Aku lahir dan dibesarkan di Kompleks Mawar Putih, yang terletak di Kelurahan Korong Gadang, Kecamatan Kuranji, Kota Padang. Kompleks Mawar Putih adalah perumahan warga yang dibangun pada tahun 1984 oleh PT Inkorba yang dulu beralamat di Jalan Sudirman No.4, Kota Padang, dengan direkturnya bernama Armen Effendi Bakar. Kompleks ini berada di atas tanah Hak Milik No.14, 458 & 670, yang kubaca dari surat keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Padang kepada PT Inkorba untuk ijin membangun.
Ada 100 unit rumah dengan tipe 42, besarnya: (6×5,5) + (2×4,5) dan 80 unit rumah dengan tipe 54, besarnya: (6×8)+(1×4,5) dengan anggaran bangunan Rp.847.440.000,- dan dikerjakan selama 12 bulan kalender.
Melalui KPR.BTN Cabang Padang, orangtuaku membeli rumah dengan tipe 42 pada kavling blok L.No.5, dengan membayarnya secara kredit selama 15 tahun. Angsuran satu bulannya sebesar Rp.59.970,- dengan uang muka Rp.1.200.000,- yang mereka bayar pada tanggal 3 Februari 1986. Kata papaku, waktu itu abangku, Ardiyan, baru berusia tiga bulan sewaktu mereka baru pindah.
Setiap rumah belum ada pagar pembatas. Dan terdiri dari dua kamar, satu ruang tamu, satu dapur, dan satu WC dengan pompa air. Di pekarangan depan, ada satu bak sampah di sudut kiri, dan satu tiang bendera di sebelahnya. Sekarang bentuk asli saat bangunan pertama, hanya ada sekitar dua, tiga rumah saja dan itu adalah rumah yang dikontrakan. Selebihnya, mereka yang menetap dan tinggal di sini, bentuk rumahnya sudah banyak dirombak menjadi beragam. Sedangkan dinding-dinding rumah, sudah berkali-kali disentuh oleh kuas dan cat.
Kebanyakan penduduk yang tinggal di sini bekerja sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan sudah berstatus sebagai pasangan suami istri. Mereka datang dari berbagai daerah yang ada di Sumatera Barat, seperti dari Kabupaten Pesisir Selatan, Solok, Muara Labuh, Batu Sangkar, Padang Panjang, Payakumbuh, Bukittinggi, Agam, dan Lubuk Sikaping.
Dari banyak orang yang kutanyakan, seorang dokter bernama M. Dahril adalah penghuni pertama di Kompleks ini. Sekitar tahun 90-an, anaknya bernama Cendi, bertubuh besar dan bulat, berparas Arab. Sewaktu ia kelas 6 SD, kepalanya terbentur saat berenang di Sungai Batang Aie Kuranji dan meninggal dunia. Beberapa tahun setelah kejadian, keluarga Dr. M. Dahril pindah rumah.
Bulan Maret 1986, Rido Kurniawan, pria yang dulu bertubuh gendut, tapi sekarang sudah tidak lagi, adalah orang pertama yang lahir di Kompleks ini. Masih pada tahun 1986, Pak Hanafi, suami dari Ibu Feni yang tinggal di deretan rumahku adalah orang yang pertama meninggal di Kompleks ini. Kata mamaku, Pak Hanafi dibunuh oleh orang tak dikenal, di dekat bioskop di daerah Andalas. Tapi sampai sekarang mamaku tidak pernah tau apa penyebabnya.
Pak Saady Djas adalah orang pertama yang tinggal di seleretan rumahku, ia menepatinya tanggal 2 Februari 1986. Kemudian disusul oleh Pak Syaiful yang rumahnya berjarak empat rumah dari rumahku. Pada Mei 1999, Uniang Novi anak sulung Pak Saady Djas, tetangga samping kanan rumahku adalah orang pertama yang melangsungkan pernikahan di Kompleks ini. Sekarang Uniang Novi menetap di Palembang bersama keluarganya. Kemudian warung pertama yang ada di deretan rumahku, adalah warung Pak Sugeng, ia berdarah Jawa. Istrinya bernama Is, mereka sangat cekatan dalam berjualan. Mereka lebih sering dipanggil Is Sugeng.
