Pemenang - Lombok Utara, NTB

Berugaq, Ruang Terbuka Masyarakat Lombok

Suku Sasak adalah penduduk asli dan suku mayoritas di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sebagai penduduk asli, suku Sasak telah mempunyai sistim budaya sebagaimana terekam dalam Kitab Nagara Kartha Gama karangan Empu Nala dari Majapahit.

Berugaq

Berugaq

Dalam kitab tersebut, Suku Sasak disebut “Lomboq Mirah Sak-Sak Adhi”. Jika saat kitab tersebut dikarang Suku Sasak telah mempunyai sistim budaya yang mapan, maka kemampuannya untuk tetap eksis sampai saat ini merupakan salah satu bukti bahwa suku ini mampu menjaga dan melestarikan tradisinya.

Sebagian besar masyarakat Pemenang yang ada di sekitar Komunitas Pasir Putih berpendapat bahwa salah satu ciri khas Lombok bisa dilihat dari berugaq yang terdapat hampir di setiap rumah. Berugaq merupakan sebuah bangunan sejenis gazebo berbahan kayu. Ada yang bertiang empat yang dikenal masyarakat dengan istilah Sekepat, dan ada pula yang bertiang enam dikenal dengan istilah Sekenem. Berugaq biasanya beratapkan Daun Nyuh (Daun Kelapa) dan ada juga yang beratap Daun Re (Daun Ilalang). Namun, saat ini ada sebagian masyarakat menggunakan seng dan genteng sebagai atap dengan alasan lebih tahan lama. Terlepas dari bahan apa, yang jelas dalam pandangan kami (Komunitas Pasir Putih) bahwa Berugaq menjadi ruang terbuka bagi masyarakat Lombok yang memiliki makna tersendiri dalam proses kehidupan sosial.

berugaq bertiang enam biasa disebut Berugaq Sekenem

berugaq bertiang enam biasa disebut Berugaq Sekenem

Berugaq bagiku sendiri memiliki kenangan-kenangan yang tidak bisa terlupakan, tentang berkeluarga, bersahabat, bermasyarakat dan berpacaran. Sejak masih kecil, di depan rumahku sudah terdapat sebuah Berugaq Sekenem yang biasanya digunakan oleh keluargaku untuk menerima tamu. Berugaq itu pernah dibongkar dan sempat beberapa tahun tidak ada. Kini Berugaq itu sudah berubah menjadi Sekepat yang sangat kecil, hanya dapat menampung empat sampai enam orang saja. Padahal dulu, aku dan kawan-kawanku sering main petak umpat di Berugaq Sekenem itu, saking besarnya. Pernah seorang kawanku terjatuh dari Berugaq Sekenem itu karena bercandanya berlebihan saat main petak umpat. Tangannya patah dan aku dimarahi oleh Amaq-ku (Bapakku). Aku pun dilarang mengajak teman-temanku main petak umpat lagi di Berugaq. Tapi setelah dia sembuh, permainan menarik itu tidak bisa kami lupakan dan kami pun tetap bermain di sana.

Setelah Sholat Maghrib, kebiasaan anak-anak yang berada di Dusun Karang Subagan khususnya dan masyarakat Pemenang pada umumnya adalah pergi mengaji. Kami berduyun-duyun pergi ke tempat guru ngaji, bahkan sebagian temanku ada yang pergi mengaji ke kampung sebelah. Bapakku juga salah seorang guru ngaji dan sebagian dari mereka datang ke rumahku sambil membawa Al-Qur’an dan buku tulis. Kami mengaji di Berugaq dan waktu itu masih ditemani lampu teplek yang cahayanya selalu membuat mataku ngantuk. “Wah males diq ni, dekman jam pira-pira wah merotan. Nendeq koat menjojaq angkaq a” (Kamu ini malas, belum jam berapa-berapa sudah mengantuk. Makanya jangan terlalu banyak main-main) Kata Amaq-ku marah sambil memukulku dengan tasbih.

Sempat waktu Papuq (Kakek) meninggal, masyarakat memandikan dan mengkafani jenazahnya di Berugaq Sekenem di depan rumahku. Aku ikut terlibat mengambil air yang dipakai untuk memandikan jenazahnya. Selanjutnya proses Dzikiran Nelung, Mituq, Nyiwaq dan Nyatus-nya dilaksanakan di Berugaq Sekenem itu juga. Biasanya dikhususkan bagi para pemuka agama dan pemuka masyarakat untuk menempati Berugaq, sebagai bentuk penghormatan karena tempatnya yang lebih tinggi ketimbang teras rumah.

Lembaga pendidikan bahkan pemerintah juga menggunakan Berguaq sebagai sarana sosialiasi atau pun pelaksanaan program-nya. Waktu pelaksanaan PBH (Pemberantasan Buta Aksara) oleh PKBM Mentari dua tahun yang lalu, ada sebagian tutor yang memanfaatkan Berugaq sebagai tempat proses belajar mengajar.

Berugaq dimanfaatkan sebagai ruang

Berugaq, ruang terbuka milik masyarakat Lombok

Panitia Pemilihan Kepala Dusun Desa Pemenang Barat juga memanfaatkannya sebagai sarana sosialisasi Pemilihan Kepala Dusun Karang Subagan satu bulan yang lalu bertempat di rumah warga yang berdekatan rumahnya dengan santren (musholla).

