“Where are you going?” Seorang makelar menyambut kedatangan para tamu berambut pirang. “I wanna go to Gili Trawangan,” jawab salah seorang turis asing yang baru saja turun dari sebuah bis travel. Tanpa basa-basi, para pedagang asongan langsung menyerbu para turis itu seperti sekoloni semut. Mereka menawarkan kalung, gelang, seraung (topi jerami) dan beberapa sarung-pantai sebagai cinderamata. Kusir cidomo (delman) pun sibuk menawarkan tumpangan dengan bahasa Inggris seadanya, “Come on, sir!” tukas mereka, berharap turis-turis itu mau menumpang sampai ke bibir pantai. Begitulah suasana Terminal Bangsal yang jaraknya kurang lebih 300 meter dari Pelabuhan Bangsal. Terkadang tamu lebih memilih untuk berjalan-kaki ketimbang naik cidomo. Mungkin alasannya demi mengendorkan urat-urat kaki usai perjalanan jauh yang mereka tempuh.
Pedagang asongan tak henti-hentinya menawarkan dagangan kepada para turis yang berjalan kaki maupun ber-cidomo. Mereka terus mengikuti para tamu sampai ke Pelabuhan Bangsal. Ada juga pedagang asongan yang nekat “nyamplek” (meloncat) mengikuti turis-turis yang berada di atas cidomo. Pemandangan lain disuguhkan ketika kita tiba di Pelabuhan Bangsal. Pangkalan ojek yang berkotak-kotak, cidomo yang seperti barisan kios pasar, dan penumpang lokal yang kadang menggelar dagangannya, menyisakan serpihan-serpihan daur ulang. Sama seperti makelar, pedagang asongan dan kusir cidomo, buruh-buruh juga tidak mau ketinggalan menawarkan jasanya mengangkat barang ke atas Public Boat yang akan membawa para tamu tersebut. Demikianlah suasana yang dekat di mata kita saat berada di Bangsal Pemenang.
Pelabuhan Bangsal merupakan tempat penyebrangan menuju Three Islands (Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili Air). Bangsal juga menjadi salah satu tempat mata pencaharian masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. “Ni wah Bangsal, informasi apa ukuran a dek kalin dik dengah a nu, mauq diq bae. Ito ite leq tau ni dateng moq” (Inilah Bangsal, informasi apa saja yang tak pernah kamu dengar sekalipun, pasti kamu dapatkan di sini. Orang-orang datang dari berbagai tempat, kok), tutur salah seorang temanku yang mengais rejeki di tempat ini bertahun-tahun sebagai pemandu wisata. Memang, setiap hari tempat ini selalu dipadati orang yang entah dari mana datangnya. Ada yang bertujuan mencari rejeki, bersantai ke Tiga Gili, study tour, sampai niatan untuk sekadar menampang dan banyak lagi. “Public Boat ke Gili Air perlu seorang penumpang lagi, The Gili Air Public Boat destination needs one more passanger”, terdengar suara dari Tiket Office. Temanku langsung berlari, “Bro… ku baq Gili Air juluq sengak araq siq urus (Bro… saya mau ke Gili Air dulu karena ada yang saya urus)”, teriaknya menuju Tiket Office.
Kulihat temanku tergesa-gesa menuju boat yang sudah penuh, baik oleh wisatawan, pedagang dan juga warga Gili yang baru saja pulang dari pasar Pemenang. Maklum, di Gili belum ada pasar sehingga warga tiga Gili membeli barang kebutuhan mereka sehari-hari di Pasar Pemenang. ”Becatan sekedik, ngenang kami dik laun (Cepatan sedikit, nanti kami tinggalkan kau),” terdengar suara kapten boat yang sudah menyalakan mesin berukuran 40Pk. Boat pun berlalu dan kualihkan pandanganku ke para guide (pemandu) lain yang sedang menawarkan jasa untuk menemani para pelancong dari luar negeri. Mereka sedikit sibuk dengan membawa brosur-brosur travel. “Yes,,, yes!!! Rinjani Mountain after Sendang Gile. We can go from there to the mountain (Ya, ya!!! Gunung Rinjani setelah kita pergi ke Sendang Gile, kita bisa pergi dari sana ke Gunung Rinjani) meskipun dengan bahasa inggris yang kurang fasih mereka tidak peduli, yang terpenting adalah bisa meng-guide para wisatawan.
“Assalamu’alaikum… begak laku barang dik?” (Assalamu’alaikum… lumayan daganganmu yang laku?) tanyaku pada seorang pedagang asongan yang tak lain adalah Heri, sepupuku.
“Wa’alaikumsalam, Kute wah… sok ta gemet mauk ta bae, aran jak penok kancan ta mendagang, anuk soal a seruak ne bangsal ni kan cuma sebagai persinggahan ora, jari gak semendak turis morok ite. Saling juluin wah kanca bak beak ca,” (sudah, asal kita sungguh-sungguh, kita pasti dapat. Namanya juga banyak teman kita yang berdagang, dan Bangsal ini kan hanya sebagai persinggahan saja, turis cuma sebentar disini. Jadi, kita saingan sama temen-temen) katanya, merespon pertanyaanku.