Aku memang tidak merasakan suasana saat pertama Kompleks ini dibangun, atau bagaimana interaksi sosial itu terjadi di anatara warga Kompleks Mawar Putih dahulu kalai. Tetapi selama 23 tahun keberadaanku di Kompleks ini, aku menjumpai banyak karakter, yang tumbuh dan berbaur mengisahkan banyak cerita yang saling terpisah. Kini, saat cerita-cerita itu aku tuliskan, aku tidak bermaksud untuk membuka aib seseorang, tapi ini adalah sebuah representasi sosial masyarakat di Kompleksku, yang nantinya mungkin berguna dan dapat dibaca ulang dari berbagai prespektif.
Perlahan aku memulainya dengan ingatanku yang masih saja mondar-mandir tidak karuan. Sedikit bujuk, kuajak untuk singgah dalam barisan kalimatku. Sehingga cerita ini tersusun dengan susunan yang tidak urut.
Di depan rumahku ada seorang Ustad, bernama Pak H.Narsali. Karena ia bekerja di Departemen Agama, para tetangga memanggilnya dengan sebutan Pak Depag. Cerita tentang rumah tangga Pak Depag sudah menjadi rahasia umum bagi para warga di gang rumahku. Sekitar 7 tahun Pak Depag tidak bertegur sapa dengan istrinya. Mereka tetap tinggal satu atap hingga istrinya meninggal pada tahun 2009. Semua tetangga sudah mengetahuinya, karena diceritakan langsung oleh Pak Depag atau istrinya. Para tetangga juga sudah pernah berusaha untuk menyatukan mereka kembali. Tapi tidak ada hasilnya, karena keduanya bertahan dengan alasan masing-masing. Menurut orangtuaku, masalah mereka disebabkan karena Pak Depag memutuskan untuk pensiun cepat di saat anak-anak mereka sedang butuh biaya. Keputusan pensiun dikarenakan persoalan di kantor yang tidak sesuai dengan pemikirannya. Setelah pensiun, Pak Depag meminjam uang ke Bank untuk membuka usaha di kampungnya, Sawahlunto, dan kabarnya itu tanpa sepengetahuan istrinya. Usaha itu tidak berjalan lancar, lalu ‘gulung tikar’. Sejak itulah mereka tidak bertegur sapa satu sama lain.
Saat aku kelas 2 SMA, ada satu peristiwa menarik yang kujumpai setiap pagi. Di Kompleks ini, ada dua tukang sayur yang datang menjajakan dagangannya. Pedagang tersebut tidak hanya menjual sayuran tapi juga bahan masakan dan lauk pauk. Pedagang pertama biasanya datang jam 8 pagi, selang 2 jam kemudian giliran pedagang ke dua yang datang. Biasanya Pak Depag adalah pembeli pedagang ke-2. Dan istrinya, pembeli pedagang pertama. Berarti Pak Depag juga masak sendiri… pikirku.
Sekarang anak-anak Pak Depag sudah dewasa semua. Anak bungsunya bernama Ira, seumuran dengan abangku. Ira sudah menikah dengan teman sekolahnya di SDN 47 Korong Gadang dulu. Setelah menikah Ira tinggal di Pekan Baru. Sedangkan Uni Eti, kakak Ira yang ke dua, sampai sekarang belum menikah. Padahal Uni Eti adalah perempuan yang manis dan baik hati. Karena pada tahun 2000-an ia menderita kanker rahim, maka ia harus merelakan rahimnya untuk diangkat. Sehingga setiap lelaki yang dekat dengannya, memutuskan untuk mundur setelah diberitahu mengenai hal itu. Tapi aku yakin Tuhan akan menitipkannya pada seorang lelaki yang baik. Dan untuk memiliki anak, jika Tuhan memang ingin memberikannya pada sepasang suami istri, bayi tersebut bisa saja lahir di rahim perempuan yang lain dan tidak harus di rahim istri.
