Menjelang siang, aku baru bangun dari tidur. Hal yang aku lakukan setelah bangun dari tidur adalah membuka telepon genggam, memeriksa kemungkinan adanya nomor yang menghubungiku saat aku sedang tidur. Ini sudah menjadi kebiasaannku. Ada dua panggilan dari Si Seken yang tak terjawab, empat pesan dari kawanku yang menanyakan aku di mana, salah satunya dari Si Kotak yang memberi tahu bahwa nanti siang kawan-kawan akan berkumpul di rumahnya untuk membahas persiapan aksi solidaritas untuk Rembang, esok hari, Kamis.
“Sudah tiga hari ibu-ibu Desa Timbrangan dan Tegaldowo melakukan aksi blokade jalan di Tapak Pabrik. Kalau bisa nanti siang kamu datang ke rumahku untuk mempersiapkan aksi solidaritas untuk warga Rembang di Alun-Alun Blora besok,” begitu isi pesan singkat dari Si Kotak.
“Tidak usah kubalas lah, lagipula sudah siang, besok saja aku langsung ke sana,” gumamku dalam hati, penuh pertimbangan apakah akan ke rumahnya Kotak atau tidak.
Sambil rebahan di tempat tidur, aku mengirim pesan singkat ke beberapa kawan, memberitahukan kalau besok, hari Kamis, akan ada aksi solidaritas di Alun-Alun Blora. Beberapa kawan menanyakan bahwa bukankah aksinya akan dilakukan di Rembang, tepatnya di lokasi Tapak Pabrik? Aku membalas dan menjelaskan bahwa besok adalah aksi solidaritas dari Blora untuk Rembang.
Kamis pagi, aku berangkat dengan Dedi mengendarai sepeda motor. Dalam perjalanan, kami banyak bergosip, menggosipkan seorang kawan yang sudah tiga puluh tiga tahun tidak pernah pacaran. Dalam perjalanan itu, aku dan Dedi tertawa lepas, sebab sepanjang perjalanan di kanan-kiri jalan adalah hutan.
Pukul sembilan lebih lima belas menit, aku dan Dedi sampai di rumah Kotak. Rencananya, aksi solidaritas untuk Rembang akan dimulai dari rumahnya. Setiap kali menggelar acara dan aksi massa, tidak pernah sekali pun kami tepat waktu. Ketidaktepatan waktu ini sudah menjadi tradisi buat kami, sebuah tradisi yang kurang keren.
Sangat lama, kami dan kawan-kawan yang berada di sekitar Blora tidak pernah kumpul seperti sekarang ini, saling bercengkrama menanyakan kabar dan kegiatan masing-masing di depan rumah Kotak. Satu per satu, aku berjabat tangan dengan kawan-kawan yang berada di depan rumah Kotak. Saat masuk ke dalam rumah Kotak, aku sedikit terkejut karena ada beberapa kawan dari luar kota yang ikut dalam aksi solidaritas yang akan di gelar di Blora. Ada kawan dari Purwokerto, Kulonprogo, Yogyakarta dan Pati.
Hari sudah beranjak siang dan cuaca mulai panas. Dari teras rumah Kotak, aku sedikit berkata keras, “Ayo berangkat, keburu siang, nanti malah kepanasan!”
Seorang kawan menyahut, “Sebentar Lagi, Nib, ini sedang disiapkan yang masih kurang”.
Mendengar sahutannya aku langsung jengah. “Hah, kebiasaan!” kataku dalam hati.
Tidak lama kemudian, kami sudah siap untuk melakukan aksi, kami mulai berjalan sambil bernyanyi-nyanyi “Tolak, tolak, tolak pabrik semen! Tolak pabrik semen sekarang juga!”. Di sela-sela seruan, seorang kawan yang sudah ditugaskan dalam aksi untuk memerankan tokoh yang pro dengan pendirian pabrik semen dalam aksi teatrikal nantinya, menyahut, “Kalau tidak ada semen, ruko-ruko ini mau dibangun dengan apa?” sambil jari telunjuknya menunjuk ruko-ruko pasar yang kami lewati menuju Alun-Alun. “Kalau tidak ada semen, mereka mau kerja apa?” sambil menunjuk buruh bangunan yang sedang mengaduk semen. Aku hanya bisa diam dan berpikir, “Benar juga apa yang dikatakannya, belum ada solusi dan alternatif pengganti semen. Namun, semen tidak bisa untuk membangun gunung, tidak bisa buat menanam, tidak bisa memunculkan mata air.”
