Aku merupakan anggota Paskibra angkatan 2007, aku mengerti teori Paskibra tapi tidak terlalu menguasai prakteknya. Mungkin karena postur tubuhku yang tidak proporsional (dalam artian tidak masuk kualifikasi Paskibra yang notabene bertubuh tinggi dan tegap) menjadikan aku, hanya sebatas anggota biasa. Aku tidak seberuntung teman-temanku yang lain, ada yang mengikuti lomba LBB (Latihan Baris Berbaris), mendapat kesempatan besar menjadi pengibar di upacara 17 Agustus dan upacara memperingati hari nasional lainnya, juga tidak menjadi Paskibra tingkat kecamatan atau pun kota yang sangat diimpi-impikan oleh seluruh anggota Paskibra sekolah, termasuk aku. Tapi aku tidak pernah menyesali hal tersebut, karena tidak hanya sampai di sana yang aku dapatkan. Aku juga memiliki teman-teman baru dan berbagai pengalaman serta ilmu pengetahuan yang tidak aku dapatkan di tempat lain.
Tahun ini aku tidak datang ke SMK-ku dan merayakan Hari Kemerdekaan RI di sana, tidak bertemu teman-temanku, dan tidak melihat upacara pengibaran bendera di sekolahku tercinta yang dilaksanakan oleh adik-adik kelasku. Karena saat ini aku sedang berada di Kota Serang untuk mengikuti workshop akumassa yang tidak ingin aku tinggalkan.
Kembali pada topik, aku seharusnya menuliskan tentang upacara bendera HUT RI di Serang. Hari ini, Selasa 17 Agustus 2010 merupakan Hari Kemerdekaan RI yang ke-65. Aku merayakannya dengan cukup payah, karena aku sama sekali tidak ada niat untuk bangun pagi atau pun mengikuti upacara bendera yang aku tahu diadakan di Alun-alun Kota Serang. Tapi ternyata takdirku berkata lain. Pagi ini ketika aku bangun tidur, aku langsung dikagetkan oleh temanku, Merre. Dia menyuruhku untuk melakukan liputan terhadap event pengibaran bendera di Alun-alun Kota Serang. Aku melihat jam menunjukan pukul 07:14 pagi, sontak aku kaget. Kemudian aku berkata, “Udah jam tujuh lewat Cuy, udah telat ini mah, udah mulai dari tadi upacaranya.”
“Ya terserah sih mau diliput atau nggak, tapi kalau nggak diliput hari ini, berarti harus nunggu tahun depan.”
Pernyataan Merre tadi menyadarkanku akan tanggung jawab, tapi tetap saja aku malas. Jujur, aku sangat tidak ingin ke sana menghadiri, mengikuti atau meliput sekali pun, tetapi tidak ada pilihan lain karena ini merupakan tanggung jawabku. Aku gelagapan sekali, karena aku takut pengibarannya sudah mulai, aku mencari-cari kamera, menggendel tas dan bergegas berangkat, tanpa mandi dan berganti pakaian terlebih dahulu.
Ketika di perjalanan dengan naik angkot (angkutan kota), aku bertanya kepada si supir perihal upacara pengibaran di Alun-alun .
“Upacara Agustus-an di Alun-alun udah mulai apa belum ya, Pak?”
Pak supir menjawab “Tadi sih waktu saya lewat belum mulai.”
“Bapak lewatnya jam berapa?” Saya buru-buru bertanya kembali.
“Jam 6, Dik, agak siang mungkin, kan ini bulan puasa. Biasanya jalan ke sana Alun-alun juga ditutup, tapi ini nggak. Karena bulan puasa kali. “
“Yang pawai obor itu ada nggak, Pak semalam?”
“Nggak ada, pawai obornya udah duluan sebelum bulan puasa, ini kan puasa jadi tidak boleh,” jawab pak supir.
Sepert itulah obrolan kami selama perjalanan menuju Alun-alun.
Sesampainya di Alun-alun aku sangat kaget karena suasana masih sangat sepi. Aku melihat ke sekeliling dan menemukan dua orang yang aku ketahui adalah anggota PPI (Purna Paskibraka Indonesia), lalu aku menghampiri keduanya. Aku melihat name tag di kaos mereka bertuliskan Galih dan Ujadi.
“Bang, ini upacaranya belum mulai?” tanpa basa-basi aku bertanya.
“Belum, mulainya jam sepuluh,” jawab salah satu dari mereka.
“Sekarang baru jam delapan, lama banget Bang. Bukannya harusnya pagi ya Bang, jam tujuh-an?”
