Sore itu (07/01) sebelum pukul 16.00 wib beberapa anggota Sarueh, Rudi, Fadly Capaik, Harryaldi, David, Angga, Culil, dan Ronny tampak sibuk mempersiapkan pembukaan DOCUROOM PROJECT di ruang tengah Sarueh. Dana untuk mengadakan acara ini adalah hasil iuran anggota Sarueh, sebesar Rp 5.000/orang. Tapi dengan dana yang sangat sedikit itu, sama sekali tidak menjadi hambatan bagi anak-anak Sarueh untuk tetap melaksanakan pembukaan project awal tahun 2010 Komunitas Sarueh sore hari itu. Untungnya, narasumber yang dihadirkan adalah orang-orang yang sangat mendukung sekali project berdana minim ini, mereka merelakan waktunya untuk tidak dibayar sepeser pun oleh penyelenggara DOCUMROOM PROJECT.
Meskipun waktu mulainya sedikit molor sekitar 15 menit, Chandra Zefri Airlangga selaku moderator dapat dengan baik membawakan suasana untuk tidak mengingatkan peserta, narasumber, dan anak-anak Sarueh lainnya pada waktu yang sudah dijadwalkan. Aga nyet-nyet, panggilan akrab moderator, mempersilahkan kepada dua orang narasumber, Yusril S.S, M.Sn dan Lidia K Afrilita untuk memperkenalkan diri. Kemudian diikuti pengenalan Komunitas Sarueh oleh Ketua Sarueh, Gusnita Linda dan pengenalan DOCUROOM PROJECT oleh Kordinator Film Sarueh, David Darmadi.
Yusril S.S, M.Sn:
“Sebetulnya ini adalah kali kedua saya diundang oleh Komunitas Sarueh untuk diskusi tentang sebuah project yang menurut saya yang punya ruang, yang sangat bisa membuka kita untuk berinteraksi dengan masyarakat dan alam. Kenapa saya diundang, barangkali karena latar belakang saya sebagai orang sastra, teater, tari, filem dan itu semua kadang-kadang membuat kesenian menjadi lintas batas. Karena itu teman-teman Sarueh mengundang saya. Kebetulan saya juga punya latar belakang sedikit tentang filem, baik secara empiris dan pendidikan. Terakhir saya mengambil magister jurusan filem di ISI Surakarta dan dititipkan sekolahnya di Intitut Kesenian Jakarta. Jadi mungkin memang sedikit absurd kehidupan saya.”
Lidia K Afrilita :
“Saya Lidia, Lidia Afrilita. Saat ini saya masih tercatat sebagai mahasiswa Universitas Negeri Padang, jurusan sastra Inggris, sedang tahun akhir. Kenapa saya diundang di sini, mungkin karena kebetulan kemarin filem perdana saya lolos di Festival Film Dokumenter di Jogjakarta, jadi oleh penyelenggara DOCUROOM saya diminta untuk sharing tentang pengalaman selama mengikuti program di sana”.
Gusnita Linda :
“Saya Linda. Komunitas Sarueh berdiri pada Oktober 2008. Dimulai dari kegelisahan teman-teman di Jurusan Televisi (STSI Padangpanjang). Mungkin tidak jauh berbeda dengan teman-teman angkatan 2009 sekarang, ingin mencoba untuk membuat karya. Tapi karena proses di kampus kita bertahap, akhirnya Sarueh dibentuk sebagai media berkreatifitas di luar kampus. Alhamdullilah ketika kita sharing dengan teman-teman Jakarta, Bang Hafiz dari Forum Lenteng mereka mempunyai respon yang bagus. Akhirnya pada program akumassa se-Indonesia pada tahun 2009 kemarin Sarueh dipercaya mengikuti program workshop akumassa Padangpanjang. Di Sarueh sendiri sekarang ada sekitar 10 orang yang aktif dari jurusan televisi angkatan 2007, 2008, dan juga dari Jurusan Karawitan.”
David Darmadi :
“DOCUROOM merupakan sebuah program awal tahun 2010 Komunitas Sarueh yang akan dilakukan dari Januari sampai Maret. Jika kita pahami dari kata DOCUROOM, dapat diartikan dimana dalam project ini Sarueh mencoba membuat sebuah ruang dokumenter untuk orang yang sama sekali belum pernah membuat filem dokumenter. Adapun tujuannya adalah untuk menghasilkan Sineas baru dari ranah Sumatera Barat. Dalam project ini kami akan memberikan beberapa ruang untuk peserta, yaitu ruang pembelajaran, dimana nanti kita akan belajar bersama tentang filem. Kemudian ada ruang pemberdayaan ide, ruang pelatihan, ruang produksi dan ruang pendistribusian. Pada ruang pendistribusian ini, Sarueh akan bertanggung jawab penuh atas hasil karya dokumenter teman-teman nanti untuk diikutkan ke Festival Dokumenter Nasional, Internasional dan juga akan ada pemutaran di beberapa tempat yang sudah Komunitas Sarueh rencanakan.”
