Solok, Sumatera Barat

Aku Kita Dan Kota

AKDK
Avatar

“Kita” Inisiatif Kolektif, Lebih Dari Sekedar Adipura

Beberapa bulan lalu, tepatnya 22 April 2012, saya sebagai warga Solok berbangga, akhirnya kegiatan Aku Kita Dan Kota (AKDK) yang sudah menjadi wacana bertahun-tahun ini terlaksana. “Aku” adalah individu, “kita” adalah kelompok individu (kolektif), dan kota adalah tempat bermuaranya si ‘aku’ dan ‘kita’ tadi. Apa yang dilakukan ‘aku’ dan ‘kita’ adalah bagian penting yang membentuk karakter kota tempat mereka berkembang tersebut.

Asumsi sementara, saya menilai ke-‘aku’-an dan ke-‘kita’-an di kota Solok tidak seimbang. Terlepas dari apakah itu bagus atau jelek, benar atau salah, tapi begitulah karakter Kota Solok yang saya lihat selama ini. Dapat dikatakan bahwa ‘aku’ atau individu yang dengan kepentingan pribadi lebih menonjol di sini. Saya merasa perlunya ada ‘kita’ yang lebih banyak lagi sebagai alaternatif untuk membangun karakter kota yang lebih baik, karakter yang dibutuhkan Kota Solok. Kota yang sempat meraih Adipura beberapa kali ini terletak di persimpangan, pusat persinggahan, dan di dalamnya tedapat berbagai suku, etnis dan lain-lain. Mereka yang fokus dengan kepentingan masing-masing.

Komunitas Sarueh, Komunitas Gubuak Kopi dan peserta AKDK lainnya bersiap-siap membersihkan sampah di Kota Solok, Sumatera Barat

Berdasarakan riset beberapa bulan terakhir, walau puluhan petugas kebersihan sudah diturunkan ke lapangan, ternyata masih ditemukan beberapa titik dengan tumpukan sampah yang cukup banyak, seperti Pasar Raya, bioskop, terminal angkot, daerah belakang pasar dan tempat wisata RTH atau Taman Kota. Beberapa individu barang kali sudah memiliki inisiatif untuk mengatasi hal tersebut, namun tentu kesulitan untuk mewujudkan insiatif itu sendiri. Membangun kota yang tidak hanya diisi oleh satu orang memang agak sulit. Dan sebagian si ‘aku’ merasa orang yang datang dari luar lah yang membuang sampah sembarangan dan bertanggung jawab atas hal tersebut.

Dalam persepsi saya, si ‘aku’ dengan inisiatif perlu dikembangkan menjadi tanggung jawab kolektif. Perlu adanya rasa kebersamaan untuk menjaga kota tempat di mana kita berkembang ini. sehingga orang lain yang datang dari luar pun harus ikut melebur dengan karakter kota yang ‘kita’ coba bentuk tersebut. Apa yang dilakukan Komunitas Gubuak Kopi mungkin salah satu langkah awalnya.

Kegiatan AKDK adalah salah satu alternatif, atau ke-‘kita’-an yang coba dibangun untuk satu sisi, yaitu kebersihan. Melihat fenomena tersebut saya tertarik untuk memastikan hak saya sebagai warga Kota Solok atas Adipura selama ini (dan Adipura terbaru pada Juni 2012). Bagi sebagian besar penghuni kota Solok, melakukan sesuatu yang sudah seharusnya — memungut sampah di dekatnya kemudian dimasukan pada tempat sampah — akan terlihat seperti malaikat, sesuatu yang ‘wah’, kadang juga di cap sok peduli. Adipura, selain penghargaan untuk tempat yang bersih tentu juga harus memiliki masyarakat dengan prilaku yang bersih pula. “Kita adalah masyarakat kota yang bersih”, itulah target yang ingin kita capai dari kegitan ini. Kalau Sok Peduli itu ternyata bermanfaat, kenapa tidak?