Sambil tertawa mereka menjawab “Upacara apa jam tujuh udah mulai, kayak upacara sekolah,” jawabnya meledekku.
Cukup sudah pertanyaanku dan aku kesal mendengarnya, upacara baru akan dimulai pukul 10.00 WIB sedangkan aku sudah tiba di tempat pukul 08.00 WIB. Andai saja aku mengetahui dari awal, aku pasti tidak akan terlalu terburu-buru datang dan menyempatkan diri terlebih dahulu untuk mandi.
“Ini upacara tujuh belasan-nya tingkat apa, Bang?” tanyaku lagi kepada dua anggota PPI itu dengan sedikit kesal.
“Tingkat kabupaten.”
“Kalau yang tingkat kota itu di mana?”
“Kalau pengibaran tingkat kota, diadakan di stadion, yang tingkat provinsi di KP3B (Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten),” jelas salah satu di antara mereka.
Pandanganku tertuju ke hal lain, di balik kedua PPI (Purna Paskibra Indonesia) tersebut, ada beberapa PPI yang sedang menggelar terpal di depan gerbang Gedung Juang 45, mungkin karena jalannya becek dan khawatir akan mengganggu pasukan ketika melintas. Di balik mereka terdapat para pasukan pengibar, ternyata mereka sedang mempersiapkan diri dengan ber-make up dan berpakaian Seragam PDU (Pakaian Dinas Upacara), mereka ditempatkan di Gedung Juang 45 Serang, Banten.
“Luruskan barisan, lihat ujung sepatu sebelah kiri. Yang badannya gendut tarik sedikit biar lurus barisannya.”
Aku mendengar suara tersebut sangat jelas dan keras melalui sound system. Aku mencari-cari sumber suara tersebut. Kemudian aku melihatnya di lapangan, ada seseorang yang aku tidak tahu siapa. Mungkin protokoler, berdiri tegak di depan mikrofon menggunakan seragam berwarna hijau dan topi Polisi berwarna hitam. Dia tidak henti-hentinya bersuara, memerintahkan tiap pasukan peserta upacara untuk merapihkan barisan.
“Coba dari Kopassus geser ke kanan, per pleton tiga langkah, iya, iya, ke kiri lagi. Coba dihitung langkahnya jangan terlalu rapat, geser lagi. Iya bagus, terus agak ke kiri sedikit. Mana itu yang DP (Daerah Persiapan) Satu? Sssttt, Sersan Nino, Sersan Nino tolong diamankan. Tolong diperhatikan, DP 1 dan DP 2. Yang di utara tolong diperhatikan.”
Seperti itu lah yang diucapkan, sambil mencatat apa yang dia ucapkan, aku tertawa kecil karena bagiku perintahnya terdengar sangat lucu.
Kemudian aku mengelilingi Alun-alun Barat untuk mengetahui situasi. Ternyata jalannya ditutup dan angkutan umum harus memutar, tidak sesuai dengan yang diceritakan supir angkot yang aku wawancarai. Terdapat pula Polisi dan Satpol PP yang bertugas mentertibkan lalu lintas.
Dari kejauhan aku melihat banyak bapak-bapak memakai jas dan berdasi rapi, juga ibu-ibu berkebaya dengan rambut bersanggul. Mereka berjalan beriringan dari Gedung DPRD Serang menuju Alun-alun barat. Aku menuju pintu masuk Alun–alun untuk memotret mereka, kemudian aku menghampiri salah satu Polisi yang berada di jalan depan pintu masuk Alun-alun Barat bernama Bapak Sukrisman.
“Itu yang baru masuk siapa, Pak? Kok banyak amat?”
“Itu semua anggota dewan” Pak Sukrisman menjawab dengan singkat.
“Kalau yang duduk di pendopo Alun-alun Barat itu siapa saja, Pak?”
“Itu dari anggota dewan, instansi-instansi, dan tamu undangan. Kamu di dalam saja, nanti di sini ada yang lewat soalnya.”
Aku mengerutkan dahi tanda bingung, kemudian aku menjawab, “Siapa memangnya, Pak?”
“Bapak Bupati, makanya kamu di dalam saja ya.
Sambil mengucapkan terimakasih aku bergegas pergi, tidak menuruti apa yang disuruh bapak tadi melainkan kembali mengelilingi Alun-alun. Aku melihat mobil Polisi, mobil ambulance, mobil tentara, sampai ke mobil pemadam kebakaran beserta beberapa petugasnya. Tidak lama aku mendengar sirine polisi yang berbunyi sangat nyaring, aku langsung dapat menerka itu pasti Bupati yang sedang ditunggu-tunggu kedatangannya. Aku sering melihat hal tersebut di televisi, bagaimana Presiden dengan pengawalan yang ketat dan sterilisasi jalan, serta ‘dimeriahkan’ dengan bunyi sirine Polisi ketika beliau lewat, sama persis seperti yang aku lihat sekarang.
