Jurnal Kecamatan: Ciputat Kota: Tangerang Selatan Provinsi: Banten

Bukan Sumsum, Bukan Lapis Legit, Selendang Mayang Namanya

Selendang Mayang
Avatar
Written by Farabi Ferdiansyah
Bangun tidur, tanpa disadari mata ini langsung searching makanan untuk menuruti panggilan perut. Insting-ku semakin tajam ketika mendengar dentingan mangkok yang dipukul oleh sendok,“Ting-ting-ting-ting,” begitulah bunyinya. Sekejap, Aku langsung menuju balkon depan, mencari dari mana bunyi itu berasal. Dari jauh terlihat agak samar, ku-kucek mataku sembari membersihkan belek mata yang masih menempel tebal di mataku. Terlihat ada abang-abang sedang melayani pembeli. Ku-kucek lagi mataku berusaha untuk fokus dan melihat seksama, “Ohh… bubur  sumsum,” ucapku dalam hati.

Selendang Mayang, makanan khas Betawi yang kini mulai sulit dijumpai

Selendang Mayang, makanan khas Betawi yang kini mulai sulit dijumpai.

Dari belakang, Ekoy, kawanku sekaligus fasilitator akumassa, muncul. Nampaknya dia juga mendengar panggilan denting mangkok yang ditujukan kepada perutnya. Ekoy memperhatikan objek yang terletak di bawah pohon karsen, yang tepat berada di depan warung Bang Mufti.

“Itu apa?” Ucap Ekoy, yang juga melihat samar-samar, karena matanya masih tertutup belek.

“Itu bubur sumsum, Bang,” ucapku.

Ekoy mempertegas penglihatannya, “Bukan, itu Es Selendang Mayang khas Betawi!” Ekoy langsung turun ke bawah menghampiri tukang jualan itu dengan sarung bau apek kesayangannya, juga dengan belek yang masih menempel tebal di matanya.

“Hah apaan tuh?” aku baru pertama kali mendengar Es Selendang Mayang, aku pun ikut turun untuk membelinya karena rasa penasaran.  Setelah kuamati, makanan tersebut seperti  lapis legit, berwarna-warni, putih, hijau, merah. Aku semakin tertarik ingin tahu makanan tersebut.

“Apa ini, Las?” tanyaku kepada bidadari Komunitas Djuanda yang bernama Lastri. Nampaknya Lastri juga sedang membeli Es Selendang Mayang itu.

“Selendang Mayang, makanan khas Betawi!” ucapnya dengan khas suaranya yang menggelegar, tetapi masih terlihat manis dipandang.

“Oh…,” melihat Ekoy memesan aku pun juga ikut memesan, walaupun perutku belum terisi nasi.

Dipotong menggunakan bambu

Selendang Mayang dipotong menggunakan sebilah bambu kecil.

Mataku melotot, “Unik sekali,” ucapku ketika Si Abang tidak memakai mata pisau untuk memotong Selendang Mayang, melainkan sebuah bilah bambu. Dari gerak tangannya nampaknya ia sudah terbiasa, sangat lihai dan terampil. Aku sebenarnya malu, karena diriku yang masih keturunan Betawi baru mengetahui adanya makanan selendang mayang yang merupakan makanan khas Betawi, sangat ironis memang. “Nyak, maafkan aku!” ucapku kepada nenekku dalam hati, merasa malu, karena tidak mengetahui makanan tradisional khas Betawi. Namun, aku beruntung dapat menemui makanan tradisional ini sebelum ‘punah’, dan semoga tidak akan pernah punah, Amin.

“Itu lapis legit, ya, Bang?” Aku bertanya melihat bentuknya seperti lapis legit meskipun sebelumnya sudah ada yang mengatakan padaku bahwa itu adalah Selendang Mayang. Aku berusaha meyakinkan bahwa itu adalah lapis legit, mungkin hanya sebutannya saja yang berbeda. “Bukan, ini Selendang Mayang, dibuatnya dari gula aren,” ucap Si Abang penjual. Ternyata aku memang benar-benar salah, makanan ini bukan lapis legit melainkan Selendang Mayang. Dan aku semakin terkejut ketika mendengar aksen pengucapan yang dilontarkan Si Abang Selendang Mayang. Terdengar dari logatnya, ia bukanlah orang Betawi. Dan benar dugaanku, ia bukan keturunan Betawi, melainkan keturunan Jawa (Brebes). Tapi aku juga cukup bangga, karena adanya akulturasi antar budaya, di mana budaya Betawi dapat melekat di darah orang Jawa. Itulah Indonesia, beragam macam budaya melekat di bawah naungan bendera Merah Putih, tapi tetap memegang teguh Bhineka Tunggal Ika! Dan aku merasakannya saat mencoba Selendang Mayang ini bersama teman-temanku.