Cerita Ketika Berproses: Aku, Kita, dan Birokrasi Unik

Ada banyak hal yang menarik untuk diceritakan, termasuk pada proses hingga terlaksananya kegiatan Aku Kita Dan Kota. Pada hari pertama saya mengajukan proposal untuk Walikota Solok, kami menginginkan bantuan berupa fasilitas tempat dan dana. Setalah melalui Bagian Umum, saya diminta untuk kembali minggu depan. Namun karena saya kira saya masih punya waktu, saya langsung meminta untuk diantarkan pada bagian berikutnya menurut sistem mereka.

Saya disuruh membawa proposal lanjut pada Kesra. Setelah itu ada sedikit pembahasan mengenai proposal. Permohonan permintaan fasilitas pun sudah sepakat diganti sebagai permohonan bantuan dana. Karena bantuan fasilitas sudah kita dapatkan melalui Dinas Kebersihan Dan Lingkungan Lidup yang berhak atas RTH Kota Solok. waktu itu kami sudah membayangkan bantuan kurang lebih dua juta rupiah. Dan kemungkinan akan sedikit dikurangi karena kop surat yang kita pakai adalah Kabupaten Solok, bukan Kota Solok.

Saya diminta kembali satu minggu lagi, dan saya minta sekarang. Namun Asisten II yang berhak atas proses selanjutnya telah pulang lebih awal, walau waktu itu saya kira masih ada jam dinas dua jam lagi hingga pukul 05.00 WIB. Setelah bosan dengan paksaan, beliau minta saya untuk hadir pada hari Kamis. Pada hari yang sama (Selasa 17/04), saya memberikan undangan resmi kepada Bapak Walikota dan Wakil Walikota melalui Sespri (Sekretaris Pribadi) Walikota. Pada hari itu juga saya sempat bertemu dengan Walikota, syukur beliau belum pulang.

Pada Bapak Walikota saya menjelaskan sedikit tentang kegiatan tersebut. Waktu itu Walikota terlihat tertarik dengan kegiatan ini. Hari itu juga, Bapak Jefri (Sespri) diminta untuk menemui saya di depan ruang walikota, membahas peranan Walikota pada kegitan tersebut. Dan Bapak Walikota pergi.

Melalui Pak Jefri, saya menegaskan agar proposal tidak diulur-ulur. Pak Jefri setuju dan meminta saya kembali pada hari Kamis. Selain untuk membahas lebih lanjut pernanan Walikota, juga untuk menjemput hasil dari proposal. Pada hari Kamis (H-2) terlebih dahulu saya menemui Pak Jefri, untuk membicarakan jadwal Walikota. Menurut Pak Jefri, Walikota pasti hadir, kemudian sesuai dengan rencana awal kita juga membicarakan tentang pembukaan yang akan dilakukan Walikota. Kami mulai membahas kepastian jamnya.

Saya menambahkan untuk meminta Walikota juga ikut berpartisipasi bersama peserta lainnya. Pak Jefri setuju, dan telah menyesuaikan jadwal Walikota. Kesepakatan hari itu selesai. Undangan dengan lampiran jadwal tersebut sudah di tempel pada agenda Walikota. Sebelum berpisah Pak Jefri sempat mencatat nomor telepon saya agar segera dikabari jika ada perubahan. Proposal pada hari itu sudah ditangan Sekda dan akan segera dilanjutkan pada Wakil Walikota.

Pada hari Jumat, saya kembali lagi untuk menjemput proposal yang mestinya sudah saya terima kepastiannya. Hari itu, menurut Ajudan Sekda, ternyata proposal masih di tangan Wakil Walikota. Dan sayangnya lagi Wakil Walikota sudah pulang duluan. hari itu pupus sudah harapan untuk mendapatkan bantuan dana. Karena Sabtu pegawai pemerintahan libur, dan hari Minggu sudah hari “H”. Hari itu tanpa sengaja saya bertemu lagi dengan bapak Jefri yang waktu itu bersama Walikota.