Aku bergabung dengan kerumunan pers dan fotografer yang sibuk mengambil gambar. Aku mengikuti jejak mereka sampai ke tengah lapangan dan berada sangat dekat dengan orang nomor satu di Kabupaten Serang. Aku agak canggung berada di sana karena wartawan yang lain berpenampilan sangat rapi, mengenakan kemeja dan sepatu, berbeda dengan aku yang mengenakan kaos dan sandal jepit. Aku tidak tahu apakah aku termasuk wartawan yang beretika atau tidak, karena aku belum mempelajari tentang Kode Etik Jurnalistik di kampusku.
Bapak Bupati, H.A Tufik Nuriman, berperan sebagai Inspektur Upacara. Setelah Komandan Upacara melakukan laporan bahwa upacara siap dilaksanakan, upacara pun dimulai.
Pasukan pengibar bendera (PASKIBRA) memasuki lapangan upacara. Aku dapat menilai barisan mereka sangat rapi, dan beriringan. Aku teringat masa-masa ketika aku masih menjadi Calon Paskibra (Capas), tiba-tiba aku jadi sangat merindukan saat saat itu. Pasukan Delapan yang berada paling depan langsung menuju ke depan Bupati. Putri yang memegang baki menghampiri Inspektur Upacara untuk meminta bendera. Setelah bendera didapat pasukan pengibar yang didampingi Pasukan Tujuh Belas dan Pasukan Empat Lima menghampiri tiang bendera.
“Dua kali belok kanan, gerak! Jalan di tempat, gerak! Siaaap, gerak! Buka formasi, mulai!“
Seperti itulah aba-aba yang diucapkan oleh Danton (Komandan Pleton) pasukan pengibar. Ketika bendera dibentangkan, sang pengibar pun berkata, “Bendera siap!”
Dengan sigap Komandan Upacara berkata “Kepada Bendera Merah Putih, hormaaaaat, gerak!”
Dengan aba-aba perintah terakhir secara serentak peserta upacara melakukan penghormatan, diiringi lantunan lagu Indonesia Raya yang sangat meriah oleh iringan Korsik (Korps musik). Setelah pengibaran bendera selesai, pasukan pengibar kembali ke Gedung Juang 45. Buru-buru aku berlari ke luar Alun-alun karena kerumunan wartawan pun satu-persatu menghilang. Di luar aku bertemu dengan rekanku, Wildan, yang memang sengaja menyusulku. Aku menyerahkan kamera dan menyuruhnya mengambil gambar, sedangkan aku kembali mencari informasi lainnya. Aku masuk ke dalam Gedung Juang 45 dan mewawancarai Bang Maman yang merupakan Paskibraka angkatan 2009. Banyak sekali yang aku tanyakan, mulai dari kualifikasi menjadi pasukan pengibar, dari sekolah mana saja para peserta seleksi, tempat karantina, teknifikasi latihan, fasilitas yang diberikan, sampai ke hambatan yang ditemui pada saat latihan.
Dia memaparkan secara panjang lebar, para peserta yang terdiri dari Paskibra sekolah se-Kabupaten Serang mengikuti tahap seleksi berupa tes psikotes, tes fisik, PBB, dan lain-lain. Mereka melakukan latihan sekitar dua bulan. Satu bulan pertama peserta latihan dengan intensitas tinggi namun pulang hari, dua minggu sebelum hari-H barulah mereka dikarantina, yang bertempat di Hotel Taman Sari, Serang.
“Sekolah yang menjadi perwakilan dari Serang bagian barat, yaitu Kramat, Fatahillah, Bojonegara, Anyer, Ulu Ampel. Sedangkan dari selatan adalah Baros, Ciomas, Petir, Tunjung Teja, dan dari timur adalah Ciruas. Pokoknya banyak Mbak, syaratnya harus tinggi, ya minimal 165 cm, badannya ramping, sama harus pintar PBB-nya,” jelas Bang Maman kepadaku.
Menurut Bang Maman, Bupati Serang (H.N Taufik Nuriman) pernah menemui mereka dalam rangka melakukan kunjungan beserta Menteri Pariwisata dan pejabat-pejabat lainnya.
Bang Maman juga menjelaskan tahapan untuk menjadi Paskibraka terdiri dari beberapa tahapan, pertama pengkaderan, yaitu penerimaan Capas (Calon Paskibra), dilanjutkan dengan Latgap (Latihan Gabungan) yang biasa dilakukan satu bulan sekali, lalu PUSDIKLATSAR (Pusat Latihan Pendidikan Dasar), setelah itu baru tahap seleksi.”