Sekarang ingatanku menuntunku kepada cerita Pak Saady Djas. Sebenarnya ia adalah orang yang baik. Tapi ia jarang tersenyum, selalu terlihat serius dan berwibawa. Aku memanggilnya Pak Uwo,dan istrinya aku panggil Mak Uwo. Memang kami tidak ada hubungan keluarga, entah kenapa aku memanggil mereka dengan sebutan Pak Uwo yang artinya Paman. Mungkin karena mereka sudah seperti keluargaku sendiri. Selain itu, karena Pak Saady bekerja di kantor pajak, ia juga dipanggil Pak Pajak oleh semua tetangga. Namun, dalam tulisan ini aku akan menulisnya dengan sebutan Pak Uwo.
Meskipun Pak Uwo jarang senyum, aku cukup kaget saat ke rumahnya menanyakan sejarah Kompleks ini. Pak Uwo tidak melayani pertanyaanku, tapi dia memberiku buku tipis yang berisi sekitar 16 halaman. Ternyata buku itu adalah sejarah tentang Kompleks Mawar Putih. Aku kira, aku adalah orang pertama yang menulisnya, rupanya ingatan Pak Uwo yang sudah 25 tahun di sini lebih dulu ia tuliskan.
Pada siang hari udara panas sekali karena belum ada pohon pelindung dan malamnya dingin mencekam tanpa penerangan listrik. Masing-masing rumah pakai lampu sisik/stromking. Suara nyanyian kodok yang bersahut-sahutan merupakan orgen tunggal bagi kami waktu itu.
…kalau ada kendaraan yang masuk membawa barang pindah kita merasa gembira sekali karena akan ada penghuni baru sebagai kawan kita.
Kalimat di atas aku kutip dari buku yang diberikan Pak Uwo, buku itu telah membawaku pada suasana saat pertama Kompleks ini dihuni. Buku itu berjudul dan dibuat untuk “Memperingati Seperempat Abad Perumahan Mawar Putih Kecamatan Kuranji Kota Padang”. Pak Uwo juga menuliskan tentang sejarah Masjid di Kompleks ini yang dulunya bernama Surau Limau Manih. Setelah perangkat RW (Rukun Warga) dibentuk, pada tanggal 8 Agustus 1986 dengan 4 RT (Rukun Tetangga), nama Surau Limau Manis kemudian diganti menjadi Mushalla Muhajirin. Kemudian pada 14 September 1986, diresmikan menjadi Masjid Muhajirin oleh Camat Kuranji, yang waktu itu dihadiri oleh Lurah Korang Gadang, DPD Golkar Tk. II, Muspida Kuranji, LKMD Taratak Paneh dan masyarakat Mawar Putih. Rencananya, tahun 2011 ini, setiap tanggal 8 Agustus akan diperingati sebagai hari ulang tahun Kompleks Mawar Putih.
Di Mesjid Muhajirin pernah ada seorang guru mengaji yang sangat galak. Orang-orang memanggilnya Pak Gaek, yang artinya pak tua. Ia adalah ayah dari Pak Nurman Jafar yang pernah menjabat sebagai ketua RW. Tiga rotan yang halus dan cukup panjang selalu dipegang Pak Uwo saat mengajar. Semua anak-anak yang pernah belajar dengannya, sudah merasakan lecutan tiga rotan tersebut. Meski ia galak, karakternya selalu berbekas dalam ingatan semua anak-anak yang dulu pernah mengaji dengannya. Tapi tidak di dalam ingatanku, karena saat aku mengaji, Pak Gaek sudah tidak ada lagi. Ia meninggal di umur 70-an.
Pada tahun 1990, Pak Uwo dipindah tugas ke Pekan Baru, Batam, dan Sijunjung. Selama 10 tahun ia meninggalkan Mawar Putih. Rumahnya dihuni oleh Uda Heru, anak keduanya. Waktu itu Uda Heru masih bujang. Menurut banyak orang, ia pernah dipergoki saat sedang berduaan dengan pacarnya di dalam rumah. Sekarang mereka sudah menjadi orangtua yang bahagia bersama dua orang anaknya.