Sambil berjalan, aku berseru, “Semen opo iso nggo bangun gunung?” (Semen apa bisa untuk membangun gunung?). “Semen opo Iso dinggo nandur pari?” (Apakah semen bisa untuk menanam padi?). “Lha opo kowe-kowe ameh do mbadok Semen?” (Apa kalian-kalian akan makan semen?)
Kami tidak jadi melakukan aksi solidaritas di Alun-Alun. Beberapa kawan berkata, “Kita langsung ke Pemkab!”
Cuaca yang tadinya panas, sesampainya di depan Pemkab, berubah menjadi mendung. Di depan kantor Pemkab, kawan-kawan mulai melakukan aksi teatrikal, adu argumentasi secara spontan dengan dua orang kawan yang diatur menjadi pihak pro semen.
Aksi yang kami gelar berjalan dengan lancar, namun sepi tanggapan dari pihak pemerintah. Merasa terabaikan, kami beranjak pulang bebarengan dengan hujan yang mulai turun.
“Mungkin, sepinya tanggapan dari pemerintahan Blora sendiri karena ini aksi solidaritas untuk Rembang yang tidak menyangkut Blora,” gumamku dalam hati.
Pukul setengah satu siang, kami sudah berkumpul kembali di rumah Kotak. Ada beberapa kawan yang langsung pulang ke rumah, dan beberapa lainnya masih berkumpul untuk evaluasi aksi hari itu dan agenda selanjutnya. Sementara aku duduk di teras depan rumah dengan seorang kawan, dia bertanya padaku, apakah aku ikut aksi di Rembang pada Hari Senin, 16 Juni 2014, kemarin.
“Tidak, aku tidak ke sana, aku di rumah saja, saat itu tubuhku kurang bersahabat,” jawabku.
Aku balik bertanya kepadanya, apakah dia ikut aksi di Rembang.
“Ya, Nib. Aku ikut aksi di Rembang kemarin sebagai tim dokumentasi.”
Aku mulai penasaran dengan aksi yang dilakukan di Rembang, lalu bertanya lebih jauh padanya terkait beberapa hal. Dia pun mulai menceritakannya.
“Gila! Di sana, ibu-ibu yang menolak, yang melakukan aksi blokade jalan di tapak pabrik semen, yang duduk dan merebahkan tubuh di jalan, diangkat satu persatu oleh polisi!” cerita teman saya itu. “Diangkat lalu dibuang, seperti kuli yang mengangkat sekarung beras, lalu di lemparkan ke gudang. Lima warga yang menjadi tim dokumentasi, ada yang ditangkap dan dibawa ke kantor polisi, untung data-datanya masih bisa terselamatkan sebelum mereka dibawa ke kantor polisi.”
Aku menanggapi apa yang diceritakannya penuh emosi, “Gila mereka! Mereka dibayar oleh rakyat malah menghajar rakyat yang melawan demi menyelamatkan lingkungannya!”
Kapan tepatnya isu pengeksploitasian Pegunungan Kendeng oleh pabrik semen di Rembang, PT Semen Indonesia, sampai ke telingaku, aku lupa. Sudah sekitar tiga tahun yang lalu. Awalnya, hanya ada enam warga Rembang yang berani menolak. Kami pernah melakukan aksi di Rembang tahun 2011, dan hanya diikuti oleh enam orang dari Rembang dan lima orang dari Blora. Aku sering mendapat perkembangan kasus pengeksploitasian Pegunungan Kendeng dari Ika, seorang kawan yang entah mengapa jika mengingatnya, seperti aku mengingat Patrick dalam filem animasi Spongebob.
