Pagi di saat libur sekolahku tiba, ketika aku selesai sholat subuh, aku pun beranjak untuk menemani adikku Asa, berjalan-jalan menikmati angin subuh yang membuat penat di dada hilang. Setelah merasa cukup merasakan aroma kesejukan, aku dan adikku pun memutuskan kembali ke rumah. Langkah kakiku sampai di rumah, aku dekati orang tuaku, dengan sedikit memanjakan diri aku mengusulkan kepada mamak dan bapakku untuk berlibur. Kebetulan dua minggu ini aku sedang liburan semester, “Lemak wah ta lalo, kan, dek man arak persiapan ne,” (Besok saja, biar kita bisa persiapkan apa yang akan kita bawa, kalau kita pergi hari ini, kan, belum ada persiapan) kata bapak yang disambut dengan anggukan mamakku. Dengan hati yang agak sedikit kecewa aku pun mengatakan “Geh wah.” (ya sudah). Tapi adikku mendesak ingin pergi berlibur dengan ekspresi memelas, akhirnya mamak dan bapakku pun setuju untuk pergi. Kami memutuskan pergi ke salahsatu air terjun yang ada di wilayah Lombok Utara, yakni Tiu Pupus. Kami pun sama-sama bergegas menyiapkan perlengkapan yang kami ingin bawa.
Setelah semua siap, kami pun berangkat. Sekitar 800 meter dari rumahku, terpampang pemandangan yang membuat hatiku menjadi merasa tidak nyaman, yaitu keadaan sungai di kampungku (Dusun Bentek, Desa Pamenang Barat). Bagaimana tidak, tampak gundukan-gundukan kerikil yang setiap hari ada karena adanya penambangan kerikil di sungai itu. Pemandangan itu selalu terpajang setiap hari yang kulalui ketika mau berangkat sekolah. Sungai yang dulunya indah dipenuhi dengan bebatuan dan jernih, sekarang hanya nampak air sungai keruh yang mengalir seperti lautan. Itu dikarenakan para penduduk di desa kami mengambil batu di sungai sebagai mata pencaharian mereka dan ‘untuk memenuhi kebutuhan hidup’. Itulah alasan klasik yang pasti kita dengar. Batu yang mereka tambang di sungai itu, ditempa menjadi potongan-ptongan batu yang lebih kecil dan ditumpuk di pinggir sungai dan jalan untuk menunggu pembeli batu.
Aku pun mengatakan pada orangtuaku, “Sik asek ita, lek taon ke taon lokok ta serenya memprihatinkan karna ya sik manfaatkan untuk kepentingan tian, tanpa nya mikirang dampak lek pegawean nya pada.” (Kasihan sekali sungai kita, dari tahun ke tahun keadaan sungai semakin memperihatinkan karena dimanfaatkan untuk kepentingan perut, tanpa memikirkan dampak dari perbuatan mereka tersebut). Bapakku dengan menghelas nafas panjang menjelaskan kepadaku, “Ya ono karna dek nya arak kesadaran lek ya pada, misal ta menangannya marak kute terus-terusan , sekiter 5 taon erak ia jaga sere saor, misal ita dek gelis nyadarang masyarakat ita.” (Ya itu karna tidak ada kesadaran dari mereka, ya mungkin kalau dibiarkan seperti ini terus-menerus, sekitar 5 tahun ke depan keadaannya akan semakin buruk, kalau kita tidak segera menyadarkan masyarakat kita). Mendengar pendapat orangtuaku, aku pun merasa resah memikirkan bagaimana masa depan desaku nanti.