Biasanya cerita-cerita tentang para warga di gang rumahku bisa didapat dari warung Is Sugeng. Karena mereka semua bertemu di situ. Isi warung Is Sugeng cukup lengkap, ia juga menjual kebutuhan dapur serta lauk pauk. Setiap minggu pagi, warung itu menjadi tempat pertemuan ibu-ibu Kompleks Mawar Putih, termasuk mamaku. Sambil membeli bahan masakan, mereka biasanya saling bertukar cerita. Semuanya dapat giliran, terkadang ikut menceritakan, atau bahkan menjadi bahan cerita. Pada malam harinya, adalah jatah bapak-bapak untuk bertemu di warung Is Sugeng, termasuk papaku. Sedangkan Pak Sugeng dan Buk Is juga sangat aktif dan lincah jika sedang bercerita. Seperti saat bercerita tentang Pak Depag dengan istrinya, mereka begitu semangat untuk mengurusinya, dengan niat menyatukan mereka kembali.
Tahun 2008, giliran Is Sugeng dan keluarganya menjadi bahan cerita. Kabar yang aku dapat, mereka menjual rumahnya karena terjerat hutang. Mereka hilang lenyap tanpa ada kabar dan rumahnya dibeli oleh saudaranya, Oom Afdal. Bentuk bangunannya sudah dirombak keseluruhan dan bertingkat. Sekarang adik ipar Oom Afdal, Tante Ita, juga membuka warung di tempat yang sama dengan warung Is Sugeng dahulu. Namun, warungnya tidak menjual sayur-sayuran dan lauk pauk.
Rumah Oom Afdal berada di samping kiri rumah Pak Depag, hanya berjarak satu rumah. Umur Oom Afdal lebih tua dari papaku, tapi aku memanggilnya dengan sebutan oom karena istrinya, Ida, lebih muda dan aku memanggilnya Tante Ida. Tetapi aku tidak memanggil tetangga sebelah kiri rumahku, Pak Amril, dengan sebutan oom, walaupunmereka seumuran. Padahal istrinya Pak Amril, aku panggil tante dan umurnya jauh lebih muda dari umur Tante Ida. Sedikit aneh memang, tapi ya sudahlah itu hanya sebuah panggilan.
Sebelum Pak Amril, rumah tersebut dibeli oleh Uda Heri, satu-satunya penghuni Kompleks Mawar Putih yang masih bujang swaktu itu. Tapi tetanggaku memanggilnya Tamburin. Nama itu diberikan oleh papaku, yang sebenarnya tidak ada artinya. Kata papaku, nama Tamburin langsung terucap sewaktu Uda Heri lebih dulu memanggil papaku dengan sebutan Datuk. Papaku adalah orang pertama yang mengajak Tamburin ngobrol. Kemudian mereka jadi dekat dan seperti saudara angkat. Tapi ia tidak lama tinggal disitu, rumahnya kemudian dikontrak oleh Pak Amril dan kemudian dibelinya. Sebenarnya Tamburin sangat berat untuk menjualnya, tapi karena melihat Pak Amril merawat rumahnya dengan baik dan keduanya sama-sama berasal dari Muaro Labuh, hati Tamburin luluh juga untuk menjual rumahnya pada Pak Amril.
Pak Amril dan istrinya hampir kukira tidak akan dapat anak. Tapi berkat kesabarannya, istrinya melahirkan juga. Anaknya, bernama Dio. Wajahnya mirip Pak Amril dan kulitnya putih seperti Tante Ita. Sekarang umur Dio sudah sekitar 9 tahun. Ironisnya, kini Pak Amril terkena penyakit stroke dan lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah, di atas kursi roda. Pekerjaannya sebagai kontraktor dikerjakan oleh adik Tante Ita, yaitu Ricko. Aku selalu berharap Pak Amril cepat sembuh dan bisa menjemput rapor Dio ke sekolahnya.
