Catatan ini mungkin setara dengan apa yang disebut orang Minang sebagai bacaruik, yang artinya mengumpat dengan kata-kata yang kotor. Karena selama 4 hari berada di Padangpanjang seringkali saya dan Kikie, sesama rekan kerja saya dari Jakarta, diperingatkan oleh teman-teman di sini karena kami sering kali mengumpat. Kami sering mengutarakan suasana hati yang sedang terasa menghentak dengan ungkapan-ungkapan yang terdengar oleh kawan-kawan di kota yang memegang adat istiadat dalam pergaulan ini. Misalnya kalau sedang tidak bisa membalas ledekan Kikie, saya akan mengeluarkan kata-kata (maaf): ’tai’ (yang tidak ditujukan pada siapapun). Atau sebaliknya, Kikie dalam situasi yang sama akan mengeluarkan kata-kata: ‘anjing’. Bahkan, karena sedang ngotot belajar bahasa Minang yang sebenarnya merupakan ‘bahasa ibu’ untuk Kikie (walau ibunda Kikie yang sempat mampir ke Padangpanjang menjenguk kerja anaknya dalam lawatannya ke Sumbar, untuk mengurus Harto Pusako pun tak bisa berbahasa Minang), Kikie menggantinya menjadi ‘anjiang’.
Di lain kesempatan, kalau saya sudah merasa akrab dengan seseorang, maka dalam situasi kerja yang sering membuat saya menjadi tidak sabaran menghadapi keleletan seseorang, tanpa sedikitpun ada rasa kesal saya akan memanggilnya dengan sebutan ‘keong’. Mungkin bahkan akan terdengar lebih parah lagi, di tempat asal kami bekerja. Dalam suasana hati positif tertentu, saya memanggil teman-teman saya dengan sebutan setan, atau anak setan. Dan tak satupun yang tersinggung.
Bahkan tak masalah bagi saya kalau mereka juga berlaku sebaliknya pada saya. Nyaris tidak pernah sih, Mungkin karena saya lebih tua, atau mungkin karena di antara orang-orang yang tidak sopan di lingkungan kami, saya adalah yang paling tidak sopan.
Sampai di sini, saya sedang memasuki tahap suasana kerja yang mulai asyik sekaligus memenatkan, mulai pula menemukan ‘keong-keong’ baru di komunitas dampingan kami di Padangpanjang yang menggemaskan saya di saat semua kerja harus terlihat efektif, namun kadang tidak tercapai sesuai dengan standar kesuksesan per poin yang saya canangkan. Sampai di sini pula, rekan-rekan kerja kami dari Sarueh bisa menerima sebutan itu sebagai sesuatu yang lucu dan bisa membuat kami semua sama-sama tertawa. Kelihatannya sih memang begitu… Ya saya pikir begitu… Semoga saja…
Perbedaan pandangan dalam memandang teman yang memiliki perbedaan umur pun sempat membuat kami mengetuk dahi keheranan, karena misalnya, agak aneh bagi kami melihat orang di sini harus memanggil seseorang yang hanya berusia setahun lebih tua dengan sebutan abang, atau kakak. Sedangkan kami hanya memanggil nama pada rekan kerja kami di Jakarta yang berusia sekitar 7 tahun lebih tua dari saya, yang berarti 16 tahun lebih tua dari Kikie. Padahal menurut penglihatan analitis saya, orang-orang di sini bisa terlihat begitu percaya diri menghadapi lawan bicaranya. Saya mengapresiasinya sebagai budaya baik yang menjunjung tinggi adat istiadat dan menjaga keharmonisan hubungan yang sudah terjalin dengan caranya sendiri sejak abad nan lampau. Hmm…indah juga ya?
Mungkin orang Jakarta memang tidak sopan, atau mungkin memang karakter orang Jakarta sedari dulu kala, tinggal di kota yang berisi orang-orang dari seluruh suku di Indonesia. Orang Jakarta sudah tidak lagi menganggap sesuatu itu penting kalau dilihat dari bungkusnya alias tata krama, melainkan dari apa yang ada di dalamnya. Itu jelas. Kami orang Jakarta terlalu lelah menyamakan persepsi-persepsi kesopanan dalam bergaul yang selalu saja berbeda, karena asal-usul masyarakat yang berasal dari seluruh penjuru Indonesia itu tadi.
