Beberapa kali sudah pernah saya menulis tentang Bangsal. Tentang Cidomo, Pedagang Asongan, Dermaga dan beberapa kepingan-kepingan yang tercecer dari sekian banyak kepingan cerita tentang Bangsal. Dalam tulisan ini, saya ingin mengumpulkan kepingan-kepingan itu, menjadi suatu kisah yang utuh, meski saya juga yakin tulisan ini tidak bisa mewakili semua orang dengan segala aktivitas mereka di Bangsal. Masih ada ganjalan, dari mana harus saya mulai tulisan ini. Saya sesaat berpikir untuk memulai tulisan ini dari kisah masa kecil saya dengan Bangsal. Sebab, Bangsal adalah saksi bisu yang merekam beragam kisah keluarga, kisah asmara, drama pertikaian, kisah-kisah humor dan setumpuk kisah lainnya dari masyarakat Pemenang. Banyak memori yang menderu bersama ombak dan hilang seperti buih. Sesekali mengejutkan kemudian kembali ke dasar laut, mengendap menjadi fosil-fosil cerita dalam ingatan manusia.
Peradaban Kami Dimulai Di Sini!
Di Lombok Utara, semua tempat memiliki keunikan dan ciri khas masing-masing. Meskipun karakter masing-masing tempat berbeda, namun pada beberapa hal juga memiliki persamaan. Desa Bayan misalnya, dikenal dengan adat-budaya yang kental. Bisa dilihat dari berdirinya bangunan Masjid Kuno, termasuk masyarakatnya yang sampai saat ini masih memegang adat-budaya Sasak Lombok Utara. Seiring dengan semakin sering orang mengunjungi Masjid Kuno Bayan, kemudian mempelajarinya, dan melihat beberapa kemungkinan yang lain, ditemukanlah beberapa masjid kuno lain yang tersebar di Lombok Utara. Bahkan, ada isu bahwa ada masjid yang lebih tua dari Masjid Kuno Bayan. Hal ini menandakan ada kesamaan misi kedatangan orang luar ke Lombok Utara, ialah dalam rangka penyebaran agama. Oke, kita tidak membicarakan hal itu terlalu banyak di sini. Ini akan menjadi acuan bagaimana kita melihat kondisi Pemenang dengan adanya Bangsal. Sebab, apa yang terjadi di Pemenang tidak sama dengan apa yang terjadi di tempat yang lainnya di Lombok Utara, terutama mengenai akulturasi budaya di Pemenang. Di mana masyarakat Pemenang hidup berdampingan dan harmonis meski terdiri dari tiga agama yang berbeda, Islam, Hindu dan Budha. Bahkan, dengan toleransi yang sangat tinggi.
Pelabuhan. itu kata kuncinya. Pemenang, memiliki sebuah pelabuhan, yaitu Pelabuhan Bangsal, yang sudah digunakan jauh sebelum kedatangan Islam di Lombok Utara. Bermula dari pelabuhan inilah, sejarah Pemenang dimulai. Menurut cerita orang tua, Bangsal sejak dulu menjadi pusat perdagangan. Banyak saudagar-saudagar dari berbagai daerah datang dan berbisnis di Bangsal. Itulah mengapa penduduk pesisir yang terkena percampuran budaya (akulturasi) dengan pedagang asing yang singgah, lebih mudah menerima perbedaan. Sebab, dalam transaksi perdagangan di antara keduanya, mereka mencoba saling mengerti dan memahami kebudayaan masing-masing.
Sekitar tahun 1675, Raja Hindu Karang Asem memperluas daerahnya sampai ke wilayah Lombok Utara. Rombongan pasukan dipimpin oleh seorang Anak Agung yang bernama Anak Agung Nengah Subagan, yang selanjutnya memusatkan kekuasaannya di Desa Pemenang.