Akhir Maret, 2014, warga Desa Timbrangan dan Tegaldowo baru mengetahui bahwa kawasan yang tidak jauh dari pemukiman mereka sudah dieksploitasi oleh Pabrik Semen karena rencana pendirian pabrik semen, tidak tersosialisasikan secara penuh kepada warga umum, hanya melibatkan beberapa perangkat pemerintahan.
Beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh PT Semen Indonesia yang aku ketahui dan aku kutip dari Press Release aksi masa, edisi Senin, 16 Juni 2014 adalah:
Penggunaan Kawasan Cekungan Air Tanah Watu Putih sebagai area penambangan batuan kapur untuk bahan baku pabrik semen, melanggar Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010, Pasal 63, yang menetapkan area ini sebagai kawasan lindung imbuhan air, dan Perda RTRW Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011, Pasal 19, yang menetapkan area ini sebagai Kawasan Lindung Geologi.
Penebangan kawasan hutan tidak sesuai dengan Persetujuan Prinsip Tukar Menukar Kawasan Hutan oleh Menteri Kehutanan, berdasarkan Surat Nomor S.279/Menhut-II/2013, tertanggal 22 April, 2013. Dalam surat tersebut, dinyatakan bahwa kawasan yang diijinkan untuk ditebang adalah kawasan Hutan KPH Mantingan yang, secara administrasi pemerintahan, terletak di Desa Kajar dan Desa Pasucen, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa Semen Indonesia menebang kawasan hutan Kadiwono, Kecamatan Bulu, seluas kurang lebih 21,13 Hektar untuk tapak pabrik. Perlu diketahui, dalam Perda No 14 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Rembang, Kecamatan Bulu tidak diperuntukan sebagai kawasan industri besar.
Ditemukannya seratus sembilan sumber mata air, empat puluh sembilan gua dan empat sungai bawah tanah, dan fosil-fosil yang menempel di dinding gua, semakin menguatkan keyakinan kami bahwa Kawasan Karst Watu Putih harus dilindungi. Proses penambangan yang dilakukan pabrik semen akan merusak sumber daya air yang berperan penting bagi masyarakat sekitar Pegunungan Kendeng Utara.
Aksi solidaritas untuk Rembang diadakan di beberapa kota, seperti Blora, Semarang, Bandung, Purwokerto, Ternate, Makassar, Jakarta, Bali dan lainnya.
Sebab apa, aku sebagai warga Blora yang menolak pendirian Pabrik Semen di Rembang karena pendirian dan penambangan yang dilakukan Semen Indonesia akan berdampak langsung bagi warga Blora, khususnya di empat kecamatan di wilayah Kabupaten Blora: Blora, Jiken, Jepon dan Bogorejo. Rusak atau hancurnya sumber mata air di Pegunungan Kendeng akan mematikan proses produksi pertanian dan para petani akan kehilangan lapangan pekerjaan mereka. Lalu, dengan cara apa lagi kami harus bertahan hidup jika sektor pertanian pun telah mati?
Dan apakah jika pabrik semen bisa berdiri, semen-semen itu tadi bisa dipakai untuk membangun gunung?
Adakah sumber mata air yang akan muncul dari semen-semen itu?
Apakah padi dan tumbuhan lainnya bisa tumbuh di atas semen?
Lalu, adakah solusi untuk mengganti pembangunan yang menggunakan atau berbahan baku semen?
Aku hanya berharap padamu, para ilmuwan.
“Tidak bisa tidak, semua alat berat yang berada di Tapak Pabrik Semen Kabupaten Rembang harus dikeluarkan. Hentikan proses penambangan yang merusak lingkungan. Jika tidak, ya, jika tidak segera dikeluarkan dan dihentikan, kami akan melakukan aksi massa yang lebih besar, lebih besar lagi untuk mengeluarkan alat berat dan memberhentikan proses penambangan, sampai alternatif lain untuk pengganti bahan baku pembangunan ditemukan.”
Dan isu yang terdengar sejak tahun lalu, di Blora: akan dibangun pabrik semen. Anda setuju? Aku, TIDAK!
_______________________
Foto-foto dalam artikel ini diambil oleh Sariman Lawantiran.
siapa yang salah?
apa yang harus di lakukan ketika ada konflik seperti itu?
apa tujuanya?
sebagai apa solidaritas yang datang?
kenapa?