Para peserta AKDK memilih sampah bersama-sama untuk membersihkan Kota Solok

Di ruang tunggu, Bapak Jefri menjelaskan bahwa Walikota ternyata tidak bisa hadir pada hari ‘H’ karena ada hal lain yang lebih penting. Dan karena Wakil Walikota pada hari Minggu tersebut harus keluar kota, maka akan digantikan oleh Kesbangpol. Sayang sekali hari itu saya tidak bisa ngobrol banyak karena Walikota dan Pak Jefri buru-buru pergi meresmikan sebuah rumah makan. Setelah membuka dan menutupkan kembali pintu mobil Walikota, Pak Jefri sempat berjanji untuk menelpon saya. Sayangnya telepon itu tak juga kunjung datang. Kegiatan akan tetap kita lanjutkan walau kita tidak dapat kepastian mengenai Walikota, Kesbangpol, dan proposal bantuan dana.

Pada hari ‘H’ seperti yang rutin dilaksanakan, di depan DPRD Kota Solok (tempat kegiatan AKDK) akan ada senam masal. Kami memang sengaja memanfaatkan momen tersebut. Peserta senam yang jumlahnya ratusan akan jadi menarik jika mereka bisa ikut bergabung pada kegiatan marathon bersih, marathon dengan kantong asoy sambil memungut sampah. Dan saya kaget ternyata salah satu peserta senam adalah Walikota Solok.

Saya kira Walikota telah berubah pikiran dan berniat untuk membuka kegiatan AKDK. Saya menghampiri beliau untuk konfirmasi, namun ternyata tidak. Walikota hanya menghadiri senam, bukan AKDK. Walikota menambahkan, katanya untuk mengajak itu harus jauh-jauh hari dan pakai proposal. Lalu beliau hanya diam dan melanjutkan senam, ketika saya bertanya tentang proposal kami yang belum ditanggapi dan undangan yang sudah dilempar-lempar. Tapi saya maklum, mungkin ini karena birokrasi  yang mereka pakai begitu rumit.

Hari itu saya terima kecewa. Okelah kalau beliau tidak mau diajak. Dan saya juga baru tahu kalau beliau adalah salah satu pengurus klub senam tersebut. Saya mengira akan baik sekali kalau Walikota mau mengajak langsung peserta senam untuk memilih sampah setelah senam nanti. Beliau menolak. Dan ketika saya mohon untuk meminjam mic pun juga ditolak. Masih dengan alasan yang sama: prosedur dan proposal serta pernyataan tambahan, “Saya saja yang pengurus tidak berani untuk naik ke sana,” (maksud Pak Walikota, naik ke panggung tempat senam).

Saya tidak begitu mengerti dengan curahan hati Walikota barusan. Yang pasti saya merasa malang sekali tidak pernah mendapatkan sosialisasi akan prosedur ini. Mungkin ini salah satu kelalain yang harus saya catat: “mengajak dan mengingatkan orang lain akan kewajiban mereka menjaga lingkungan itu juga butuh proposal!”

Ini memang semacam ungkapan kekesalan, dan juga semacam kejujuran atas perasaan malu saya terhadap peserta yang jauh datang dari luar kota ke Kota Solok untuk berpartisipasi pada kegiatan tersebut. Pagi itu, sekitar pukul 08.00 WIB, perwakilan dari Walikota datang, Kesbangpol ragu-ragu menghampiri panggung sederhana kami. Namun kami tidak punya persiapan untuk menyambut Kesbangpol, karena kita tidak sempat komunikasi sebelumnya, dan karena kami masih melihat Walikota di depan sana.

Saya merasa ada komuikasi yang tak beres. Saya menyimpulkan, Walikota ternyata tidak dapat membuka kegiatan senam karena capek setelah senam. Saya mewakili kawan-kawan Gubuak Kopi mohon maaf sebesar-besarnya terhadap Kesbangpol yang datang untuk tabolok (kecewa).

Bapak Yan

Selain Walikota, kita juga mengundang Dinas Pemuda Pariwisata Olahraga. Sayang sekali waktu itu tidak ada perwakilannya datang, dan proposal pun tidak dapat respon. Acara kita lanjutkan. Kegiatan berikutnya adalah talkshow yaitu bersama perwakilan Dinas Kebersihan Lingkungan Hidup (KLH). Bapak Yan (Kabid Kebersihan), yang katanya pasti hadir malah bingung ketika saya telepon kembali.