Dengan kebijaksanaan dan kepiawaiannya dalam menjalankan pemerintahan, Anak Agung Nengah Subagan berhasil mengambil hati masyarakat Pemenang, dia berhasil mempersaudarakan seluruh komponen masyarakat Pemenang yang terdiri dari masyarakat Muslim, Hindu dan Budha serta melibatkan mereka dalam pemerintahannya. Lalu Masnun (Mantan Kepala Dusun Karang Pangsor pada tahun 1975-1978) mengatakan, “Rasa persaudaraan itu masih tertanam dan terlihat sampai sekarang, hal ini dapat dilihat dari sikap toleransi keagamaan dan hubungan yang harmonis di sini.[1]Rosmayadi (9 Maret, 2010), “Asal Muasal Masjid Jami’ul Jama’ah Karang Pongsor”, akumassa. Diakses pada 1 April, 2015.
Ketika membaca sejarah Lombok, tentu tidak asing kita mendengar bahwa Kerajaan Hindu Karang Asem pernah berkuasa di Lombok dalam jangka waktu yang cukup lama. Hingga akhirnya, beberapa kerajaan Islam di daerah Lombok Tengah dan Lombok Timur melakukan pemberontakan untuk mengahancurkan Kerajaan Hindu Karang Asem. Namun tidak berhasil, dan kemudian raja-raja Islam itu meminta bantuan kepada Kolonial Belanda untuk menghancurkan Kerajaan Hindu Karang Asem. Hingga akhirnya, terjadi Perang Puputan, sebuah peperangan yang membasmi Kerajaan Hindu Karang Asem sampai akar-akarnya.
Permusuhan umat Islam dan Hindu saat itu tidak terjadi di Pemenang. Yang terjadi justru sebaliknya. Masyarakat Hindu, Budha dan Islam di Pemenang tetap hidup berdampingan dan saling tolong-menolong. Mungkin alasannya adalah kepiawaian Nengah Subagan, kala ia memerintah di Pemenang. Namun, jauh sebelum mereka datang, masyarakat Pemenang sudah terbiasa merasakan perbedaan. Sudah terbiasa memahami budaya asing. Apalagi budaya asing yang berkuasa saat itu, justru menanamkan persaudaraan yang kental. Terbukti Masjid, Pura dan Vihara dibangun bersama oleh semua agama yang ada di Pemenang.
Saya pernah ngobrol dengan Mangku Ayu Dusun Jeliman Ireng, Pak Jenalip. Beliau menceritakan bagaimana masyarakat Pemenang ketika akan diserang oleh Kerajaan Praya. Menurut cerita Pak Jenalip, Tentara Praya tidak bisa sampai di Pemenang. Mereka baru hanya sampai wilayah Pusuk. Kejadian ini memang disengaja. Masyarakat Pemenang, saat itu, tidak mau barisan tentara sampai dan membuat peperangan dan kekacauan di Pemenang. Sebab, saat itu masyarakat Pemenang sudah tidak mau berperang, karena di Pemenang sudah tenteram dan damai.
“… Kemudian, sebuah gong sakti dipukul. Gema suara gong membuat bumi tempat tentara-tentara itu berpijak bergoyang dahsyat sehingga mereka tidak bisa sampai di Pemenang…,” begitu kurang lebih cerita yang disampikan Pak Jenalip kepada saya.
Banyak memang versi yang menceritakan asal-usul masyarakat Pemenang. Biasa, sejarah memang begitu. Namun, yang saya garisbawahi di sini adalah, bagaimana Bangsal menjadi bagian penting dalam sejarah masyarakat Pemenang. Dan memang hingga saat ini, keberadaan Bangsal dalam realitas perkembangan masyarakat Pemenang menjadi sangat penting untuk tetap digali saat ini. Apalagi Pelabuhan Bangsal berkembang cukup pesat. Dan lagi, keberadaan Bangsal sekarang menjadi acuan banyaknya perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, seiring juga berkembangnya laju pariwisata di Lombok Utara.
Tidak bisa dipungkiri, daerah pelabuhan selalu akan berkembang lebih cepat daripada daerah yang lain, baik dari segi fisik maupun dari segi psikis, yang juga tercermin dalam kehidupan masyarakat Pemenang dahulu kala. Dari Bangsal, masyarakat Pemenang belajar dan menerima budaya asing. Positif memang, tapi tidak menutup kemungkinan banyak juga akibat negatif dari hal ini.
