“Iye arek digusur“ (Ini mau gusur)
Hah!
“Ceunamah tahun dua rebu salapan – sapuluh,” (katanya sih tahun 2009 – 2010).
“ imah-imah arek diratakeun,” (Rumah semua akan diratakan).
“imahna si Dableng geh kan di sisi jalan,” (si Dableng juga rumahnya kan di pinggir jalan).
“etamah loba kanyahoan teuing,” (itu terlalu ketahuan).
“lain eta, coba beunerkeun,” (bukan itu, coba benarkan).
“embung,” (tidak!).
“arek digusur mah digusur bae,” (mau digusur, digusur saja).
“gusur-gusur kang.”
Kata-kata itu belakangan sering diperbincangkan masyarakat yang rata-rata tinggal disekitar saya. Tiga kampung, yaitu kampung Jeruk, Kampung Muara, dan Kebon Kelapa rencananya akan digusur guna dibangun Taman Kota. ‘aneh’ Kampung-kampung ini di pinggirnya berbatasan dengan sepanjang sungai Ciujung, datarannya naik turun dan memanjang, cocok sekali sebagai sebuah pemukiman.
“Piraku rek dijadikeun taman,“ (masa mau dijadikan taman).
Tiga kampung ini dilalui Jalan Kitarung, besarnya cukup untuk dua mobil berpapasan, beraspal, cukup bersih, dan lingkungannya sangat menyenangkan. Sepanjang kampung ini diiringi sungai Ciujung yang besar nilainya sebagai kebutuhan sehari-hari, ya baik sebagai tempat mencuci, mandi, mencari ikan, jalur transportasi sampai menjadi sebuah tempat sosialisasi antar warga. Rumah-rumah warga berdampingan cukup teratur, dari tepi sungai ke rumah masih berjarak 7 sampai 12 meter dan berpohon, jarak dan fungsi yang masih cukup ideal untuk pemukiman di pinggir sungai bagi saya. Begitu masuk kampung ini diri kita disambut oleh aktivitas kuliner mulai dari jajanan bakso sampai makanan utama. Indomaret di sebelah kiri kita, di depannya ada warung bakso dan nasi uduk. Jalan beberapa langkah kemudian ada mushola dengan penjual pulsa di sebelahnya, di depannya ada toko pengrajin bambu, setelahnya dimulailah rentetan rumah-rumah penduduk.
Nama Jalan Kitarung sendiri diambil dari legenda jawara dari daerah ini. Sebuah jalan yang pasti akan teringat terus, karena setiap pagi buta akan selalu keluar para penjual tahu yang biasa saya lihat di kereta Jabotabek atau di pasar. Mereka berteriak “tahu Sumedang!, tahu Sumedang!!” Entah apa mereka dapat lisensi dari Sumedang, atau mungkin tahu Sumedang sudah dibuat merek dagangnya, pastinya para pedagang itu berasal dari sini.
Pemandangan kembali terlihat menarik saat semua rombongan itu kembali tepat pukul 10.00 malam, kira-kira 15 orang atau lebih bersama-sama bercanda sambil membopong kereta tahu-nya. Hal yang terus kembali terjadi setiap harinya, ya mungkin nanti di 2009 atau 2010 mereka harus minggat ketempat lain untuk memulai aktifitasnya.
Hikayat Fuad “Obrolan alun-alun Lebak Kini”
Seperti pemuda Lebak lainya, nongkrong di alun-alun kota Lebak menjadi kebiasaan turun temurun bagi pemuda-pemudi Lebak. Alun-alun kota yang luas menjadi pemandangan mengasyikan memang. ‘Aku tidak tahu apa yang ada di kepala mereka’ kata yang kukutip dari film Suara Kota karya Syaiful Anwar. Dugaanku tujuannya hanya sekedar menikmati malam hari. Rutinitas malam hari di alun-alun berteman sepi aktivitas kota. Tepat pukul sepuluh malam, jalanan mulai sepi dari kendaraan hanya beberapa becak dan tukang ojek lalu-lalang mencari penumpang. Samar-samar terdengar obrolan di depan masjid Al-A’raaf. Suara itu terdengar dari sebelah kiri tempat yang kami duduki, tempat yang dulu bisa kami masih ingat, pohon asem ya, pohon asem, pohon yang mengelilingi jalan kota. Sekarang diisi oleh toilet mampet.
Tidak sengaja kami menoleh ke arah datangnya suara pembicaraan itu. Jelas terdengar, tiga lelaki muda asyik bicara, di bangku mobil plat A dengan nomor seri sedikit. Mobil itu satu-satunya yang bertahan hingga pukul satu pagi. Pintu mobilnya yang sedikit terbuka suaranya jelas tertera.