Setelah penjelasan dari David Darmadi, acara dilanjutkan untuk menonton filem dokumenter perdana Lidia Afrilita yang berjudul Padang In Carnival di TV 21 inch milik orangtua Fadly Capaik. Saat tengah menonton, beberapa orang anak Pocketterz Community yang lahir dari hasil workshop dokumenter SMAN 3 Padangpanjang bersama Komunitas Sarueh pada Maret tahun 2009 yang lalu, hadir di tengah peserta. Alhasil ruang tengah Sarueh dipenuhi dengan semangat-semangat calon sineas muda dokumenter.
Setelah selesai menonton, Moderator mengarahkan ke ruang diskusi tentang Apresiasi Ruang Film yang dimulai oleh Lidia K Afrilita. Dengan sedikit menarik nafas, ia menceritakan tentang bagaimana proses pembuatan filem dokumenter (dengan medium kamera video) perdananya. Di akhir ceritanya, Lidia juga menyampaikan sebuah pesan yang ia bawa selama berada di Jojgakarta. “Prosentase filem-filem dari Sumatera Barat masih jauh dari kota-kota yang ada di Pulau Jawa dan mereka berpesan mudah-mudahan dengan masuknya satu filem dari Sumatera Barat ke FFD dapat meng-encourage teman–teman lain dari Sumatera Barat khususnya dokumenter. Jadi mereka sangat merindukan filem–filem dari Sumatera Barat, “ jelas Lidia mengakhiri pembicaraanya.
Yusril S.S, M.Sn yang merupakan tamu film DOCUROOM PROJECT melanjutkan pesan yang disampaikan oleh Lidia Afrilita. “Sebetulnya semangat itu sudah ada lama dan keadaannya hampir sama, tapi mungkin sejarahnya yang berbeda. Kami di Komunitas Hitam Putih Padangpanjang sudah lama punya kesadaran. Ketika kami menghadiri beberapa event-event filem, selalu yang tidak ada itu nama Sumatera Barat. Jangankan untuk ikut kompetisi, untuk berkenalan dengan dunia filem itu sendiri susah. Kesadaran itu membuat kita untuk mencoba memproduksi sebuah filem, memang ketika itu pilihan kita adalah filem fiksi pendek. Dan dari pengalaman-pengalaman itu, akhirnya ketika kita coba lakukan pemutaran filem di Sumatera Barat ternyata animo masyarakat memang sangat sedikit sekali. Akhirnya kami, Hitam Putih pada waktu itu mengorbankan diri kami untuk berhenti produksi, tapi kita melakukan semacam pembelajaran melalui pemutaran-pemutaran filem, Roadshow dari kampus ke kampus dan dari kafe ke kafe. Alhamdullilah kita berkenalan dengan Screen Docs, Jiffest, Goethe Institut, kita memutar filem-filem pendek dari Jerman, dan terakhir dengan Eagle Award. Dari hasil pemutaran-pemutaran filem ini sebetulnya sudah banyak melahirkan filem-filem dokumenter di Sumatera Barat. Dan itu rata-rata dikerjakan teman-teman dari kampus, artinya embrio filem itu berasal dari teman-teman akademik walaupun latar belakangnya bukan filem, ” cerita Yusril S.S, M.Sn yang sekarang menjabat sebagai Ketua Jurusan Teater ISI Padangpanjang.
Selain menceritakan ruang filem di Sumatera Barat dari ingatan-ingatan pada masanya, beliau juga membahas sedikit tentang filem dokumenter yang bercerita tentang angkot-angkot modis di Kota Padang yang sudah ditonton di awal tadi dan menjelaskan tentang sebuah ruang. “Dari filem tadi ada tiga hal yang menarik menurut saya, pertama gaya hidup, yang ke dua dari segi kompetisi ekonomi, dan ketiga dari segi publik hukum. Tapi hukum tidak terlalu jauh tersentuh dalam filem ini yang menurut saya justru itu yang paling menarik. Ketika dia bercerita dengan seorang polisi yang bisa berdamai, ketika bagaimana seorang petugas keur yang berpura-pura ‘streng’ (kukuh dan keras pada aturan-red) di depan kamera saat melakukan keur, itu sangat akting menurut saya. Jika diambil dengan kamera tersembunyi, mungkin keadaanya bukan seperti itu. Jadi dari hal-hal seperti itu sebetulnya ternyata ruang itu bisa membuat kita punya berbagai banyak peristiwa yang bisa kita ceritakan dalam sebuah kamera, yang kita sebut dengan filem. Kenapa begitu? Karena ketika berbicara ruang massa atau ruang komunal, tempat bertemu antara manusia dengan benda, tempat terjalinnya antara peristiwa masa lalu dengan terkini. Sehingga dari sebuah ruang itu kita bisa membangun imajinasi-imajinasi dari peristiwa-peristiwa yang nantinya dapat kita komunikasikan dengan banyak orang, yang terkadang dapat membuat kita tersenyum, sedih, dan juga membuat kita berpikir dengan situasi dan kondisi yang berlangsung di ruang massa tersebut, “ jelas Pak Katil, sapaan akrab Yusril S.S, M.Sn.
