Sebuah logo usaha, dengan karakteristik yang sama, dimiliki oleh orang yang berbeda-beda. Hal ini menjadi poin ketertarikan Dalu untuk melihat lebih jauh polemik yang ada pada visual yang terpampang di papan iklan/reklame para pengusaha yang mengaku sebagai ‘ahli gigi’ atau ‘tukang gigi’.
Redaksi akumassa memuat kembali foto-foto yang dikumpulkan oleh Dalu dari beberapa lokasi di Jakarta, yang menangkap visual berupa gambar gigi putih dan gusi merah. Sebagai salah satu bentuk kesadaran akan aksi dokumentasi, penyajian foto esai ini berusaha mencoba memaparkan bagaimana sebuah logo usaha dagang menengah ke bawah, pada akhirnya bertransformasi menjadi milik massa: sebuah produk dari “aku-aku” yang anonim, tersebar luas ke masyarakat dan tak terlembagakan. Sebuah visual komersil yang mengkomunikasikan ‘identitas ke-profesional-an’ dari para pelaku yang, sejatinya, diragukan keahliannya oleh para pakar gigi. Bagaimana pun, keraguan ini luput oleh kenyataan bahwa tak sedikit orang yang mau mendatangi warung usaha ini untuk mendapatkan pelayanan jasanya. Banjirnya para ‘ahli gigi’ sesungguhnya merepresentasikan itu.
***
Satu logo dengan pemilik yang berbeda-beda. Itulah awal mengapa saya tertarik untuk membahas visual berupa vektoran gigi ini. Sejauh saya berjalan, khususnya masih wilayah Jakarta, selalu saja menjumpai sebuah toko dengan gambar atau logo ini. Semuanya hampir sama. Uniknya, pemilik dari setiap tempat atau toko tersebut berbeda-beda dan mereka tidak pernah meributkan hak paten mengenai logo tersebut.
Dari awal ketertarikan itu, muncul juga keingintauhan saya untuk menelusuri usaha di bidang tukang gigi. Seharusnya, tukang gigi atau ahli gigi melakukan tindakan yang sesuai dengan prosedur awalnya, yakni hanya membuat gigi, bukan melakukan tindakan selayaknya profesi seorang dokter gigi, seperti perawatan ortodenti (kawat gigi), pencabutan, penambalan gigi dan pembuatan gigi porselen.
Seperti yang pernah saya baca di sebuah artikel online di Jurnas.com, Direktur Bina Upaya Kesehatan Dasar Kemenkes, Dedi Kuswenda, menjelaskan bahwa kegiatan yang dilakukan para tukang gigi tersebut dinilai sangat bertentangan dengan kewenangan pekerjaan profesi yang diatur dalam peraturan Menteri Kesehatan No339/1989 dan UU No29/2004 tentang praktik kedokteran.
Di artikel itu juga disebukan bahwa pihak kementerian melarang dan mengharamkan usaha ahli gigi atau tukng gigi yang seperti itu. Dedi juga menambahkan, bagi tukang gigi yang memberikan layanan bak seorang dokter gigi, namun tidak memiliki kompentensi dan pengetahuan yang memadai, bisa berdampak berbahaya bagi kesehatan pasien. Lebih jauh, artikel itu juga memaparkan bahwa tukang gigi yang melakukan pemasangan gigi tiruan lepasan, tanpa dilakukan pencabutan sisa akar terlebih dahulu, dapat mengakibatkan abses (nanah). Selain itu, tukang gigi melakukan pelayanan pemasangan kawat gigi yang menyebabkan gigi menjadi infeksi. Kemenkes akhirnya mengeluarkan Permenkes No187/ 2011 yang meminta Kepala Dinas Kesehatan di seluruh daerah melakukan penertiban dan pembinaan pada tukang gigi dalam rangka melindungi kesehatan masyarakat.
Namun, pada kenyataanya, masyarakat masih lebih memilih datang ke ahli gigi dari pada ke dokter gigi untuk mengatasi masalah gigi. Mereka terpengaruh karena ada beberapa faktor yang membuat masyarakat lebih menoleh ahli gigi, di antaranya, faktor harga, kualitas (gigi tiruan) yang sama, kendati nilai resikonya tidak diketahui, keprofesionalan kerja, pendekatan masyarakat, dan ketakutan lain yang dirasakan oleh masyarakat.
Selama ini, rata rata masyarakat yang datang ke dokter gigi adalah masyarakat menengah ke atas. Seperti kita ketahui, ekonomi masyarakat Indonesia masih banyak yang di bawah rata rata (menengah ke bawah). Maka dari itu, wajar masyarakat yang bertaraf ekonomi menengah ke bawah, solusi yang dapat diandalkan adalah ahli gigi, karena untuk ke dokter gigi mereka tidak punya “uang”. Itu menjadi alasan yang cukup kuat untuk mereka datang ke ahli gigi.
Menurut versi dokter gigi, masyarakat telah “ditipu” oleh ahli gigi karena ahlli gigi tidak memiliki keilmuan yang dapat dibuktikan dengan ijazah maupun seritfikat. Akan tetapi, lebih banyak masyarakat yang mengaku puas dan tidak mengeluh apapun setelah datang dan mendapat pelayanan dari ahli gigi. Pertanyaan saya untuk dokter gigi, apakah jika ahli gigi dihapus, maka masyarakat akan berbondong bondong datang ke dokter gigi? Atau malah sebaliknya, masyarakat enggan memeriksa giginya, karena harganya yang mahal? Terutama untuk Orthodonty, karena penggunaan Orthodonty lebih bersifat fashionable saja, sedangkan harganya sangat mahal bagi masyarakat menengah ke bawah.
Seperti yang kita ketahui, Indonesia terkenal sangat mahal dalam urusan kesehatan, walaupun ada pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan rumah sakit umum yang memberikan pelayanan untuk masyarakat miskin, namun pada kenyataannya pelayanan yang diterima oleh masyarakat, sayangnya, jauh dari memuaskan.
________________________________
Foto esai ini sudah pernah dimuat di visualjalanan.org, “Ahli Gigi, TUkang Gigi dan Dokter Gigi“. Pemuatan di akumassa.org telah mengalami penyuntingan dan penyesuaian bahasa oleh redaksi.
Pertanyaannya lagi{
1. Apakah semua tukang gigi jika dilatih pasti lebih bodoh dari dokter gigi
2. Apakah hanya dengan alibi karena tidak sekolah kedokteran gigi masyarakat tidak akan bisa melakukan pekerjaan bikin dan pasang gigi tiruan
3. Sampai kapankah masayarakat kita golongan menengah ke bawah bisa menikmati penggunaan gigi tiruan jika pelayanan, harga di dokter gigi masih seperti in, sampai matikah
@m. Jufri
1&2. Bkn masalah lebih bodoh atau pintar, tp untuk dpt praktek perlu ijin praktek kan? sama aj kayak dokter lain (umum/spesialis) , selain itu jg diperlukan pendidikan yg sesuai bidangnya jg. Bukan alibi, bisa sih melakukan perawatan spt yg agan sebutkan, tapi apa sesuai prosedur yg benar dan aman?
3. Kalo mau murah bisa ke rsgm fakultas kedokteran gigi universitas2 (sprt ui, unpad, trisakti), disana minta ditanganin sama mahasiswa2 kl mau murah
P.s : disini sy ga bermaksud menjatuhkan ahli gigi ataupun tkg gigi, tp cuma menjwb pertanyaan agan aja, sekali lg, pilihan ad di tangan pasien 🙂
Regards,
Maya