Aku punya pengalaman bersama sebuah tempat yaitu, perpustakaan. Perpustakaan-perpustakaan yang aku kunjungi dari dulu sampai saat ini.
Dulu waktu aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar di Sukabumi, aku lupa, apa aku pernah mengunjungi perpustakaan. Seingatku, waktu aku kelas 6, ruang kelasku adalah ruangan bekas perpustakaan atau tidak. Aku hanya ingat, saat duduk di kelas tiga, siswa-siswi diperintahkan oleh guru untuk meminjam buku paket di perpustakaan sekolah. Namun karena pada waktu itu ada saudara sepupuku di kelas empat yang meminjamkan buku tersebut kepadaku, maka tak perlulah aku datang mengunjungi perpustakaan pada saat itu. Jarang sekali guru meminta kami untuk mencari bahan pelajaran di perpustakaan. Guru lebih sering merangkum buku-buku itu, lalu mendiktekannya kepada kami. Mungkin kemanjaan itulah yang membuatku terlupa tentang keberadaan perpustakaan sekolah.
Berbeda dengan saat di Sekolah Menengah Pertama. Aku amat sangat sering mengunjungi perpustakaan. Ya, dulu perpustakaan itu banyak menyimpan buku-buku cerita pada jaman itu. Setiap jam istirahat sekolah, perpustakaan selalu ramai oleh siswa-siswi. Biasanya, perpustakaan harus dalam keadaan hening, agar fokus membaca. Namun, perpustakaan SMP-ku, beda. Suasananya selalu berisik. Lebih banyak siswa yang mengobrol daripada membaca. Buku yang mereka ambil dari salah satu rak, tergeletak begitu saja di atas meja mereka.
Ketika ada tugas kelompok, biasanya teman-temanku mengerjakan tugas di rumah salah satu anggota sepulang sekolah. Namun, karena aku sering tidak diijinkan ayah untuk keluar seusai pulang sekolah, aku bersama kelompokku sering memanfaatkan jam istirahat untuk mengerjakan tugas di perpustakaan. Kami tidak perlu berbisik-bisik mendiskusikan tugas, yang menurutku bisa menimbulkan kesalahpahaman pendengaran. Meskipun di perpustakaan ini cukup berisik, tapi menurutku hal ini masih dalam kondisi wajar.
Aku tidak merasakan ada keengganan atau ketakutan untuk mengunjungi perpustakaan SMP-ku. Tidak ada bedanya membaca di perpustakaan dengan membaca di kantin. Suasana ramainya sama. Hal ini, menghilangkan rasa suram dalam benakku menjadi rasa nyaman terhadap perpustakaan.
Saat aku duduk di kelas dua, aku sering membantu bapak penjaga perpustakaan. Aku lupa siapa namanya. Ketika Si Bapak sedang di luar perpustakaan karena ada urusan, aku yang menggantikannya untuk mendata orang yang akan meminjam buku untuk dibawa pulang. Pekerjaan itu cukup meyenangkan. Saat aku ingin membaca satu buku yang kebetulan tidak ada di perpustakaan karena ada yang meminjam, aku bisa tahu siapa orang tersebut dari catatan peminjaman yang ada di perpustakaan, meskipun aku harus bersabar menunggu buku itu dikembalikan. Oh iya, untuk meminjam tidak dikenakan biaya, akan tetapi bila pengembalian melewati batas waktu, maka akan dikenakan biaya sebesar 500 Rupiah per harinya.
Saat di Sekolah Menengah Atas, aku mulai jarang mengunjungi perpustakaan. Mungkin karena perpustakaan itu lebih terlihat seperti perpustakaan yang sebenarnya. Di mana, saat itu perpustakaan sering kali dalam keadaan hening dan sepi pengunjung. Banyak siswa-siswi yang menghabiskan waktunya di kantin saat jam istirahat, aku juga begitu. Meskipun ketika saat ada tugas yang membutuhkan bacaan dari buku-buku perpustakaan, aku lebih memilih meminjamnya untuk dibawa pulang, daripada membaca di tempat.