“Tadi ketemu Walikota, ya? Emangnya apa kata Walikota tadi? Boleh, nggak?” jawab Bapak Yan setelah mengangkat telepon saya.

“Walikota cuman bilang nggak mau buka acaranya, Pak,”

Oh, gitu. Kegiatan talkshow jadinya di mana? Jam berapa? Kata Walikota boleh, nggak?”

Sedikit rasa aneh, ketika Bapak Yan mulai melontarkan pertanyaan yang benar-benar aneh, yang jawabannya sudah jelas-jelas kita susun bersama sebelumnya.

“Acara talkshow-nya jadi, Pak, Pukul 09.30, di RTH Kota Solok,” jawab saya.

Saya senang karena Pak Yan jawab dengan kata “Oke”, namun ternyata 15 menit sebelum talkshow beliau belum juga datang, dan handphone-nya pun tidak aktif. Kami bingung mau lakukan apa. Tidak ada kontak lagi. Menurut kawan-kawan, mungkin Pak Yan takut dibilang tidak berpihak pada Walikota, makanya tidak datang. Saya juga tidak begitu paham dengan kalimat teman saya tersebut. Yang pasti, kegiatan tidak boleh berhenti begitu saja. Pagi menjelang siang itu, kawan-kawan berinisiatif untuk mengajak adik-adik yang lagi bermain di RTH tersebut untuk bergabung bersama kami. Waktu itu kita mengadakan pelatihan membuat filem, video, dan wawancara.

Siangnya, sebelum zhuhur, setelah kita istirahat dengan mencicipi makanan kecil, ternyata perwakilan dari Dinas KLH datang. Dugaan kawan-kawan saya salah. Ya, walau perwakilannya cuma bilang kalau Pak Yan lagi ada urusan penting, ngobrol sedikit dan harus pergi lagi. Karena ada urusan penting! Lagi.

Setelah istirahat dan bercerita bersama adik-adik peserta, Capaik mulai membagikan satu kantong plastik, satu per orang, temasuk adik-adik peserta pelatihan dan panitia untuk memungut sampah bersama. Saya salut ketika adik-adik itu bersemangat sambil meneriakan yel-yel: “manusia yang sadar adalah manusia yang sadar kebersiahan”. Kalimat unik, tulus dari mereka. Siang itu RTH memang bersih. Setidaknya selama kami berada di sana orang-orang tidak ada yang membuang sampah sembarangan.

Rahmat (peserta) mengajak pengunjung taman Kota Solok, Sumatera Barat untuk ikut membersihkan sampah

Sore itu ada lagi kegiatan dikusi kecil, dan malamnya kita lanjutkan dengan acara pemutaran film dari program Becak Bioskop Komunitas Sarueh yang sengaja Komunitas Gubuak Kopi undang untuk hadir. Aku, kita dan kota, hari itu sudah mulai tampak. Tinggal bagaimana ‘kita’ melanjutkan dan menjaganya bersama.

Penonton pemutaran film di taman Kota Solok, Sumatera Barat

 

Tulisan ini pernah terbit di www.gubuakkopi.org

About the author

Avatar

Albert Rahman Putra

Albert Rahman Putra (Solok, 1991), biasa disapa Albert. Penulis, pegiat media, dan pendiri Komunitas Gubuak Kopi, sebuah kelompok studi seni dan media yang berbasis di Kota Solok. Lulusan Institut Seni Indonesia Padangpanjang (2009-2015). Ia juga pencetus lahir ruang diskusi reguler Otarabumalam (2013), yang kemudian juga melahirkan sub-program Musik Tanpa Batas. Selain kesibukan di Gubuak Kopi, Albert juga aktif berkegiatan bersama Orkes Taman Bunga selaku manager. Baru-baru ini ia juga menerbitkan buku pertamanya yang berujudul Sore Kelabu di Selatan Singkarak (Forum Lenteng, 2018). Ia aktif terlibat dalam sejumlah proyek seni di Indonesia baik selaku partisipan, fasilitator, maupun kurator. 2018 lalu ia juga menjadi partisipan program Residensi Penulis Indonesia 2018.

Add Comment

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.