Ini semacam menjadi evaluasi untuk untuk saat ini. Terkait dengan bagaimana Bangsal menjadi pusat pengetahuan budaya bagi masyarakat Pemenang. Apalagi saat ini, pemerintahan Presiden Joko Widodo mengultimatum pengembangan dan pembangunan pelabuhan di setiap provinsi di seluruh wilayah Indonesia, guna untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan kemajuan di bidang perindustrian. Hal ini tentu didasari oleh kesadaran akan potensi kelautan dan potensi pantai yang dimiliki oleh Indonesia. Yang mana, program-program pengembangan seperti ini, seharusnya menjadi bahan evaluasi jika dikorelasikan dengan keadaan Pemenang saat ini. Apalagi jika membicarakan tentang pembangunan, tidak hanya masalah fisik yang musti kita kedepankan. Namun, juga berbagai macam sektor yang menunjang hal tersebut.
Seperti misalnya Bangsal. Bangsal tidak hanya tentang sebuah pelabuhan tempat bersandar kapal-kapal. Namun juga ada banyak komponen penunjang yang lain. Cidomo (sejenis delman) misalnya, ojek, pedagang cindramata, buruh, homestay, jasa traveling, restoran dan berbagai elemen yang harus dipertimbangkan dalam pembangunan pelabuhan. Jika oleh pemerintah, pelabuhan akan dibangun, infrastruktur akan dipadatkan, lalu bagimana dengan mereka, yang juga menjadi bagian yang tidak bisa terlepas dalam cerita Bangsal?
Memori Masa Lalu tentang Kerupuk Plecing, Keke dan Mabuk Laut Di Pinggir Pantai Bangsal
Masyarakat Pemenang, memiliki sebuah kuliner yang sangat khas. Kerupuk pelecing. Pelecing sebenarnya adalah sambal khas masyarakat Lombok yang ditambahkan ampas parutan kelapa, dan dibubuhkan di atas makanan lain, misalnya pelecing kangkung. Pelecing memang ada di mana-mana, dan setiap masakan sepertinya bisa diolah menjadi pelecing. Pelecing di Pemenang pun tidak jauh beda dengan pelecing di tempat lain. Namun, yang unik dari pelecing di Pemenang adalah kerupuknya. Kerupuk yang terbuat dari tepung ubi ini kemudian dikeringkan dan dipanggang di atas bara api. Ketika dipanggang, si pembuat sengaja membentuk kerupuk ini agar menyerupai piring. Tidak hanya menyerupai, tetapi juga fungsinya meggantikan piring. Jika Pelecing diletakkan di atas kerupuk ini, tak kuasa lidah menahan godaannya. Air liur menetes mencium aroma cabai Lombok yang khas.
Makanan yang lezat, jika disantap di tempat yang asyik, tentunya akan membentuk ingatan tersendiri. Seperti membeli dan meyantap kerak telor di Kota Tua atau di Monas, Jakarta, akan terasa berbeda dengan membeli dan memakan kerak telor di Lombok. Suatu ketika saya pernah membeli kerak telor di Lapangan Tanjung ketika HUT Lombok Utara yang keenam, rasanya aneh. Begitupun dengan kerupuk pelecing. Anda bisa bertanya kepada masyarakat Pemenang. Dimanakah tempat yang asyik menyantap kerupuk pelecing. Yup! Jawaban yang paling banyak, pasti di Bangsal, menjelang matahari terbenam. Entah kenapa, kerupuk pelecing, ketika sampai di Bangsal menjadi lebih nikmat. Mungkin karena suasana pantai, suara deburan ombak, gemerisik daun kelapa, dan warna kemerahan sang surya membuatnya menjadi lebih nikmat.
Bangsal terdiri dari dua pantai. Pantai Timur dan Barat. Ia dibelah oleh deretan perahu motor yang siap membawa penumpang ke Tiga Gili (pulau kecil): Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan. Di kedua bagian Bangsal, tersebutlah masyarakat Pemenang sering berkumpul bersama keluarga, menikmati senja dengan membawa makanan, terutama kerupuk pelecing.