Di samping kiri rumah Pak Amril sebelumnya dihuni oleh Pak Hata yang satu kampung dengan papaku, di Pesisir Selatan. Pada tahun 1989 ia pindah dan menjualnya pada Pak Haji Ketek yang berasal dari Bukitinggi dan menghuninya sampai sekarang. Nama sebenarnya adalah Pak Ardinal. Ia dipanggil Pak Haji meskipun belum pernah pergi ke Mekah menunaikan Ibadah Haji. Hanya saudara kandungnya yang sudah pernah naik Haji. Kata orang, karena ia anak bungsu, makanya dipanggil Haji Ketek. Kata ‘ketek’ dalam Bahasa Minang berarti ‘kecil’. Jadi, nama Haji Ketek melekat di dirinya karena ia adalah adik dari Pak Haji yang paling kecil.
Ibu Ambrina merupakan istri Pak Haji Ketek . Ia adalah guru mengajiku sewaktu aku masih kelas 3 SD. Ibu Ambrina tidak galak seperti Pak Gaek. Tapi saat itu, menurutku Ibu Ambrina adalah seorang guru mengaji yang pengadu. Aku pernah jadi korbannya. Saat itu aku suka menonton filem Ksatria Baja Hitam dan Power Ranger yang tayang setiap minggu pagi di RCTI, sekitar jam 8 pagi. Setelah filemnya habis, barulah aku pergi mengaji. Sewaktu di dalam kelas, secara diam-diam aku sering menirukan gerakan-gerakan dalam filem yang aku tonton sewaktu di rumah. Tanpa kusadari Ibu Ambrina mengetahuinya dan selalu memperhatikanku tanpa menegurku. Saat menerima rapor, ia memberitahukan kebiasaanku itu pada mamaku. Menurut Ibu Ambrina, kelak ketika besar aku akan menjadi seorang pesilat yang hebat. Aku geli ketika mendengar dan mengingatnya kini, Siapa bilang Ksatria Baja Hitam dan Power Ranger itu adalah Pesilat? Pikirku.
Di samping kiri rumah Pak Haji Ketek, ada salah satu rumah yang masih menyisakan bentuk bangunan asli yang dirancang oleh PT.Incorba. Rumah dengan kavling yang ditandai dengan Blok. L.No.2 pertama kali dibeli oleh Ibu Murni dan hanya dua tahun ditempati. Saat itu aku berumur 1 tahun. Tapi setelah aku kelas 2 di SMPN 1 Padang, baru aku bertemu dengannya. Ternyata ia adalah guru Matematikaku. Sebelumnya aku tidak tahu jika kami pernah bertetangga di Kompleks Mawar Putih.
Pada akhir 2010, rumah tersebut dikontrak oleh Pak Bakar yang sudah berumur 60-an. Dengan gerobak becaknya, ia menyelusuri Kota Padang setiap siang hingga malam harinya, mengumpulkan lembaran-lembaran kertas, gelas dan botol plastik minuman. Filem dokumenter yang pertama kubuat adalah tentang Pak Bakar, berdurasi 4 menit. Meskipun tidak pernah diputar di Festival Filem, tapi filem tersebut telah meluluhkan hati anaknya yang tinggal di Bandung. Setelah filem itu dikirim ke anaknya dan ditontonnya, ia menyuruh ayah, ibu dan adik-adiknya untuk pergi ke Bandung. Ia melarang Pak Bakar mendorong gerobak becak lagi. Sebelumnya anaknya sudah tahu apa kerja ayahnya, tapi ia tidak pernah membayangkan seperti apa ayahnya saat melokani pekerjaannya. Begitulah kata istri Pak Bakar pada mamaku, sebelum berangkat ke Bandung.
Kemudian di samping kiri bekas rumah Ibu Murni, berdiri bekas rumah Is Sugeng. Pada tahun 2007, sebelum mereka pindah, Selokan di jalan ke rumahku tidak dialiri air. Lalu para bapak bergotong royong untuk mengaliri air di selokan yang diambil dari bandar besar yang ada di depan masjid. Setelah selokan dialiri air, Is Sugeng malah bertenak ikan di selokan depan rumahnya. Selokan tersebut digali lebih dalam,dan kemudian ia membuat bendungan, sehingga air tidak mengalir ke selokan sepanjang arah rumahku. Setelah beberapa hari sejak Is Sugeng membuat kolam ikan di gotnya, Pak Uwo menegur tindakannya. Tapi tetap saja bendungan itu tidak dibuka. Akhirnya ternak ikan itu hanya bertahan dua bulan, ikan-ikannya satu persatu mati. Setelah ikan-ikannya hanya tinggal beberapa ekor saja, bendungan tersebut baru dibukanya.