Aku termasuk orang yang penakut. Dalam keadaan apapun aku harus mendengarkan sesuatu yang berisik. Saat tidur pun, aku harus mendengar musik agar suasana tidak sepi. Kadang aku dengan sengaja tidak mematikan komputer saat tidur, agar bisa mendengar dengungan mesinnya. Sama halnya dengan suasana perpustakaan di SMA ku ini. Aku tidak menyukai suasana sepi seperti itu. Membaca dalam keadaan sunyi, malah membuatku tidak bisa berkonsentrasi terhadap buku yang aku baca. Konsentrasiku sering terpecah dengan memikirkan hal-hal yang berbau gaib.
Namun ada acara khusus yang aku senangi di perpustakaan SMA, yaitu acara menonton. Contohnya, saat pelajaran Bahasa Inggris, kami sering menonton filem berbahasa Inggris yang diputar di ruang perpustakaan. Guruku mengatakan, kegiatan tersebut untuk melatih oral dan telinga kami agar tebiasa dengan Bahasa Inggris. Contoh lainnya, pelajaran sejarah. Kami patungan uang untuk membeli sebuah film tentang teori evolusi Charles Darwin, lalu bersama-sama kami menonton di ruang perpustakaan. Pada pelajaran Bahasa Sunda juga ada acara menonton, meskipun tidak sering. Dalam pelajaran ini, kami selalu dipertontonkan filem cerita rakyat berbahasa Sunda. Misalnya, yang aku ingat adalah filem Sangkuriang dalam versi animasi.
Saya sangat menyukai acara menonton di perpustakaan ini. Memberikan alternatif lain untuk mengunjungi perpustakaan, selain membaca dan meminjam buku.
Suasana di SMP dan SMA, aku alami kembali saat aku datang ke Jakarta untuk belajar dan bekerja di Forum Lenteng, sebuah organisasi nirlaba egaliter yang fokus pada pengembangan studi sosial dan budaya. Forum Lenteng memiliki sebuah perpustakaan, di mana terdapat buku-buku, arsip, dan filem-filem dunia. Perpustakaan itu setiap harinya pasti dikunjungi oleh anggota-anggota Forum Lenteng lainnya.
Awal kedatanganku ke Forum Lenteng, aku ditunjuk sebagai tukang data buku-buku di perpustakaan oleh Divisi Penelitian dan Pengembangan. Ada dua ruangan untuk perpustakaan Forum Lenteng. Pertama adalah ruangan Video Base. Dalam ruangan itu tersimpan buku-buku, mulai dari novel, katalog, hingga buku tentang filem. Ruangan itu juga menyimpan arsip-arsip untuk kebutuhan riset pembuatan buku Penelitian Video Base. Itulah sebabnya, ruangan ini diberi nama Ruang Video Base. Ada dua meja kerja dalam ruangan ini. Meja yang berada di ujung dalam ruangan adalah meja kerja Komeng, begitu sapaannya, yang bekerja di Divisi Penelitian dan Pengembangan, sama sepertiku. Sedangkan meja yang terletak di dekat pintu dan merapat pada dinding jendela, adalah meja kerja Ugeng. Ugeng adalah periset dan penulis buku Penelitian Video Base. Ruangan yang kedua adalah ruangan khusus menonton filem-filem dunia. Di sana terdapat televisi dan alat pemutar filem. Ada satu meja yang terpajang di sana, namun tidak ada penghuni tetap dalam ruangan ini.
Aku ditugaskan untuk mendata semua buku-buku yang ada di perpustakaan. Aku menyenangi pekerjaan itu. Dari mendata buku-buku itu, aku bisa memilah buku-buku mana saja yang akan aku baca. Meskipun dari daftar-daftar yang aku buat, sampai sekarang sudah berjalan tiga tahun, masih ada buku yang belum aku baca. Aku masih ingat betul, buku pertama dari perpustakaan itu yang aku baca, yaitu Lapar, karya dari seorang penulis sastra Norwegia bernama Knut Hamsun. Di mana, tokoh ‘aku’ dalam buku ini adalah seorang penulis miskin yang rela menggadaikan semua barang miliknya untuk membeli kebutuhan perut.