Sepulang dari berlibur aku berencana besok untuk pergi mendatangi para buruh batu tersebut. Pada keesokan harinya, aku mendatangi salah satu buruh batu tersebut yang kebetulan keluargaku sendiri. Aku bertanya kepada Nak Kake (Bibi), “Ngak se pe njariang meta batu jari pegawean pe?” (Kenapa anda menjadikan buruh batu sebagai mata pencaharian anda?) dan Nak Kake mengatakan, ”Pegawean niki no nggak jari pegawean sampingan tiang sik rombok pendapatan tiang jari tuakang meta kayuk lek gawah, misal a dek arak kayuk lek gawah, ya tiang meta batu lek lokok sik kumpulang terus sik jual.” (Pekerjaan ini cuma pekerjaan sampingan saya untuk menambah penghasilan sebagai pencari kayu bakar di hutan, kalau tidak ada kayu bakar di hutan, ya saya mencari batu di sungai utuk dikumpulkan lalu dijual). Aku pun melanjutkan pertanyaan, “Kon mbe kon epe biasa njual batu anuk mbait pe lek lokok?” (Di mana biasanya Nak Kake menjual batu yang diambil di sungai itu?). Sambil menghirup kopinya, Inak Kake menjawab, ”Biasanya, batu no kami jual kon tukang beli batu anuk kadang-kadang setiap minggu ato setiap bulan mbait batu lek kami anuk jari buruh kayuk.” (Biasanya, batu itu kami jual kepada seorang pembeli batu yang kadang-kadang setiap minggu atau setiap bulan mengambil batu dari kami yang menjadi buruh batu).
Saking penasarannya aku bertanya lagi, “Napi sik meak epe njariang menambang batu jari pegawean pe?” (Apa yang membuat Nak Kake tertarik untuk menjadikan menambang batu sebagai mata pencaharian?). Dia menjawab, “Sebenarnya dek cang melet jari buruh batu, laguk kumbek se tan ampok sekolah doing dek cang dait SMP jari sai se jari mele menggaweanang tau dek tao apa-apa, jari nggak niki bau sik tiang gawek isik tiang menuhi kebutuhan tiang.” (Sebenarnya saya sendiri tidak tertarik menjadi buruh batu, tapi mau bagaimana lagi sekolah saja tidak sampai SMP jadi siapa yang mau mempekerjakan orang yang tidak punya keterampilan, jadi cuma ini yang saya bisa kerjakan untuk memenuhi kebutuhan).
Aku rasa perbincanganku dengan Nak Kake semakin asyik. Aku pun kembali mengajukan beberapa pertanyaan kepada Nak Kake, “Dek pe takut lokok lek desan ta niki onek-onek an jaga saor gara-gara terus sik bait batunya?” (Apa Nak Kake tidak takut sungai di kampung kita lama- kelamaan akan rusak gara-gara terus diambil batunya?). Nak Kake menjawab dengan agak ragu, “Geh, ita terpaksa mbe mok tan ta ampok, misal dek marak kute dek kami mauk memenuhi kebutuhan kami bilang jelo.” (Ya, kita terpaksa mau bagaimana lagi, kalo tidak seperti ini kami tidak akan bisa mencukupi kebutuhan kami sehari-hari). Dengan perasaan yang terasa menyesakkan dada, saya pun pulang ke rumah sambil memikirkan perusakan sungai yang sudah mewabah di desa saya. Dan aku sudah menduga sebelumnya bahwa aku akan mendapatkan alasan klasik itu.
Batu di sungai sangatlah penting untuk keseimbangan ekosistem yang berada di sungai seperti tempat hidup udang-udang dan kepiting-kepiting sungai. Jika batu terus menerus diambil dari sungai, maka lama-kelamaan ekosistem yang berada di sungai akan punah dan para penduduk pun akan kehilangan salah satu sarana untuk melakukan kegiatan sehari-hari mereka. Sungai di desaku dijadikan tempat untuk mandi, mencuci, dan lain-lain. Dikarenakan air sungai sudah tercemar dan tidak ada batu yang menangkal limbah-limbah tersebut. Dengan demikian, akan merugikan masyarakat selain merugikan mahluk hidup yang ada di sungai. Semakin sering batu-batu di sungai itu diambil, akan berdampak pada semakin meyempitnya daratan karena meluasnya area sungai. Kadang aku berpikir, apa yang mesti dilakukan untuk mengantisipasi akibat negatif dari peristiwa tersebut? Bukankah alam menjadi bagian penting dalam hidup dan kehidupan kita?
sepertinya keadaan sungai di pamenang semkin tidak membaik,,,,,!!! aktifitas penambangan sulit dihentikan, dengan alasan untuk kelangsungan hidup. membiarkan ini terjadi juga tidak bisa. sepertinya harus ada solusi lain untuk masalah lapangan kerja!
Ayooooo nulis lagi…
mudah-mudahan tulisan ini tidak berakhir di program tipi yang selalu menjual uraian airmata