Setelah aku rasa informasi telah cukup, mataku kembali tertuju ke lapangan upacara. Tidak lama kemudian upacara selesai dan dimeriahkan oleh Padus (Paduan Suara) dari SMAN 1 Waringinkurung dengan menyanyikan lagu Hari Kemerdekaan.
Ternyata acara tidak sampai berakhir di sana, masih ada satu hiburan dari Kopassus Merpati Putih Banten sebagai acara penutup. Mereka melakukan atraksi mematahkan per, baja dragon, dan batako. Karena matahari rasanya sudah di atas kepala dan aku sedang berpuasa tanpa sahur, jadi aku dan Wildan memutuskan untuk segera kembali ke markas Komunitas Sebumi tercinta.
tulisan ke dua ^^,)/~
dalam kode etik jurnalistik rasanya tidak tercantum dilarang pakai kaos dan sendal jepit, dan kamu adalah seorang jurnalis yang hebat, Susa tanpa ‘H’. kumplit!
rasa enggan dikalahkan oleh kesadaran tanggung jawab menghasilkan tulisan yang bagus, ya?
Hebat Sussa,
Tulisanmu menarik…melihat sisi lain dari “upacara” kemerdekaan yang selalu sama. Saya sangat yakin kamu pasti jadi wartawati yang baik, lebih baik daripada kerumunan para jurnalis yang sering menunggu ‘jatah’ amplop dari para birokrat di daerah. Itulah kode etik yang selalu kamu jaga untuk tidak dilanggar. Bukan masalah pakaian.
Selamat…teruslah menulis.
Mantap Susa!!! Terus menulis..
hehhehe,,!
saya jadi iri -,-”
tapi saya tetap bangga !! 😀
hidup Paskibra ! HIDUP INDONESIA !! 😀
susa maju terus, q bisa belajar jadi jurnalis hebat kayak susa.susa.susa.susa.susa.susa.susa.susa.susa.susa.susa. maju terus.
k afiz aq butuh ilmu mu lbh banyak lg juga nuril orng hebat,aq jauh sekali dngnmu nur.
terimakasih semuanya…
sayang kaliannn^^,)/~ hehehe
ih makin gemes deh sama susa!!
maaf ya, hari itu gw lupa susa berpuasa tanpa sahur. tapi ga nyesel kan ke sana.. hidup susa suit..
gmn susa? udah tau pengertian jurnal, jurnalisme, jurnalis, dan jurnalistik belum???? Ntar malem kita diskusi ye..!
Woww..Susa bikin liputan tentang upacara bendera 17 Agustus ya? Interesting banget…Saya sendiri lupa kapan terakhir ngikutin upacara kaya gini..mungkin 25 tahun yang lalu..(bareng Mbak Otty yg adik kelas waktu di SMP I keknya). Seterusnya? Saya hampir lupa kalo ada upacara 17-an…sama lupanya dengan ingatan bahwa negara kita udah kehilangan Timor Timur, pulau Sipadan dan Ligitan…But eniwei saya setuju dengan kata-kata Bang Hafidz dan Mbak Ott yang sangat sangat yakin Susa bakal bisa jadi wartawati / jurnalis yang baik, hebat, lebih baik daripada kerumunan para jurnalis yang sering menunggu ‘jatah’ amplop dari para birokrat di daerah.
Tinggal diasah sedikit lagi…Susa niscaya bakal jadi wartawan investigative report yg mumpuni..yakin deh
@papap: makasi papap,,tar d kampus kasih ilmu yg banyak ya wat bekal di masa depan,hehe
@zikri:belum,,yg kmrn u ksih pke bhasa planet jd wa gga ngerti,ahhahaha
@ade:iri knapah dah>??
jangan lupa bila main di Kota Serang ada yg namanya makanan enak yaitu ES PISCOK EYANG SUBUR, harganya cuma Rp. 3000. letaknya di alun2 Kota serang dkt jembatan arah kaujon, Dpn SMA Infor Brimob, Dpn Harte Untirta Serang, Ciceri blkng Karefour dpn masjid, lampu merah terowongan terondol, rasanya nikmat tersedia Pisang, melon, pepaya, nangka, nanas. kalau ga nyoba rugi dech… ayo ajak teman2, biar ga penasaran dgn makanan ini, pasti ketagihan, ingat harganya murah cuma RP. 3000,- kalau mlm minggu banyak anak2 muda yg menikmati makan ini, ayo kita coba yuk