Di perpustakaan itu juga aku mendapatkan ilmu tidak hanya dari buku, tapi juga dari film, seperti waktu di SMA. Film yang pertama kali aku tonton adalah film Pencuri Sepeda (Ladri Di Biciclette), yang dibuat pada tahun 1948 oleh Vittorio de Sica. Film ini adalah film yang bergenre Neorealisme Italia, di mana pada saat itu para pembuat film memanfaatkan suasana bekas Perang Dunia II untuk keperluan proses pembuatan film, karena pada saat itu Italia dalam keadaan krisis ekonomi akibat perang.
Di perpustakaan itu ada teras untuk tempat berkumpul. Di sana kita bebas melakukan apa saja. Tidak ada yang mengharuskan agar suara hening. Kita bebas berbicara apapun dan sekeras mungkin. Aku dan teman-teman sering menggunakan teras perpustakaan untuk berdiskusi. Kami bebas bertukar pendapat dalam tingkat suara yang tinggi.
Setiap hari Senin malam, ada acara pemutaran di teras perpustakaan, yaitu Senin Sinema Dunia. Senin Sinema Dunia adalah program reguler dari Forum Lenteng untuk menonton sinema-sinema dunia yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, yang diadakan setiap hari Senin malam. Aksi penerjemahan film-film sinema dunia ini dilakukan agar orang-orang di Indonesia bisa dapat menonton film-film berkualitas dengan Bahasa Indonesia, supaya lebih mengerti secara mendalam tentang film itu. Setelah selesai menonton biasanya kami mengadakan diskusi tentang film yang kami tonton.
Teras itu juga digunakan untuk acara-acara lainnya, seperti saat ada acara kuliah dari pengajar di luar anggota Forum Lenteng. Juga seperti bulan Ramadhan kemarin, kami mengadakan acara buka puasa bersama di teras perpustakaan ini.
Di teras perpustakaan ini terdapat meja. Meja besar, meja sedang, dan meja kecil. Posisi normalnya, meja besar yang berwarna cokelat tua, diletakkan merapat dengan dinding ruangan perpustakaan, meja sedang yang berwarna cokelat muda terletak di tengah-tengah teras perpustakaan, dan meja kecil dengan warna cokelat kemerah-merahan terletak berhadapan dengan sebuah kursi bambu panjang, di ujung teras perpustakaan. Teras perpustakaan dilindungi kerai bambu agar tidak terlalu panas oleh sinar matahari. Posisi meja-meja itu dapat berubah tergantung situasi dan kondisi.
Misalnya, saat hari Senin, ketika acara Senin Sinema Dunia, formasi meja diubah untuk kebutuhan menonton. Hanya meja kecil yang digunakan sebagai tempat untuk meletakkan proyektor, di tengah-tengah teras. Meja besar biasanya tetap pada posisinya karena terdapat barang-barang milik anggota Forum Lenteng yang ditaruh di sana. Sedangkan meja sedang ditaruh di luar teras.
Dulu, awal aku di Forum Lenteng, meja besar menempati posisi meja sedang. Mungkin, semenjak adanya program reguler Senin Sinema Dunia, meja besar dipindahkan ke dinding perpustakaan, dan digantikan dengan meja sedang. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pemindahan ketiga meja setiap Hari Senin.
Bicara soal meja besar ini, ada macam-macam barang di atasnya. Seperti tumpukan koran, gelas bekas kopi, piring, sendok, garpu dan di sana juga ada toples-toples berisi gula dan kopi. Piring, sendok, garpu dan toples itu adalah milik Ugeng.