Di depan rumah yang pernah dihuni oleh Pak Bakar, ada rumah Pak Usman Chan yang juga pernah menjabat sebagai ketua RW. Pak Usman Chan adalah guru olahraga di SMPN 1 Padang. Tapi aku tidak pernah diajarkan olehnya. Sekarang ia sudah pensiun, setiap sore aku selalu melihatnya membersihkan halaman rumahnya.
Di samping kiri rumah Pak Usman Chan yang terletak dipersimpangan, dulu pernah dikontrak oleh sepasang suami istri yang masih muda. Suaminya bekerja sebagai supir truk, yang mobilnya merupakan miliknya sendiri. Kabarnya, si istri adalah mantan pacar Bang Boi, anak sulung Pak Usman Chan.
Sedangkan di samping kanan rumah Pak Usman Chan, adalah rumah kontrakan milik Uniang Novi. Kalau tidak ada orang yang mengontraknya lagi, Pak Uwo yang akan mengurusinya. Sekarang rumah tersebut dikontrak oleh pasangan muda dengan satu orang anak. Di samping kanannya lagi adalah rumah Pak Depag yang tepat berhadapan dengan rumahku. Di depan rumah Pak Saady adalah rumah Pak Ferdinal, seorang Dosen di Universitas Andalas, Padang.
Fabian Rahim adalah anak bungsu Pak Ferdinal, dan sekarang kuliah di Universitas Indonesia, Jakarta. Sekitar tahun 90-an, Fabian pernah punya video game, mulai dari Nintendo, Sega, hingga Playstation. Setiap Sabtu dan Minggu, rumah Fabian selalu ramai dengan anak-anak yang tinggal di deretan gang rumahku untuk menunggu giliran bermain video game. Saat era Nintendo, game yang sering dimainkan adalah Rambo. Pada era Sega, game Dragon Ball sangat banyak yang menggemari. Masuk tahun 2000-an, era Playstation dijadikan sebagai mata pencarian oleh banyak orang. Tempat rental Playstation atau disingkat rental PS mulai berserakan. Tapi sekarang popularitas rental PS, dikalahkan dengan game online. Sehingga banyak usaha rental PS yang gulung tikar.
Tahun 1998, saat Indonesia sedang bergejolak, kali pertamanya senam pagi mulai dilakukan di sepanjang jalan utama di Kompleks Mawar Putih. Masuk tahun 2000-an kegiatan itu sempat terhenti selama beberapa tahun. Kabarnya tahun 2010 sudah dimulai lagi, lengkap dengan mendatangkan instruktur senam dari luar. Setiap orang yang ikut senam membayar sebanyak Rp.2000,- secara sukarela.
Masih sekitar tahun 1998 rumah di samping kiri rumah Oom Afdal dibeli oleh Pak Ujang. Pada tahun 2000 barulah Pak Ujang menghuninya. Sebelum mereka pindah, para bapak di gang rumahku menggunakannya sebagai tempat bermain judi pada setiap malamnya. Tapi papaku tidak termasuk. Karena sekitar tahun 1997, sewaktu mamaku pergi ke Bali selama seminggu, rumahku juga pernah digunakan untuk tempat bermain judi oleh papaku. Setelah mamaku pulang dari Bali, rumah berserakan dan ketahuan. Alhasil mamaku marah besar. Sejak itu papaku tidak pernah lagi ikut bermain judi. Sedangkan siang harinya di rumah Pak Ujang, giliran aku dan anak-anak yang lainnya bermain di sana tapi bukan bermain judi. Kami bermain Cik Mancik (main sembunyi-sembunyian), lempar bola kasti, kejar-kejaran dan sembah lakon. Sungguh sangat mengasyikan saat itu.
