Orang tua : Mannn….!!!
Anak-anak : Enggih…!!!
Orang Tua : Dengah ceritan Bapu’…
Leq jaman laeq araq sopoq cerita aran a Tetuntel-tuntel… Leq sopoq jelo ya lampaq-lampaq, nempur a timpal aran a tekura-kura…..
Demikianlah kata-kata pembuka dari kebiasaan mendongeng pada anak-anak yang sering dilakukan oleh orang tua di tempat tinggalku. Begitu juga dengan kakekku, beliau sering menceritakan sesuatu kepadaku, misalnya tentang Te Tuntel-Tuntel yang memperdaya kura-kura dengan tipu muslihatnya, Doyan Neda yang ceritanya tentang asal-muasal masyarakat Lombok dan juga tentang beberapa sejarah lainnya menyangkut keberadaan masyarakatku di Desa Pemenang, Lombok Utara. Bahkan kakekku juga pernah menyebut-nyebut bahwa masjid yang berada di dekat rumahku yang bernama Masjid Jami’ul Jama’ah itu memiliki sejarah juga.
Kini aku kuliah di STKIP (Sekolah Tinggi Kejuruan Ilmu Pendidikan) mengambil jurusan Sastra Indonesia. Hal ini memaksaku untuk mengenal budayaku, termasuk sejarah yang tidak pernah terlepas dari budaya itu sendiri. Hingga saat ini aku tumbuh dewasa dengan masih menyimpan rasa penasaran tentang masjid yang berada di dekat rumahku itu yang sekarang sedang dalam tahap rehabilitasi.
Pada suatu hari sepulang kuliah, aku duduk di teras rumah menghilangkan penat sambil mendengarkan irama dangdut yang dilantunkan oleh Evi Tamala. Istriku keluar membawa segelas kopi hitam dan menegurku dengan khasnya,
“Kak, inget lemak tau ngecor lek masjid. Awas lamun epe dek milu!” (“Kak, ingat besok orang ngecor di Masjid. Awas kalau kamu tidak ikut!”). Aku baru ingat, pantas saja tadi sepulang kuliah aku melihat banyak sekali tumpukan semen di pinggir jalan.
“Lamun koto, siapang kek ku kelambi sik gotong royong lemak nu.” (Kalau begitu, siapkan baju untuk aku gotong royong besok). Ucapku pada istriku.
“Kak anuk seruak, sekek KK (Kepala Keluarga) siepang nasik pada-pada dua bungkus, ling pengumuman tonek lemaq” (Kak begini, satu Kepala Keluarga menyiapkan nasi sama-sama dua bungkus, kata pengumuman tadi pagi) istriku melanjutkan.
“Terus apa ampok?” (Terus apalagi?) tanyaku.
Istriku sambil mencubit-cubit sarungnya berkata “Mbe sik ta mbeli beras?”(Mana kita pakai beli beras?).
Aku terdiam dan masuk ke kamar mengambilkan beberapa lembar uang, “Mbeli wah sik mengan bareh peteng apa seruak.” (Beli sudah untuk makan nanti malam juga). Aku duduk lagi di teras dan termangu, ternyata masjid itu sudah tua dan memang harus diperbaiki.
Keesokan harinya sewaktu pengecoran dimulai terlihat banyak sekali orang yang ikut bergotong-royong. Bukan hanya dari jama’ah masjid lain di sekitar Pemenang tapi juga masyarakat yang berbeda agama (Hindu dan Budha). Saudara-saudara kita yang berbeda agama berpartisipasi tanpa memandang A atau Z? Tentu ada yang melatarbelakangi semua itu pikirku, dan akhirnya aku berniat untuk menggali apa yang menjadi pertanyaan-pertanyaan yang bersarang dalam pikiranku selama ini.
Sesaat ketika waktu istirahat tiba, waktu itu sekitar pukul 12.35 WITA, karena terdorong oleh rasa penasaran ku, aku menghampiri salah seorang yang di-tuakan oleh masyarakat di dusun kami, beliau bernama Lalu Masnun. Sambil menyantap sebungkus nasi yang didapatkan dari sumbangan warga, aku pun memberanikan diri untuk bertanya kenapa banyak sekali orang yang ikut bergotong-royong untuk pengecoran masjid ini. Beliau pun bercerita dengan senang hati, karena mungkin didasari dengan perasaan bangga bahwa ternyata masjid kami ini memiliki sejarah yang sangat luar biasa.