Saya pun dulu, bersama keluarga sering sekali melakukan aktivitas yang sama. Tidak hanya datang untuk menghabiskan waktu, kadang juga dengan alasan berobat. Air laut memang memiliki banyak kandungan mineral yang sangat baik untuk tubuh, seperti magnesium, potasium, kalsium sulfat, zat besi, boron, selenium, zink dan sodium, serta masih banyak lagi kandungan air laut yang bermanfaat untuk kesehatan dan kecantikan. Akan tetapi tentu tidak semua masyarakat Pemenang memahami hal ini. Yang mereka tahu, bahwa mandi di Bangsal menghilangkan penyakit. Saya juga ingat beberapa waktu yang lalu, salah seorang keponakanku yang tengah sakit, dibawa oleh kakakku ke Bangsal untuk berobat. Tentu sebelum berangkat, ia menyiapkan banyak makanan, termasuk Pelecing. Mandi di Pantai Bangsal menjadi mitos yang berkembang di masyarakat Pemenang dan masih hidup sampai saat ini. Meski untuk zaman seperti zaman ini, tidak banyak yang melakukan kegiatan ini lagi.
Selain kerupuk pelecing, hal lain yang selalu saya ingat tentang Bangsal adalah mbauk keke (menangkap keke). Keke adalah sejenis kerang kecil yang sering bersembunyi di bawah pasir.
Pergi ke Bangsal bersama teman-teman sekelas semasa duduk di Sekolah Dasar, sangat sering saya lakukan. Tidak jarang jam-jam sekolah kami habiskan untuk berencana mencari keke di Bangsal. Merancang strategi agar orang tua memberikan izin, bisa mencari keke sepuasnya di Bangsal, dan pulang menjelang azan magrib berkumandang. Kami tidak perlu khawatir jika pulang terlalu petang. Sebab sudah ada para kusir cidomo yang setiap hari mencari nafkah di Bangsal. Biasanya kami nyaplek (naik ke atas cidomo dengan berlari) di cidomo-cidomo yang kami temui. Jangan kira semua kusir akan mengizinkan, kadang tidak jarang kami mendapat semprotan.
Mencari keke sangatlah mudah. Kita tinggal duduk membelakangi laut. Tapi jangan duduk bersila. Karena jika duduk bersila, tubuh kita tidak akan kuat menahan ombak ketika menghempas ke bibir pantai, juga ketika air kembali ke laut. Cara duduk yang tepat adalah dengan bertumpu dengan lutut. Memasukkan telapak kaki kita ke dalam pasir, dan memberikan sedikit ruang di antara kedua paha kita. Paha dan tubuh kita, nantinya akan berfungsi menahan air. Jika posisi kita sudah pas, maka kita siap mencari keke.
Mencari keke tidak butuh alat. Ketika ombak sudah menyapa bibir pantai, kita tinggal memasukkan tangan ke dalam pasir yang berada di tengah-tengah ruang di antara kedua paha kita. Ketika air masuk ke dalam pasir, maka keke pun akan bergerak. Tangan kita akan merasakan pergerakan keke, dan hap…! Keke pun berada dalam genggaman. Jangan tanyakan bagaimana rasanya keke jika dijadikan lauk untuk makan malam, jawabannya sudah pasti. Sangat sedaaap!
Jika anak-anak hobi mencari keke, para orang tua di Pemenang hobi memancing. Maka tidak heran banyak masyarakat Pemenang yang berprofesi sebagai nelayan, atau menjadikan nelayan sebagai subsektor untuk memenuhi kebutuhan hidup. Meski memang, nelayan di Pemenang khusunya dan di Lombok Utara pada umumnya, masih tergolong nelayan tradisonal. Hal ini bisa dilihat dari jenis perahu dan alat tangkap yang masih sangat sederhana.
