 18 April, 2014, di South China Moring Post Web site, http://goo.gl/ZPCviG, diakses tanggal 22 Januari, 2015, pukul 16:26. |
18. | ⇑ | Tomasz Śleziak menjelaskan bahwa tradisi Konfusianisme telah mengakar di Korea sejak lebih dari 2500 tahun yang lalu. Lihat di Tomasz Śleziak, The Role of Confucianism in Contemporary South Korean Society. Artikel ini diakses dari https://goo.gl/FcEcxP, tanggal 22 Januari, 2015, pukul 16:37. |
19. | ⇑ | John Bocskay, Op.cit. |
20. | ⇑ | Kita ketahui bahwa dalam aspek yang lain, pihak AirAsia sebagai pemegang wewenang penerbangan maskapai tersebut, telah melanggar kepercayaan masyarakat, sehubungan dengan sistem jadwal penerbangan yang amburadul. |
21. | ⇑ | Contohnya, pemberitaan TV One yang mengeksploitasi keluarga korban demi meningkatkan rating, memunculkan dampak lanjutan berupa kepanikan kolektif dan juga fear of accident. |
22. | ⇑ | YAO Jui-chung, “Long Live” dan “Long Long Live”, SeMa Biennale MEDIACITY SEOUL 2014, Katalog, 2014, hlm. 48-49. |
23. | ⇑ | Commitment, tidak bertanggal, Edisi 05, hlm. 67. Diakses dari Commonwealth Life Web site, http://goo.gl/HSCwDF, tanggal 17 Januari, 2015, pukul 13:00. |
24. | ⇑ | Ibid. Lihat juga di Marwati Djonoed Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1993, hlm. 92. |
25. | ⇑ | Park Chan-kyong, On Sindoan: Some Scattered Views on Tradition and “The Sublime”, E-flux Web site, 2010. Pertama kali diterbitkan dalam Condensation: Haegue Yang (Seoul: Arts Council Korea, 2009). Diakes dari http://goo.gl/3LhzVF, tanggal 22 Januari, 2015, pukul 19:00. |