Beliau pun mulai bercerita, Desa Pemenang Sekitar abad ke-16 bernama Karang Pangsor yang saat ini menjadi nama sebuah dusun. Wilayah ini dulu dikuasai oleh Kerajaan Jeleme Ireng yang menganut Paham Animisme, dan sekarang orang menyebutnya Jeliman Ireng. Perlu diketahui bahwa sekarang masyarakat Kecamatan Pemenang mayoritas beragama Islam. Ketika ditanya lebih lanjut tentang bagaimana Agama Islam datang ke wilayah Pemenang, beliau mengatakan bahwa Agama Islam dibawa oleh para saudagar Arab yang datang untuk berniaga menggunakan perahu dan menjadikan Bangsal sebagai tempat persinggahan sekaligus menjadi pelabuhan. Kedatangan mereka tidak hanya untuk berniaga, tapi juga untuk menyebarkan Agama Islam. Ajaran Islam yang mereka bawa saat itu ditolak, hingga terjadi peperangan antara saudagar Arab dengan Kerajaan Jeleme Ireng yang berkuasa saat itu. Dalam peperangan tersebut senjata yang digunakan masih sangat sederhana, seperti Ancar (senjata yang terbuat dari bambu, pelurunya juga dari bambu yang diraut kemudian direndam dengan getah ancar yang beracun), tombak dan teriakan. Peperangan antara saudagar Arab dengan masyarakat Pemenang terjadi empat kali, dan para saudagar mengalami tiga kali kekalahan.
Pada abad ke-17 datang seorang ulama besar dari Arab yang memerangi rakyat Pemenang. Oleh ulama tersebut, orang Pemenang ‘dijinakkan’ dengan do’a yang mendatangkan ikan-ikan pasok (cucut) yang besar dan bisa terbang, sehingga masyarakat Pemenang banyak yang meninggal. Masyarakat Pemenang yang masih hidup akhirnya ada yang lari ke hutan, akhirnya menjadi masyarakat Tebango Bolot saat ini.
Pada waktu Islam menduduki Karang Pangsor, Kerajaan Hindu Karang Asem dari Bali datang ke Lombok dan berpusat di Mayura Cakra Negara Mataram. Pada awal abad ke-18, Mataram adalah kediaman putra mahkota Kerajaan Karang Asem, rajanya sendiri berkedudukan di Cakranegara. Sejarah Kerajaan Hindu Karang Asem berhubungan erat dengan sejarah keberadaan orang-orang Bali di Lombok. Taman Mayura sendiri ada pada awal abad ke-18, waktu itu di Lombok masih terdapat kerajaan-kerajaan kecil, seperti Mataram, Pagesangan, Sengkano dan sebagainya. Sekitar tahun 1675, Raja Hindu Karang Asem memperluas daerahnya sampai ke wilayah Lombok Utara. Rombongan pasukan dipimpin oleh seorang Anak Agung yang bernama Anak Agung Nengah Subagan, yang selanjutnya memusatkan kekuasaannya di Desa Pemenang .
Dengan kebijaksanaan dan kepiawaiannya dalam menjalankan pemerintahan, Anak Agung Nengah Subagan berhasil mengambil hati masyarakat Pemenang, dia berhasil mempersaudarakan seluruh komponen masyarakat Pemenang yang terdiri dari masyarakat Muslim, Hindu dan Budha serta melibatkan mereka dalam pemerintahannya. Lalu Masnun (Mantan Kepala Dusun Karang Pangsor pada tahun 1975-1978) mengatakan, “rasa persaudaraan itu masih tertanam dan terlihat sampai sekarang, hal ini dapat dilihat dari sikap toleransi keagamaan dan hubungan yang harmonis di sini.”