“Kamu sudah bekerja? Belum! Punya informasi kerjaan bos bagi dong? Sementara ini tidak ada! Oyah, bagaimana hasil tes PNS kemarin? Aku tidak diterima, padahal berkasnya sudah dititipkan. Oyah… bisakah kamu mengambil dokumentasi rapat dinas di gedung itu. Gedung yang mana? Di sekeliling sini semuanya banyak gedung. Ada gedung LP, rumah sakit, masjid, Bank, DPRD, Pendopo dan Pemda. Bisakah kamu besok mengambil dokumentasi. Aku sih mau saja, tapi di gedung mana? Gedung yang yang biasa dipakai pejabat Lebak bermusyawarah. Maksudmu Pendopo! bukan itu tetapi gedung DPRD gedung yang dulu bekas tempat Belanda makan bersama Bupati. Aku memang tidak banyak tahu tentang sejarah Lebak. Aku tidak membahas sejarah Lebak, tetapi setahuku gedung itu sudah ada sejak dulu. Bisakah kamu jelaskan sedikit membahas apa mereka nanti. Besok tanggal dua puluh enam, bulan lima, ada pembahasan pembangunan lebak dalam duapuluh tahun ke depan, mirip-mirip Repelita jaman Orba. Pembangunan yang diwacanakan mereka sebagai perubahan besar bagi daerah. Rencana itu melibatkan tokoh–tokoh penting, kemungkinan beberapa profesor sampai masyarakat dilibatkan penuh dalam pengujiannya. Kenapa rencana itu sampai di uji bukankah mereka juga orang yang belum teruji? Semuanya perlu di uji karena rencananya ada bangunan publik yang akan diubah fungsi, dan jalanan diperlebar. Gedung Lembaga Pemasyarakatan akan dipindahkan ke sebelah timur kota, rumah sakit akan diperbesar ke belakang (dulu rumah sakit itu pernah disebut-sebut bekas rumah Max Havelaar). Pemukiman depan makam pahlawan juga akan dijadikan perkantoran, dan daerah Kampung Jeruk, Kampung Muara sampai Kebon Kelapa akan dijadikan Taman Kota, ya taman kota. Daerah ini nantinya akan menjaring kaum pemilik uang untuk menyumbang modal buat usaha. Orang-orang itu akan mendirikan pabrik dan mengelola sumber daya alam di sini. Baiklah, besok kutunggu di pendopo, berpakaian rapih lebih baik karena acara itu dihadiri tokoh masyarakat Lebak. Tokoh yang akan memberikan harapan bagi generasi selanjutnya. Baiklah! Sebenarnya aku masih ingin bertanya lagi, jika kaum uang datang ke sini memberikan modal pada segelintir orang lebak, nanti aku jadi apanya?”
Cerita Si Rob
Ini kampung kelahiran saya, tempat yang nyaman dan tentram. Para pemuda di sini bersatu. Dulu sekitar tahun 1997 di sini merupakan Base Camp-nya musik underground se-Rangkasbitung, tempat musik keras buat anak muda. Di tiga kampung ini banyak cerita mistisnya, ya karena di kampung-kampung ini memiliki peraduan muara, sebuah tempat pertemuan dua sungai (sungai Ciberang dan Ciujung) dan juga ada sebuah kuburan yang cukup luas dan sedikit menyeramkan. Memang dulu di kampung Muara dan Kebon Kelapa banyak rumah di bantaran sungai, selalu banjir, bahkan sempat ada banjir besar yang bisa bikin terjebak satu kampung nggak bisa kemana-mana, ada 15 rumah hilang ditelan arus sungai. Banjir besar yang sangat parah.
Di sini asalkan mau, ladang pekerjaan sangat gampang, banyak pendatang pengangguran datang ke sini, ada usaha pabrik tahu, tempe, dan lainnya. Mayoritas penduduk di kampung Muara (satu dari tiga kampung) merupakan pendatang dari daerah Gajrug, Muncang, Nganceng dari daerah kecamatan Cimarga dan Sajira. Jalan Kitarung itu jalan utama dan buntu, di kelilingi sungai. Sungainya dulu luas, bisa bermain bola. Setiap acara ngeliwet merupakan hal yang paling gw inget, acara masak-masak di pos ronda. Silaturahmi setiap malam Minggu, atau malam Jumat nah pasti ada bacakan (masak-masak). Nah, kalo nanti jadi digusur semuanya bakal jadi kenangan yang cuma bisa diceritakan pada kedua anak saya.
rangkas ku, rangkas kamu, rangkas kita semua…
saya tertarik untuk berkontribusi, dll. Rangkasbingung ku yang gelisah …