Namun ingat! Apa yang saya maksud dalam paragraf pembuka di atas tidak mengartikan bahwa dalam tulisan ini akan penuh berisi makian atau umpatan dengan menggunakan kata-kata kotor.
Bukan juga berarti bahwa saya dengan tak pedulinya tetap mengumpat di hadapan kawan-kawan yang bisa menganggap itu sebagai sebuah bentuk ketaksopanan.
Tapi, catatan ini adalah catatan tentang sebuah kancut.
* * *
Berceritalah Kikie di sela-sela waktu bekerja kami di Padangpanjang tentang pengalaman bodohnya. Suatu hari di kontrakan material Lenteng Agung, Kikie yang sudah kehabisan pakaian hendak mandi, dan sebelumnya dia melakukan sebuah ritual terlebih dahulu. Dia menggantungkan dua helai celana dalam pada dua paku yang terpancang di dinding. Pada paku sebelah kiri, satu celana dalamnya yang bersih dan akan dipakainya setelah mandi. Sedangkan, pada paku sebelah kanan dia menggantung satu lagi celana dalam bekas pakai yang akan dicucinya. Selesai mandi, dia mengambil celana dalamnya yang tergantung di paku sebelah kiri, lalu mencucinya dengan bersih sekali, tak lupa membilas dan memerasnya hingga setengah kering untuk kemudian dijemur. Selesai itu dia siap berpakaian. Diambilnyalah celana dalam satu lagi yang tergantung di paku sebelah kanan.
Manusia kadang memang memiliki kebiasaan yang agak aneh terhadap dirinya sendiri. Sebelum mengenakan celana dalam, Kikie (…aduh…) mengendus dulu si celana dalam tersebut. Dia terdiam dan otaknya sedikit berputar karena merasa ada sesuatu yang aneh. Sadarlah dia bahwa tadi telah mencuci celana dalam bersihnya (persediaan satu-satunya di kos-kosan), dan menyisakan celana dalam kotornya untuk kembali dia kenakan. Entah apa yang dia lakukan setelah itu, yang pasti semua kawan-kawan dari Sarueh tertawa jungkir balik mendengar cerita itu, kecuali saya. Saya memang tidak sopan dan suka mengumpat. Tapi saya mual membayangkan hal-hal yang berhubungan dengan ketidak sterilan.
Saya langsung akan mengumpat dan kali ini ditujukan langsung pada Kikie, jika lagi-lagi dia mengulang cerita itu. Selama di Jakarta dia menyebut peristiwa itu dengan sebutan ‘Balada si Kancut’. Sampai di Padangpanjang, dalam rangka memperlancar bahasa Minangnya, dia menyebut peristiwa itu sebagai: Cincuik Balado, membuat saya batuk menahan sesuatu yang hendak keluar dari tenggorokan, sampai saya mengeluarkan air mata.
* * *
Catatan ini memang bisa dirasa tidak pantas bagi orang-orang tertentu, tapi ini kenyataan yang terjadi. Baru hari ke-3 kerja kami di Padangpanjang, saya sudah kehilangan kunci kamar kos saya. Mungkin terjatuh waktu saya sedang duduk di warnet dekat Kafe Caristo, Pasar Padangpanjang. Saya baru menyadarinya saat saya sudah tiba di tempat kos, dan tidak mungkin lagi saya mengetuk rumah rekan wanita untuk menginap karena agak jauh letaknya dan sudah larut malam. Lagi pula, tidak baik di kota ini kalau perempuan tampak berkeliaran di jalan dalam gelap malam. Terpaksalah saya meminjam kamar seorang teman yang tinggal berdekatan, dan menyuruhnya pergi karena dia laki-laki.
Keesokan harinya saya pergi bekerja ke laboratorium akumassa di markas Sarueh tanpa mandi dan ganti pakaian. Untungnya Padangpanjang adalah kota pegunungan, dingin sekali, terutama di bulan Januari seperti sekarang ini. Jadi rasanya tak terlalu masalah bekerja tanpa mandi.