Pernah terjadi Perang Praya, yaitu peperangan antara masyarakat muslim yang berpusat di Desa Juring, Praya, Lombok Tengah melawan Kerajaan Hindu Karang Asem di Mayura, Cakranegara, Mataram. Perang ini mengakibatkan Kerajaan Hindu terpojok dan memaksa Raja Hindu Mayura meminta bantuan kepada Anak Agung Nengah Subagan yang waktu itu memerintah di Pemenang, Lombok Utara. Akhirnya Anak Agung Nengah Subagan mengirimkan bala bantuan yang terdiri dari komponen masyarakat Muslim, Hindu dan Buddha yang telah dipersaudarakannya. Pasukan tersebut dipimpin oleh penduduk asli Pemenang yang ahli dalam siasat perang dengan gelar Bapuk Bayang (nama aslinya tidak diketahui) dengan beberapa tokoh lain. Mereka berhasil memenangkan Perang Praya dan atas kemenangan tersebut, Anak Agung Nengah Subagan membangun sebuah langgar atau masjid untuk Bapuk Bayang dan Umat Islam di daerah ini sebagai wujud penghargaan. Begitulah sekelumit kisah tentang Masjid Jami’ul Jama’ah yang sekaligus mengakhiri masa-masa penasaranku.
Masjid Jami’ul Jama’ah sangat menarik karena dibangun oleh komponen masyarakat Islam, Hindu dan Buddha. Bahkan Sampai sekarang pun kalau ada perbaikan masjid ini, saudara-saudara Hindu dan Budha ikut berpartisipasi di dalamnya. Oleh masyarakat Pemenang, masjid ini dijadikan lambang persaudaraan antara umat beragama di Pemenang.
Menurut Bapak Masjudin Ashari, salah satu panitia pembangunan Masjid Jami’ul Jama’ah, masjid ini sudah lima kali mengalami renovasi. Renovasi pertama dilakukan pada tahun 1960 dengan pemborong bernama Haji Basuni. Akibat gempa bumi yang terjadi pada tahun 1979 masjid ini mengalami kerusakan pada bagian atasnya, karena itu masjid ini direnovasi kembali pada tahun 1980 yang ditukangi oleh Amak Marsuni dan dibiayai oleh pemerintah setempat sebesar Rp. 1.150.000,-. Renovasi ke tiga dilakukan pada tahun 1985 yang dibiayai oleh masyarakat setempat. Renovasi ke empat dilakukan pada tahun 1988 yang di tukangi oleh Bapak Musip yang dananya juga berasal dari masyarakat setempat. Renovasi ke lima dilakukan pada 2007 hingga saat ini.
Pada renovasi kali ini, masjid dirombak secara total. Bentuknya sudah tidak seperti semula. Perombakan total ini dimulai dari tahun 2007 dan memakan biaya sekitar 1 milyar rupiah, dana yang digunakan didapatkan dari masyarakat sekitar yang berjumlah Rp. 998.500.000,- dan dari instansi pemerintahan sekitar Rp. 15.000.000,-. Lalu Najamudin, salah satu Tokoh Agama di Dusun Karang Pangsor, menerangkan bahwa masjid ini merupakan masjid tertua di Kecamatan Pemenang dan dijadikan pusat perkembangan agama. Dulu wilayah persebaran jama’ahnya mencapai Kecamatan Tanjung, Gangga bahkan Kayangan. Lokasi masjid ini berada di jalur Bangsal, Dusun Karang Pangsor, Desa Pemenang Barat, Kecamatan Pemenang yang berdekatan dengan masyarakat Hindu.
manis sekali toleransi di pemenang.
keren juga tulisannya Rosmayadi……
ngomong2 lu udah kawin yak?
Ternyata bunga mekar di pamenang…!!!! Rosmayanti,, eh,,, Rosmayadi!!!
Ini lah yang membuat saya suka dengan jurnal akumassa. Hanya dengan pemicu “apa yang ada di sekitar kita”, kita bisa berbicara mengenai banyak hal. Contohnya masjid Jami’ul Jama’ah ini. Saya menjadi tahu sejarah tentang masuknya Islam ke daerah Karang Pongsor dan garis besar kehidupan masyarakat, yang mana diinformasikan oleh penulis terdiri dari pemeluk agama Hindu, Budha, dan Islam. Kerukunan masyarakat juga terlihat dari kebersamaan mereka merenovasi masjid bersejarah dengan gotong royong.
Cerita yang bagus sekali.
sebagae orang asli pemenang tepanya dsn tebango q merasa bangga ama akkumassa karena telah memberikan imformasi yang sangat bagus untuk menyadarkan generasi muda saat ini tentang arti pentingnya persaudaraan walau kita banyak perbedan”””””””’maju terusssssssssssss
aku jadii trharuu ni mlihat tanah klahiran ku,,..
lanjutkan lgi kreatifitasnya ka’…
ternyata arak aran bapung qu lek cak..:)
mantap broo