“Padahal bagus kawasan Bangsal ne, wah a kah arak tau mengak hotel kek atau tempat menginap teger bau one’an turis-turis ne ite. Sementara lampak bak Gili kan, jari dek nggak jari tempat parkir ora balen-balen tau ni,” (Padahal kawasan bangsal ini sudah bagus, kenapa tidak ada orang yang membuat hotel atau tempat penginapan untuk para turis supaya lebih lama disini sebelum mereka berangkat ke Gili, jadi rumah orang-orang ini bukan hanya sebagai tempat parkir) kataku menimpali.
“Laguk lumayan se masi mauk a, apalagi mun rame tamu, tahun baru ca apalagi, sang dek arak jalan tau parkir cak ca. Dekman montor tau-tau Gili anuk sekolah kon teben ca bae penok a,” (Tapi lumayan sih yang mereka dapat, kalau ramai tamu yang datang, apalagi tahun baru, mungkin tidak ada tempat parkir disini. Belum motor orang-orang Gili yang kuliah di Mataram, wah bisa penuh tuh) katanya lagi.
“Aro sang sik penok tain jaran ne sang seruak, mbe remis gati Bangsal ne, masa dek arak tukang bersihin a?” (Mungkin karena banyak kotoran kuda juga, hingga kotor sekali Bangsal ini, apakah tidak ada petugas kebersihan?), tanyaku.
“Aro wah deq ku tao. Diq jaga bak mbe ca? ” ( Ah.. aku nggak tahu. Kamu mau kemana?).
“Ku jaga bak Trawangan,” (saya mau ke Trawangan) jawabku.
“Sawek dik mbeli tiket? Mbeli kek ito juluk, penok a but ca bareh,” (Kamu sudah beli tiket? Beli dulu sana, nanti boatnya penuh) katanya menyarankan.
“Oke wah…!”(Oke deh…!). Memang, boat ke Trawangan cepat sekali penuh.
Aku pun menuju tempat pembelian tiket. Kulihat papan pengumuman harga tiket. Menuju Trawangan 10 ribu rupiah. Aku langsung menuju pedagang tiket yang sudah sejak tadi memperhatikanku. “Jaga bak mbe Wee?” (Wee… Mau kemana?) Wee adalah nama panggilanku, “Na se ga rapi ruan dik?” (kok kelihatan rapi sekali?), dia melanjutkan. “Trawangan,” jawabku pelan sambil membayar tiket yang disodorkan kepadaku.
Aku masih berpikir tentang pembicaraanku yang baru saja terjadi dengan sepupuku itu. Seandainya saja Bangsal diberikan perhatian yang lebih, baik dari kalangan Pemerintah ataupun Masyarakat sekitar, tentunya walaupun sekarang Bangsal hanya dijadikan connecting harbour, suatu saat juga akan menarik minat wisatawan untuk berlama-lama di sana menikmati keindahan Gunung Agung yang dengan jelas terlihat dari sini. Maka, mungkin Bangsal menjadi sebuah kawasan bisnis yang sangat menjanjikan bagi para warga. Karena banyak warga Pemenang yang mencoba nasib mereka untuk mencari rejeki di sana.
Tiga hari yang lalu kudengar berita cuaca buruk, ombak besar, hujan dan angin kencang. Hal ini akan sangat berpengaruh bagi penghasilan para pengais rejeki di Bangsal, walaupun katanya belum begitu berpengaruh. Terkadang ada juga kapten boat yang berpengalaman berani narik boat-nya melewati cuaca buruk tersebut. “Tapi kalau cuacanya parah biasanya dipindah ke Ombak Beleq, hanya kapal-kapal tertentu yang beroperasi demi menjaga keselamatan penumpang. Kami juga standby di sana,” tutur petugas tiket office.
Jujur, aku tidak bisa berlama-lama duduk di atas boat yang diam. Aku pasti mual karena goyangannya. Makanya, ketika kelihatan semua penumpang sudah naik, baru aku bergegas ke atas boat. Kapten boat pun menghidupkan mesinnya, sedangkan di bagian depan anak buah kapten boat menarik jangkar dan penumpang sibuk dengan obrolan masing-masing. Boat pun perlahan-lahan memecah laut dengan tenaganya. Terlintas bangunan bekas-bekas bungalow dan restoran di sekitar Bangsal yang sudah tidak terurus dengan baik bahkan sampai rusak, terlintas kembali jalan raya yang dipenuhi rerumputan hingga jalan raya terlihat sempit. Kerumunan orang-orang dengan aktifitasnya yang mulai mengecil hanya terpampang pegunungan dan deretan pasir putih. “Subhanallllaaaaah, ga belek umbak ni” (Subhanallllaaaah, besar sekali ombaknya), jeritan pedagang es lilin di sampingku mengagetkanku, ternyata khayalanku membawa sudah cukup jauh dari Bangsal. “Nendek keto-kete angkak, morok-morok tan wah….” (Jangan kesana-kemari makanya, caranya diam saja) Kapten boat berteriak sambil memegeang gagang mesin 40PK… Aku hanya bisa tersenyum.
kata2 anda terlalu berlebih-lebihan, kapan anda pernah melihat pedagang lompat-lompatn……….?