Banyak lagi program yang lain seperti Posyandu, Musdus (Musyawarah Dusun), sampai pembahasan Pisuka dan Aji Krama Pernikahan. Entah mengapa banyak sekali kegiatan yang dilakkan di atas berugaq, mungkin ini dipengaruhi oleh bentuk Berugaq yang terbuka dan tinggi? Atau masing-untuk menanamkan nilai-nilai kekeluargaan dan selalu menjunjung tinggi norma-norma yang ada?

Aktifitas di berugaq

Aktifitas di berugaq

Pernah suatu hari di rumah, aku kedatangan Waq Tuan (panggilan untuk paman yang sudah menunaikan haji) yang senang sekali berbicara politik, baik politik tingkat kampung sampai luar negeri. Kami duduk di Berugaq membahas tentang hampir semua berita terbaru masalah politik baik dari media cetak maupun elektronik. Apalagi kalau Waq Tuan sudah disiapkan kopi sama rokok, wah bakalan menjadi sebuah diskusi yang tak berujung.

Tetangga-tetangga heran melihat tingkah dan sikap kami seperti anggota DPR saja, tapi aku sendiri bingung karena pembicaraan kami menjurus ke semua arah mata angin dan tidak selesai-selesai. “Assalamu’alaikum…” sapa kakak iparku yang baru pulang bekerja dari Trawangan. Setahuku antara Waq Tuan dengan kakak iparku ini selalu berbeda dalam hal politik, keduanya sama-sama suka sekali diskusi dan tidak pernah sependapat.

“Kalau sudah begini waktu kita untuk duduk di Berugaq menjadi semakin lama,” pikirku sambil berjabat tangan dengan kakak iparku.

Pembicaraan mulai menghangat dan terkadang terselip bumbu-bumbu humor yang mencairkan suasana. Peserta diskusi pun bertambah, dan kini kami berenam di Berugaq tersebut. Sesekali yang lain berbicara dan tertawa karena tingkah-tingkah lucu.

“Aroowah… sekoto wah pada ngeraos masalah anuq cai kah, anang pada deang kepeng tan a” (Aroowah… cukup sudah ngobrolin masalah seperti  itu, mending pada punya uang) kata istri kakak iparku yang sudah capek mendengarkan kami berdiskusi.

“Oh… sayang, tenang wah dik, ni kepeng siq beli make up ampoq diq inges” (Oh… sayang, kamu tenang saja, ini uang untuk kamu beli make up agar kamu cantik) jawab kakak iparku membuat orang tertawa.

“Laguq beli diq kupi kanca rokok juluq a ni” (Tapi kamu beli kopi sama rokok dulu) sapa kakak iparku yang semakin membikin jengkel istrinya.

“Nah… terus kumbe tan kondisi a leq ito, gus?” (Nah… lalu bagaimana kondisinya di sana, gus?) pertanyaan Waq Tuan ku memulai lagi diskusi kami yang terputus.

Ternyata betul pikirku, hampir jam 2 siang diskusi itu kelihatannya belum juga ada titik temu. “Hei… ka kek pada sembahyang juluq a!” (Ayo… bagaimana ini, sholat dulu dong!) teriak ibuku dari dapur.

Tapi teriakkan itu tidak membuat pantat kami bergeming dari Berugaq, dan justru semakin hangat. Muncullah Amaq-ku,

“Dik pada ngeros deq araq ulu buit a, laun siq keang jari RT deq pada bani apalagi leq kantor desa ampok diq pada tao, ya aran lain siq raosang lain siq gaweq nah ni seh aran Politik Sekepat nu, ya bueq raos leq Berugaq. Pada jarian raos laguq deq bau siq keang leq mbe-mbe. Kah pada sembahyang juluk” (Kalian ngomong tidak ada ujung pangkalnya, nanti pas kita mau pakai jadi RT tidak berani apalagi kita mau pakai di kantor desa kalau kalian bisa, itu namanya lain yang dibicarakan lain yang dilakukan, inilah namanya politik sekepat, ngomongnya habis cuma di Berugaq saja. Banyak ngomong tapi tidak bisa dipakai dimana-mana. Sudah sholat dulu) tutur Amaq sambil kembali membaca buku.  Kami pun mundur satu per satu dari ‘Majelis Sekepat‘ itu dan langsung ke kamar mandi mengambil air wudhu.

Berugaq di depan rumahku, tempat kami sering berdiskusi

Berugaq di depan rumahku, tempat kami sering berdiskusi

Sebagai ruang massa, Berugaq tidak kehilangan eksistensinya dan tetap melekat pada jiwa-jiwa masyarakat Lombok. Sekeras dan sepanas apa pun diskusi dan debat yang dilakukan di Berugaq, tetap harus menjaga keutuhan nilai-nilai kekeluargaan. Itulah hal terpenting yang dapat kami pelajari.

About the author

Avatar

Muhammad Gozali

Dilahirkan di Karang Gelebeg pada tahun 1983. Ia tinggal di Karang Subagan, Desa Pemenang Barat, Lombok Utara. Ia kuliah di IAIN Mataram jurusan Syari’ah angkatan 2002. Sekarang dia menjadi Direktur Umum pasirputih, organisasi berbasis di Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, yang fokus pada isu sosial dan budaya.

4 Comments

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.