Ugeng juga merupakan orang tertua di Forum Lenteng. Bukan yang dituakan, tetapi umur dia memang yang paling tua di antara orang-orang di Forum Lenteng. Dia sudah seperti menjadi penasehat bagi orang-orang Forum Lenteng. Ketika salah satu orang tidak tahu tentang perkara sejarah terkait seni, filem, dan budaya, maka Ugeng menjadi tempat bertanya. Namun, kadang, karena Ugeng mempunyai sifat sedikit usil. Dia seolah seperti menyasarkan pengetahuan anak-anak yang bertanya dengan cara berteka-teki. Tak jarang mereka mensalahartikan maksud dari jawaban Ugeng. Meskipun begitu, Ugeng tetap menjadi tempat bertanya bagi orang-orang Forum Lenteng.
Di antara orang-orang di Forum Lenteng, mungkin Ugeng-lah yang paling sering menggunakan meja-meja di teras perpustakaan Forum Lenteng. Hampir semua aktivitasnya dilakukan di meja-meja itu. Makan, minum, membaca, bekerja, bermain catur sampai menyetrika baju.
Ketiga meja itu adalah meja-meja yang paling sering dia pakai. Seperti yang aku bilang di atas, meja besar menyimpan barang-barang pribadinya. Meskipun di sana ada tumpukan koran, namun tidak mengurangi kepemilikannya. Setiap pagi ketika tukang koran mengantarkan koran, Ugeng-lah yang menjadi pembaca pertama di antara meja-meja di perpustakaan. Ketiga meja itu sudah seperti milik pribadinya, meskipun dia tidak terganggu oleh orang-orang lain yang juga menggunakannya. Mungkin dia sadar bahwa itu adalah milik bersama.
Bahkan Ugeng menjadikan ruang kecil di depan pintu kamar mandi yang terletak di antara ruang Video Base dan ruang perpustakaan filem sebagai dapur. Dia memiliki satu kompor gas mini di sana. Aku sering menumpang memasak di sana. Perpustakaan itu sudah seperti rumah bagi dia. Walaupun sebenarnya dia mempunyai rumah kos yang terletak lumayan jauh dari Forum Lenteng. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan Forum Lenteng dibanding di kamar kosnya sendiri.
Kebetulan aku tinggal di ruang akumassa, nama salah satu program kerja Forum Lenteng. Ruang akumassa hanya berselang satu kamar dengan perpustakaan. Sehingga aku dapat mendengar langkah kaki Ugeng di malam hari yang bolak-balik ke perpustakaan. Dia bisa tidur di mana saja di sekitar perpustakaan. Di ruang Video Base, ruang menonton, atau di kursi bambu yang ada di teras.
Itulah perpustakaan-perpustakaan yang aku kunjungi sejak kecil hingga saat ini. Aku akan mengajak kalian untuk membaca apa itu perpustakaan pada umumnya. Dalam arti tradisionalnya, Perpustakaan adalah sebuah koleksi buku dan majalah. Bila kita melihat filem-filem yang ada di acara stasiun televisi. Jika ada adegan yang bertempat di perpustakaan, maka suasana yang digambarkan adalah keheningan. Dalam alur cerita filem, bila salah satu pemain berbicara keras, makan akan langsung dimarahi oleh penjaga perpustakaan.
Berbeda dengan yang aku alami di perpustakaan Forum Lenteng. Perpustakaan itu memberikanku sebuah paket lengkap tanpa biaya. Paket itu terdiri dari, membaca, menonton dan bersilaturahmi. Perpustakaan Forum Lenteng juga menghilangkan rasa suramku terhadap perpustakaan yang sepi. Saat membaca atau menonton, perpustakaan ini tidak memberikan rasa sunyi, yang dapat memindahkan konsentrasiku ke hal-hal imaginasi yang bersifat gaib.
didaerah lenteng, dimana ya tepatnya perpustakaan forum lenteng ini?
boleh kah suatu saat nnti saya berkunjung? ^_^
sdr. ucay, silakan main ke Forum Lenteng, di Jl. Raya Lenteng Agung no. 34, rt 07 rw 02. Lenteng Agung, Jakarta 12610.
Wa kemarin ke Jakarta tapi lupa ada tempat yang saya harus kungjungi yang satu ini. Suatu saat saya akan kesana 😀