Dahulu, di sepanjang pantai sebelah Barat Bangsal, Kita disuguhkan deretan perahu nelayan dengan aneka ukuran dan warna. Di situlah setiap sore bisa kita saksikan para nelayan yang bersiap-siap berlayar menangkap ikan. Sesekali, kita lihat mereka berlalu-lalang di sepanjang pantai Bangsal, dengan pakaian khas mereka sambil menggotong layar, jala, alat-alat pancing, sebuah petromaks dan berbagai kebutuhan memancing. Mereka bersiap-siap meninggalkan daratan, mencari rizki di tengah laut, di atas gelombang, sambil berharap pulang membawa ikan yang banyak untuk dijual atau untuk dimakan bersama keluarga di rumah.
Almarhum Man Kario adalah seorang nelayan yang pernah mengajakku mencari ikan di laut. Aku ingat, saat itu aku masih duduk di Bangku Sekolah Dasar. Man Kario, semasa hidupnya sering datang ke rumah untuk bertemu ayahku. Suatu ketika aku mengutarakan keinginanku untuk ikut memancing. Ia setuju untuk mengajakku memancing, namun tidak sampai malam. Aku pun setuju, yang penting bisa ikut memancing. Kami berjanji keesokan sorenya, untuk bertemu di pantai sebelah Barat Bangsal. Dari rumah, aku memacu sepeda dengan sekuat tenaga, takut tertinggal. Sampai di sana, Man Kario sedang mempersiapkan semua perlengkapan untuk memancing. Setelah selesai, aku diperintahkan untuk naik duluan, sedangkan Man Kario mendorong perahu sendiri. Perahu yang kami pakai tidak terlalu besar, mungkin panjangnya sekitar 3 meter. Man Kario memberikanku sebuah gulungan kayu yang berisi tali pancing yang sudah ditaruhi puluhan mata pancing. Mata pancingnya pun berbeda dari yang aku tahu. Mata pancing itu dihiasi benang-benang menyala.
Man Kario memintaku untuk melepas tali pancing ke sebelah kanan, sebab ia melepaskan tali pancing ke sebelah kiri. Ia mengikat tali pancing di ujung kaki, untuk memudahkannya mendayung. Ia terus mendayung. Mendayung dengan perlahan, sambil melihat ombak yang datang mendekati perahu kami. Menimbang-nimbang agar ombak tidak membalikkan perahu. Sore itu, Man Kario mendapat ikan yang cukup banyak. Aku sendiri…? Tidak mendapatkan apa-apa, kecuali pusing serta mual, lalu muntah. Kami menepi. Seiring perahu mendekati bibir pantai, muntahku semakin menjadi. Badanku lemas, Man Kario tersenyum. Digendongnya tubuh mungilku dari atas perahu, dan disandarkannya tubuhku di bawah pohon cemara.
Banyak sekali kenangan masa kecilku di Bangsal. Terlalu banyak untuk diceritakan di sini. Kisahku adalah kepingan dari ribuan cerita masyarakat Pemenang. Kini,… Bangsal sudah berubah. Masyarakat Pemenang sudah Berubah. Bagaimana nasib puing-puing cerita masa lampau itu?
Bangsal Kini Untuk Kita Semua
Dua belas Maret, 2012, Komunitas Pasirputih pindah sekretariat. Awalnya sekretariat Komunitas Pasirputih berlokasi di rumahku, di Dusun Karang Subagan. Setelah berproses selama dua tahun, kami mendapatkan kepercayaan untuk mengelola Gedung Pemda yang berlokasi di Terminal Bangsal. Sungguh senang, tetapi terbebani juga oleh banyak hal. Mampukah kami memelihara amanat ini?
Kepindahan kami ke Terminal Bangsal, membuka mata kami tentang apa yang terjadi di Bangsal.
Memang benar ungkapan orang, bahwa untuk melihat sebuah masalah dengan jelas, kita harus mendekat. Tidak bisa menilai sesuatu dari jauh. Maka, keberadaan Komunitas Pasirputih di Terminal Bangsal saat itu, merupakan anugerah bagi kami, untuk melihat lebih dekat semua permasalahan yang ada di Bangsal.