Kikie dan kawan-kawan yang sudah tahu kisah ‘Balada si Kancut’ mulai menakut-nakuti saya dengan kisah itu lagi. Saya diam saja dan program akumassa tetap berlangsung.
Bisa jadi saya memang tidak sopan. Tapi saya tidak mau terdengar bacaruik di hadapan kawan-kawan saya di Padangpanjang, kalaupun terjadi, itu bukan dengan maksud yang negatif.
Saya juga tidak bermaksud menyampaikan sebuah catatan yang tidak pantas, selain menceritakan pengalaman yang terjadi pada saya yang distraktif ini.
Dan sumpah, saya tidak mau punya kisah ‘Balada si Kancut’ seperti Kikie yang tidak distraktif tapi… Apa ya namanya?
Maka malam itu juga, saya pergi ke pasar mengejar satu-satunya toko yang masih buka dan siap-siap untuk tutup yang kebetulan menjual perlengkapan mandi juga pakaian dalam. Situasi di sekeliling saya selalu sama distraktifnya dengan saya. Si Bapak pemilik toko mengerut dahi meladeni saya yang mungkin terlihat aneh di matanya. Seorang perempuan berekspresi tidak berasal dari lokasi ini, lewat tengah malam, mencari pakaian dalam. Dan keningnya makin berkerut waktu saya tetap membeli pakaian dalam pria yang dijualnya (karena dia tidak menjual pakaian dalam wanita). Entah kenapa, setelah transaksi itu selesai saya meminta maaf padanya… (mungkin itu bentuk adaptasi dari perbedaan persepsi yang sering terjadi jika dua budaya berbeda bertemu dalam satu lokasi yang berpihak pada satu budaya tertentu, atau mungkin rasa bersalah saya yang sadar betapa saya bukan wanita yang sopan kalau dilihat dari sudut pandang tertentu… Maka maafkanlah saya atas kisah yang terdengar seperti caruik atau umpatan ini)
Padangpanjang 29 januari 2009
dashyat… lucu abis tuh cerita kikie, gua ketawa ngakak sendirian ketika baca tulisan ini. jadi sedia payung sebelum hujan harus digalakan seperti sedia celana dalam sebelum semuanya pada kotor. biar gak pinjem celana dalam sama teman,,hahahahaha..kalau masalah karakter pasti semuanya agak beda. jadi sopan gak sopan itu tergantung yang menanggapi,,tapi menurut saya mbak otty be your self bangeet..dashyat…keep it that way. salam rob untuk semua disarueh..
die emang gitu tuh, jangan2 dia ga bisa bedain mana uang seribuan sama 20 ribuan…
-andangkelana-
hahaha….jangan-jangan kau punya pengalaman yang sama rob?! gimana kalo setiap kancut dilemari kita dinamain per hari…senen, selasa, rabu…dst!!!
hati-hati cincuit balado bukan jenis makanan… jangan kalian coba-coba datang ke restoran padang dan berkata: “Da, Cincuik balado ciek da!!”
hahahaaa……
salam AKU-MASSA
balada si kencut,,
hahahahahhahahaha…
tapi ada yang lebih menarik lagi di sarueh
..paan tuh…
klo “kiki pea” salah ngambil celana dalam kalau orang sini nyebutnya (sarawa kotok) karena kelalaiannya atau kebodohonnya (hehehehehe…. becanda koq..), anak sarueh malah lebih parah lagi..sarawa kotok yang mereka pakai bisa bertahan sampai empat hari bahkan ada juga yang sampai seminggu. Ya mungkin karena disini sering hujan jadi mereka pada malas nyuci dan… banyak pada yang malas mandi,,hehehehe…
alah…baru hari ke-3 ud kehilangan kunci kamar kos????hari kesekian kehilangan apaan c’ot??makanya semuanya di iket aja di badan lo….hahaha….
alah…baru hari ke-3 ud kehilangan kunci kamar kos????hari kesekian kehilangan apaan c’ot??makanya semuanya di iket aja di badan lo….hahaha….
coba suruh kikie ngitung MATEMATIKA…secara dia juara OLIMPIYADE MATEMATIKA INTERNASIONAL dan terganteng di angkatan 2000(kata dia)…Pasti bisa ya kan Kie…hahahaha…
hahahahahhahahhhaha
EMBEL TA…….