Kemudian pada sesi tanya jawab, sembari minum air mineral gelas dan makan perkedel jagung dan snack seadanya. Namun pada saat Aga nyet-nyet mempersilahkan semua yang ada dalam ruangan untuk bertanya, yang ada seisi ruangan menjadi diam. Akhirnya Aga nyet nyet yang sepertinya juga sudah tidak sabar untuk bertanya, malah menjadi petanya pertama. Ternyata satu perntayaan dari Aga telah memancing Rachmat Fauzi dari Pocketterz Community yang menanyakan kapan sebuah filem itu dikatakan berhasil. Peserta yang pada awalnya lebih banyak diam, sepertinya sudah penasaran dengan pertanyaannya yang ingin dijawab oleh narasumber. Karena waktu yang sudah dijadwalkan hanya sampai pukul 18.00 wib. Pertayaan terakhir datang dari siswa kelas 1 SMAN 3 Padangpanjang yang kabarnya baru bergabung dengan Pocketterz Community.
Sebelum Moderator menutup kesederhanaan dan kehangatan pembukaan DOCUROOM PROJECT pada sore hari itu. Yusril S.S, M.Sn menyampaikan komentar yang sama dengan Lidia K Afrilita untuk DOCUROOM PROJECT. “Dimana sekarang kami di Komunitas Hitam Putih sudah mendapat teman, jadi tidak hanya kami saja yang bertanggung jawab atas perkembangan filem di Sumatera Barat. Dengan adanya project ini, bukan hanya Lidia saja tapi semoga besok akan lahir Lidia-Lidia lain yang hadir dalam forum-forum nasional dan internasional itu. Saya kira komentar saya sama dengan Lidia, keinginan kita sama bagaimana nanti Sumatera Barat ini ada di dalam percaturan, dan ada dalam peta perfileman Indonesia,“ tuturnya.
Selamat buat teman-teman di Sarueh, semoga kegiatannya berlangsung terus dan kontinyu.
Sakut untuk perjuangannya… tetap semangat.
keur??? aga???
kurang dimengeti sebagai orang awam… tolong dijelaskan.
terima kasih
selamat kepada komunitas sarueh yang nampaknya mulai aktif kembali dengan program2nya. lanjutkan ya kawan2.
salam
otty
Saya sangat percaya kepada “kreatifitas” anak muda itu adalah nyawa dari perkembangan kebudayaan. Jadi, apapun yang dilakukan oleh kawan-kawan Sarueh adalah nyawa dari perkembangan kebudayaan kita. Mungkin kita tidak perlu lagi menyebut ini dan itu sebagai wakil Sumatera Bara atau orang Minang…karena “kerja” yang kawan-kawan buat adalah torehan yang berharga bagi seni dan kebudayaan di Indonesia secara keseluruhan. Kita harus mulai menghindari sekat-sekat identitas, ruang, tempat, daerah, dan latarbelakang. Saya sangat bangga dengan program dengan Docuroom Sarueh. Ini adalah siraman penting bagi kawan-kawan, untuk menjadi mekar sebagai kelompok kebudayaan di Padang Panjang.
“Mari Melihat Dunia dengan Melihat Diri Kita”
Salam
Hafiz
Petugas keur adalah petugas penguji standar kelayakan kendaraan bermotor.
Aga adalah salah satu anggota Komunitas Sarueh, yang menjadi moderator acara, seperti sudah dijelaskan di dlm tulisan.
trims.
agiah taruih.. !!
Dengan sangat hormat Komunitas Sarueh mengucapkan terimakasih kepada Hafiz Rancajale (Ketua Forum Lenteng, Jakarta) dan Otty Widasari (Koordinator Program akumassa) atas respon positif dan dukungannya untuk DOCUROOM PROJECT ini. Semoga Komunitas Sarueh dapat melaksanakannya sampai selesai. Dan hadirnya DOCUROOM PROJECT tidak lepas dari motivasi dari teman-teman Forum Lenteng, Jakarta dan akumassa untuk teman-teman Komunitas Sarueh.
Salam
Komunitas Sarueh ^^