Suatu ketika, saat kami tengah asyik berdiskusi di Sekretariat baru, topik tentang terminal Bangsal muncul. Setiap hari saat itu, kami melihat bagaimana regulasi di Terminal Bangsal yang masih tidak teratur. Seperti posisi cidomo, posisi angkutan travel, taxi, warung-warung kumuh dan banyak lagi yang bisa kita nilai sebagai bentuk ketidakteraturan pengelolaan terminal ini. Padahal, Terminal Bangsal ini, bukan terminal sembarangan. Ia menjadi wajah awal bentuk pariwisata Lombok Utara. Terminal ini adalah Terminal Internasional, yang setiap hari, ratusan wisatawan datang dan melihat kondisi terminal yang acak-adul. Belum lagi ditambah dengan para pedagang yang selalu mengelilingi wisatwan untuk menawarkan barang dagangan mereka, yang seringkali dikeluhkan oleh para wisatawan. Ditambah lagi, jika membahas ke belakang, posisi terminal ini saja sudah kepalang tanggung. Terminal berlokasi tidak jauh dari Bangsal. Sekitar 500 meter. Dari terminal menuju ke Bangsal, tersedia jasa angkutan cidomo. Banyak wisatawan yang memilih untuk berjalan kaki daripada naik cidomo. Selain karena jarak yang memang dekat, permsalahan lain yang muncul adalah ongkos yang harus dibayar dari terminal ke Bangsal cukup mahal, jika dibandingkan dengan jaraknya, sekitar Rp. 25,000,- sampai Rp. 30,000,-.
Masalah cidomo ini, sampai saat ini pun masih menjadi masalah yang rumit untuk dipecahkan. Belum lagi jika kita menyinggung tentang pertantangannya dengan taksi dan jasa angkutan travel.
Permasalahan ini timbul, sebenarnya, karena ketidaktegasan dari Dinas yang mengelola terminal ini. Tidak semua angkutan dari luar berhenti di Terminal. Dengan membayar beberapa ribu rupiah, jasa angkutan bisa langsung masuk ke Pelabuhan Bangsal. Hal ini, bagi para kusir cidomo, sangat merugikan. Hingga akhirnya, sempat para kusir cidomo menduduki pos yang biasanya dijaga oleh pegawai perhubungan.
Saat berdiskusi di sekretariat, kami selalu ditemani beberapa gelas kopi hitam yang nikmat. Kopi-kopi tersebut, bisa kita beli di warung-warung yang berjejer di pojok Timur terminal. Kadang, kami juga menghabiskan banyak waktu minum kopi di bawah atap warung yang sudah berlubang, sembari mendengarkan cerita-cerita para pedagang dan warga terminal yang biasanya sarapan atau minum kopi di sana.
“Sering sekali Pemerintah datang ke sini. Mulai dari Camat Pemenang, pegawai-pegawai dari Dishub, dari pegawai kabupaten dan lain-lain,” tutur seorang pedagang yang menjadi langganan kami. “Mereka berjanji mau mengubah tempat kami ini. Namun, sampai saat ini tidak terealisasi.”
Memang, kondisi warung-warung tersebut sangat tidak layak. Atap yang bocor, meja yang kotor, tempat duduk dari bambu yang juga tidak rapi. Bagaimana mungkin wisatawan akan tertarik jika kondisi warung seperti itu? Sementara, di seberang terminal, berdiri restoran milik pendatang dari luar negeri, yang meskipun juga tidak begitu sempurna, namun menawarkan sesuatu yang jauh lebih baik dari warung-warung warga yang ada di sekitar terminal. Warung yang ada di Bangsal pun mengalami nasib yang sama. Meski sebenarnya sudah ada bangunan lapak yang dibangun oleh Pemda Lombok Utara, tetap saja itu semua belum terlihat teratur. Apalagi jika kita membicarakan menu yang mereka sediakan. Sama sekali tidak menarik untuk dinikmati oleh para wisatawan.
Jika kita menuju Bangsal dari arah perempatan Pemenang, maka akan kita saksikan beberapa restoran yang cukup baik, yang biasanya oleh para guide dijadikan tempat sarapan untuk para wisatawan, baik itu wisatawan perorangan ataupun wisatawan grup. Namun selebihnya, akan kita jumpai bangunan-bangunan yang sepertinya tidak tepat berada di jalur wisata seperti Bangsal.