Bang Udin namanya, si penjual Selendang Mayang. Sebelumnya Bang Udin berprofesi sebagai tukang Bed Cover (sprei) keliling. Namun karena kurang mujur, akhirnya beralih profesi menjadi penjual Selendang Mayang. Keahliannya membuat Selendang Mayang itu ditularkan oleh sahabatnya di Tanah Abang, yang juga bergelut dalam profesi pembuat dan penjual Selendang Mayang. Dari dialah, Bang Udin dapat membuat Selendang Mayang, dengan paseh (fasih-red).

Selendang Mayang

Bang Udin menjual makanan khas Betawi, walaupun ia berasal dari Jawa.

“Bang, tapi sumpah deh, saya baru tahu Selendang Mayang. Yang saya tahu itu bubur sum-sum,” aku masih bertanya-tanya setelah yakin bahwa itu bukan lapis legit. Kali ini aku seakan meyakinkan diriku bahwa makanan ini adalah bubur sumsum.

“Emang sekarang udah jarang yang jual, adanya di Kota, Beos dan sekitarnya,” logat Jawanya masih terdengar kental.

“Kalau di Ciputat banyak yang jual Selendang Mayang, Bang?”

“Setahu saya sih, cuma saya saja yang menjualnya di Ciputat!”

Aku semakin kagum dengan sosok dirinya, hanya dia saja yang menjual Selendang Mayang di Ciputat. Mungkin tanpa kita sadari ada beberapa pedagang Selendang Mayang lain, tapi mungkin saja hanya Bang Udin lah yang menjual Selendang Mayang di kawasan Legoso dan sekitarnya, itulah yang ada di benakku. Meskipun tidak menutup kemungkinan hanya dia seorang penjual Selendang Mayang yang berada di Ciputat ini. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Di daerah tempat tinggalku, di Cipete tepatnya, mayoritas penduduknya Betawi asli. Selama aku hidup, tidak pernah aku melihat makanan seperti itu berada di sekelilingku, apalagi merasakannya sembari duduk di teras rumah menikmati hembusan angin.

Menikmati Selendang Mayang bersama kawan-kawan

Menikmati Selendang Mayang bersama kawan-kawan.

Mungkin hanya Bang Udin saja yang dapat bertahan melawan hukum alam, “Siapa yang kuat dia akan bertahan.” Namun aku tak tahu, apakah besok, lusa, sampai dengan nanti lima tahun ke depan, ia masih bertahan menjual Selendang Mayang, atau akan berganti profesi lagi? Melihat menjamurnya makanan cepat saji yang mayoritas dikuasai oleh produk negara asing, menjajah makanan tradisional Indonesia.

About the author

Avatar

Farabi Ferdiansyah

Pria kelahiran 1990 ini sedang menyelesaikan studi di UIN Syarif Hidayatulah, Jakarta jurusan Dakwah dan Komunikasi. Ia aktif di berbagai macam organisasi, seperti Komunitas Djuanda, Komka, akumassa Ciputat dan masih banyak lagi. Pria yang hobi fotografi ini pernah menjuarai beberapa lomba, salah satunya menjadi juara 1 dalam kontes fotografi bertema Animal Husbandry di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010.

11 Comments

  • Wah saya pernah makan ini di Tanah Abang..
    jangan-jangan yg jual temennya Bang Udin?? hehe

    Kira-kira kenapa ya diberi nama Selendang Mayang?
    Mungkin bisa ditanya ke Bang Udin kalo dia mampir lagi..

  • wuaaaaa .. trnyata saya senasib dengan abay .. org betawi yg br taw makanan ini .. tp setidaknya dengan adanya tulisan ini saya jadi taw kuliner khas betawi ..
    hmmm..jadi penasaran maw nyobain .. hehehe
    taphie bang udin hebat juga yah bsa monopoli ciputat dengan selendang mayangnya .. hoho 😉

  • gue sering makan juga Selendang Mayang, tapi ga pernah tau namanya Selendang Mayang… Yummy… Nyam..nyamm… Nyamm…

  • jam berapa bang udin lewat mandor baret. gue mau ke sana ah. gue doyan banget nih yang kaya begini. kasitau ya

  • Tragisnya Bang Udin sudah tidak pernah main ke mandor baret lagi!
    wajahnya sudah tidak terlihat…
    Entah karena bangkrut atau apa?!?
    Tapi aku rindu slendang mayangmu….

  • Sayangnya Bang Udin sudah tidak pernah datang lagi ke Mandor Baret.
    Entah karena bangkrut atau hal lainnya, yang pasti aku selalu merindukannya…

  • bisa tolong bantu saya,,,??dimana rumah bapak yg jual es slendang mayang??? kebetulan bulan juni 2010 nanti insya allah kk saya mw menikah dan acaranya khas betawi…mw mesen untuk acra pernikahan.thx…

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.