Pada 30 September 2009, gempa dahsyat yang terjadi di Padang dengan skala 7,9 SR, telah merenggut putri bungsu Pak Ujang. Namanya adalah Wina, anak yang periang dan bertubuh kurus, tinggi semampai. Wina meninggal karena tertimpa rerentuhan gedung tempat bimbingan belajar Gama. Saat mendengar berita meninggalnya Wina, hampir saja penyakit jantung Pak Ujang mengajaknya untuk ikut dengan Wina pada malam itu.
Masih ada banyak cerita di Kompleksku. Tapi ingatanku, membujukku untuk memohon diri dari barisan kalimatku. Dan esok, 20 tahun lagi, Mawar Putih bukan lagi Kompleksku tapi akan menjadi kampung halaman bagi aku dan anak-anakku.
Sebagai penutup, kembali kukutip ingatan 25 tahun Pak Saady yang sudah ia tuliskan, untuk menyalami ingatanku.
…Yang dulunya masih bayi di Mawar Putih sekarang sudah menjadi Sarjana dengan bermacam-macam profesi. Yang dulunya dewasa yang matang sekarang sudah manula termasuk saya sendiri.
…Kalau dulunya mulai tinggal di Mawar Putih suami istri sekarang sudah mempunyai anak dan cucu, kalau dulu anak dan cucu masih di sini tapi sekarang sudah pergi merantau. Sehingga sekarang, tinggal berdua saja, suami istri ––alias pulang pokok.
cantik
semua cerita tentang tempat lahir bang . . yang kyk gini dah bisa di bilang naskah bang?
wah,,sejarah kompleks mawar putih..
ide yang sangat cemerlang..
Nice one. Lengkap sekali. Sampe survei kemana2 ya? 😀
menarik y cerita’a,..
ide ‘a bagus,..
david mang kreatif,…..
bagus 🙂
wow detail bgt.. ^^ bgus ^^
emank kak wina thu orgx periang baik cantikkkk
Seingat saya, Da David adalah salah satu yang pertama punya parabola di gang kami. Ketika itu saya masih TK dan saya sangat ingin nonton Satria Baja Hitam. Entah karena alasan apa, Da David kerap melarang dan menghalang-halangi saya untuk ikut nonton di rumahnya. Saya pun pulang menangis dan mengadu ke Mama karena ingin sekali bisa menonton RCTI. Hahaha, menarik!
Mantapp… Tapi kisah lapangan voli (dulunya) atau lapangan basket (saat ini) blom dikisahkan. Lalu warung buk rat mama da wen juga blom di masukkan.
Aku biasanya di panggil di komp dengan sebutan Tari dan ii. Tapi kebanyakan warga mawar putih memanggilku dengan sebutan Tari. Seingat aku sih dulu mama, papa, tante yen itu sebelum adanya telepon atau bahkan HP sekalipun warga komp sering memakai untuk berkomunikasi dengan menggunakan roger-roger bahkan ada tikus di tepi sawah, ada iyik sama andung, ada ibuk kartini, ada pak panglima polen dll. pokoknya bercengkrama serasa dibalik dinding saja rumahnya, sambil untuk membangunkan sahur sewaktu selama bulan puasa dulunya. walaupun rumah berjauhan tapi tetap akrab serasa sangat dekat. Roger-roger itupun berlangsung sanagt cukup lama kalau gak salah siingat aq sampai aq berusia sekitar 8 tahun.
Haha sya slah satusatu putra mawar putih yg bru tgl sejak tahun 1993 pas seminggu kluarga baru pindah ke mawar putih saya d lahirkan mungkin saya bayi yg ksekian d lahirkan d sna,
Sya sngat takjub dgn komplek tmpat tinggal saya yg pnuh sejarah indah wlw saya tdk mengetahui smua dan baru tau dr cerita bg david ini,d komplek mawar putih abg kandung sya putra komlek mawar putih yg mnjadi polisi prtama d tahun 2006,
Iya komplek yg kelak akan mnjadi kampung halaman saya