Sejak berpisahnya Lombok Utara dari Lombok Barat, beberapa perkantoran dibangun di Bangsal. Kantor Urusan Agama (KUA), Sekolah Dasar (SD), UPTD Pendidikan Kecamatan Pemenang, TK Pembina Kecamatan Pemenang, Gedung Tsunami, dan beberapa perkantoran lainnya. Entah mengapa banguan-bangunan ini bisa ada di jalur wisata. Tidakkah dipertimbangkan bahwa jalur ini seharusnya dibangun untuk infrastruktur pariwisata? Tidakkah didiskusikan perencanaan yang matang untuk membangun pariwisata Lombok Utara? Tentu banyak pertanyaan muncul dari hal ini. Apalagi beberapa lokasi tempat berdirinya bangunan-bangunan itu dulunya adalah lahan hijau pertanian masyarakat. Kita selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan. Jika kita harus mengorbankan sesuatu, paling tidak apa yang kita korbankan sepadan dengan apa yang akan didapatkan.
Suatu ketika, kami tengah asyik duduk di sekretariat. Tiba-tiba beberapa orang datang. Saya lupa tepatnya siapa mereka. Yang jelas mereka adalah beberapa peneliti dari sebuah institusi pemerintah. Mereka mengajak kami berbincang mengenai banyak hal. Salah satu yang membuat kami tercengang kala itu adalah sebuah pertanyaan yang mereka lontarkan. “Tahukah kalian, bahwa seratus tahun lagi Gili Meno akan hilang dari peta…?”
Begitu pertanyaan itu keluar, kami semua terdiam. Bagaimana tidak?! Sebuah pertanyaan sekaligus pernyataan yang sangat menggetarkan hati. Sebuah pulau akan hilang. Pulau tempat banyak kawan, sanak-saudara, juga keluarga kami mencari nafkah di sana. Mengapa hal ini bisa terjadi? Salah seorang dari mereka kemudian melanjutkan, bahwa abrasi yang terjadi membuat Gili Meno semakin mengecil. Terumbu karang yang menjadi pemecah ombak dan gelombang sudah rusak. Pepohonan dan tanaman liar yang ada di pinggir pantai sudah diganti dengan beton-beton hotel dan homestay. Investor dan masyarakat lokal tiap tahun membangun. Pantai diklaim milik hotel atau perusahaan. Jumlah pantai yang menjadi milik masyarakat akhirnya akan habis, karena semua pihak mengaku pantai adalah pantai mereka.
Komunitas Pasirputih pernah sekali mengadakan riset di Gili Meno terkait hal ini. Seorang pekerja wisata yang sudah sekitar 15 tahun bekerja di Gili Meno mengakui hal ini benar terjadi. Sejak ia bekerja di Gili Meno, pantai memang semakin sempit dan Gili Meno semakin mengecil. Ketua Komunitas Mangrove, Pepeng, mengakui bahwa ketika abrasi mulai semakin parah, masing-masing pihak menyelamatkan tanah mereka sendiri. Tidak ada persatuan. Masyarakat yang tidak memiliki lahan di pinggir pantai merasa bahwa itu bukan tanggung jawab mereka. Lalu, bagaimana jika ini benar-benar terjadi? Semua orang mengklaim lahan, tetapi sedikit yang bisa bertanggung jawab atas lahan yang mereka tempati.
Di Lombok Utara umumnya, permasalahan lahan semakin aneh. Masyarakat berlomba-lomba menjual lahan mereka, karena memang harga tanah tiba-tiba melambung tinggi di Lombok Utara. Namun, setelah tanah dijual, tidak sedikit masyarakat yang mengeluh. Sebab, akhirnya kapitalisme menggerogoti lahan dan memonopoli ekonomi masyarakat. Di beberapa tempat, sempat terjadi keributan antara warga dan pihak hotel, karena masyarakat tidak diizinkan mencari ikan di sekitar wilayah hotel. Satu cerita yang saya dapat dari Herman Zohdi, menyebutkan bahwa masyarakat nelayan di Desa Malaka membingungkan tempat untuk menyandarkan perahu mereka, karena tanah sudah dijual dan pihak pembeli tidak mengizinkan masyarakat menyandarkan perahu di tanah yang sudah mereka beli. Sungguh ironis.
Semakin digaungkannya pariwisata menjadi ikon Lombok Utara, dengan promosi melalui berbagai macam cara, intensitas wisatawan yang datang mengunjungi Gili semakin meningkat. Meningkatnya pengunjung ke Gili, mengharuskan suplai bahan makanan yang juga semakin tinggi. Tingkat konsumsi masyarakat dan wisatawan di Gili semakin meningkat. Alhasil, limbah makanan semakin meningkat pula, dan jumlah sampah pun semakin banyak. Bisakah Anda bayangkan, Gili Trawangan misalnya, sebuah pulau kecil yang luasnya hanya 360 Ha, menghasilkan 5 ton sampah setiap hari? Untuk saat ini, masalah sampah di Gili Trawangan belum bisa diatasi dengan maksimal. Pemerintah Provinsi menekan Pemda Lombok Utara untuk segera menangani sampah ini, tetapi belum juga ditemukan solusinya. Saat ini, jika Anda ke Gili Trawangan, sempatkanlah berkeliling ke belakang bukit Gili Trawangan. Di sana, Anda akan melihat tumpukan gunungan sampah yang sangat banyak. Sampah yang dihasilkan oleh hotel-hotel, restoran-restoran, bar-bar, kafe-kafe dan warung-warung tradisional yang ada di Gili Trawangan.
Ah…! Banyak sekali permasalahan yang seharusnya bisa saya utarakan di sini. Mungkin bisa saya tuangkan di lain waktu secara lebih detail.
Butuh banyak waktu membicarakan Bangsal dengan segala permasalahannya. Tidak satu-dua tulisan. Mungkin butuh riset berbulan-bulan untuk bisa melihat apa sebenarnya yang terjadi dengan Bangsal dan terminalnya, Tiga Gili dan Lombok Utara. Sebab, semua terkait satu dengan yang lain.
Selanjutnya, dari mana harus kita mulai mencari akar permasalahannya? Dari hemat saya, setelah melakukan diskusi dengan beberapa tokoh masyarakat, yang terpenting adalah konsep yang jelas tentang pariwisata Lombok Utara. Konsep yang saya maksud di sini, bukan hanya tentang Bangsal adalah pelabuhan, Terminal Bangsal adalah tempat perhentian sementara sebelum wisatawan tiba di Bangsal, Tiga Gili adalah aset pariwisata yang baik untuk meningkatkan pendapatan daerah dan menopang ekonomi masyarakat. Namun, harus ada blue print yang bisa dijadikan patokan bagi semua kalangan, baik itu pemerintah, pedagang asongan, pengusaha, kusir cidomo, dan semua elemen yang ada di Pemenang, khususnya warga Bangsal dan Tiga Gili.
Saya tutup tulisan ini dengan sepenggal puisi yang saya jadikan pembuka dalam tulisan saya tentang Dermaga Bangsal, yang pernah dimuat di jurnal www.akumassa.org:
“Sebentar saja,
Biarkan aku duduk menerima takdirku
Memandang matahari yang sebentar lagi tenggelam
Sebentar saja,
Lalu aku akan segera kembali
Menerima garisku
Pada matahari pagi dari balik Rinjani”
Footnote
1. | ⇑ | Rosmayadi (9 Maret, 2010), “Asal Muasal Masjid Jami’ul Jama’ah Karang Pongsor”, akumassa. Diakses pada 1 April, 2015. |
pengembangan pelabuhan, cidomo, terminal, dll …. Kira-kira seperti apa blueprint pengembangan pariwisatanya …. sangat menarik menanti kelanjutan penelurusan Bang Siba 😀
Doakan,,,, Lus… Semoga tetap sehat…!!!
Palsu ini..cerita karang2an
Jauh beda ceritanya dari sang sejarawan asli orang pemenang.