Pemenang - Lombok Utara, NTB

Mengangsat

Beberapa warga mengunjungi pantai untuk kegiatan mengangsat dengan membawa ember dan pisau.
Avatar
Written by Muhammad Imran

Sudah satu tahun lamanya aku bekerja di sini, di sebuah gili (pulau kecil) ternama di tepian utara Pulau Lombok, yaitu Gili Meno. Gili Meno merupakan salah satu gili yang dipromosikan menjadi tujuan wisata dari tiga  gili yang ada di Lombok Utara. Dengan keramahan dan kekeluargaannya, aku merasa penduduk Gili Meno membuatku mudah mendekatkan diri dan berbaur  di tengah-tengah mereka. Tidak jarang aku ikut dengan warga dalam kegiatan-kegiatan mereka, seperti Mengangsat, salah satu pengalaman menarik untuk di ceritakan.

Beberapa warga mengunjungi pantai untuk kegiatan mengangsat dengan membawa ember dan pisau.

Mengangsat adalah salah satu kebiasaan masyarakat Gili Meno yang sekarang menjadi kebiasaan rutin yang dilakukan di pantai untuk mencari kerang atau siput, rumput laut, ikan dan berbagai macam makanan laut yang bisa dikonsumsi. Mengangsat bisa juga dilakukan pada malam hari dan kami biasa menyebutnya dengan istilah menyuluh.

Di saat-saat tertentu, air laut surut setinggi betis orang dewasa. Kesempatan ini biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat Gili Meno untuk menjalankan aktifitas mengangsat. Warga mulai berdatangan ke pesisir pantai dilengkapi dengan alat sederhana berupa ember (tempat untuk menaruh hasil carian) dan kayu atau benda tajam untuk mencongkel, memisahkan siput atau kerang yang menempel di batu atau karang. Mengangsat ini selain dilakukan sendiri-sendiri, ada juga yang datang bersama keluarga, teman, bahkan ada yang datang dengan pacar.

Keadaan air laut yang surut saat di mana kegiatan mengangsat akan segera dimulai.

Sore itu, aku baru saja selesai bekerja, dan seperti biasa aku duduk santai di sebuah pelangkan (tempat duduk sejenis berugaq yang berukuran 130cm x 180cm tanpa tiang penyangka atap). Ketika sedang asyik melepas lelah, terdengar handphone-ku berdering. Aku segera merogoh saku celanaku, “Oh… Suldin,” bisikku dalam hati. Ia salah seorang tetangga yang rumahnya tak jauh dari kantor tempatku bekerja. Tapi bagiku Suldin (akrab kami panggil Cung) tidak hanya sekedar tetangga, aku sudah menganggapnya seperti saudara sendiri. Setiap malam aku habiskan waktuku di rumahnya ngobrol dan kadang membuat karya-karya kriya.

Dengan tersenyum aku menjawab telponnya :

Cung         : “Hallo… Assalamu’alaikum, Bro!”

Aku            : “Wa’alaikum salam brother… napi arak?” (Wa’alaikum salam saudaraku… ada apa?)

Cung         : “Ita lalo mengangsat, teh?” (Kita pergi mengangsat, yuk?)

Aku            : ”Teh…! trus mbe kon epe nengka cia?” (Ayo, terus kamu sekarang lagi di mana?)

Cung         : “Ni lek bale, ite lai ku anti.” (Di rumah, ayo kesini kutunggu.)

Aku            : “Enggih, anti wah ciang ciak. Ciang lampak wah ni.” (Ya, tunggu sudah di sana. Saya jalan)

Cung         : “Aok gelis!” (Ok, cepetan!)

Aku            : “Ok…”

Sampai di rumah Cung, kami mempersiapkan segala sesuatunya dan langsung berangkat ke pantai. Canda-tawa pun mengisi percakapan kami selama perjalanan. Rumah Cung tidak begitu jauh dari pantai dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki yang menelan waktu hanya beberapa menit saja.

Semakin sore suasana pantai semakin ramai.

Angin pantai mulai menyapa kulit kusamku, ranum senyum kami seperti mendengar sapa ikan-ikan. Aku kaget, ternyata pantai sudah ramai oleh warga. “Wah, pesta sudah mulai, Bro,” kataku pada Cung yang mempercepat jalannya, “Ka angkak becat,” (Ayo makanya cepat) teriak Cung sambil menarik tanganku, tidak mau ketingalan oleh warga lainnya yang sudah datang terlebih dahulu. Aku pun mulai membungkuk dengan pandangan fokus ke dasar laut. “Masa dek ku mauq?” (Masa saya tidak dapat?) pikirku. Di antara sela-sela batu dan karang aku mengintip, sesekali melerai bebatuan, rumput atau karang yang menghalangi penglihatanku. Tak terasa satu jam lamanya kumencari, tapi tak satupun kudapat. “Cung kumbe seh tan ta meta sisok? Sengak leq toneq deq ku man mauq ni. Deq tiang tao bedayang mbe sisok kanca rumput laut,” (Cung, bagaimana cara kita mencari siput? Soalnya dari tadi aku belum dapat. Saya tidak bisa membedakan mana siput dan mana rumput laut) tuturku ke Cung sambil cengengesan. Cung sambil tertawa menjawab, “Masak leq toneq deq dik man mauq?” (Masa dari tadi kamu belum dapat?) Dengan wajah tersipu, “Enggih, dekman tiang mauq apa-apa.” (Ya, aku belum dapat apa-apa). “Pokok a terus wan membungkuk, laun terbiasan dik bedayang mbe sisok kanca rumput, mbe kerang kanca mbe karang.”  (Ya sudah terus saja membungkuk, nanti kamu akan terbiasa dan kamu pasti bias membedakan mana siput dan mana rumput, mana kerang dan karang).

Beberapa jenis tangkapan yang didapat ketika mengangsat diantaranya kerang, siput, kepiting dan ikan kecil.

Kemudian aku diajak terus berjalan ke tengah untuk mencari siput atau kerang yang lebih besar. Tentunya untuk mendapatkan siput atau kerang yang besar resikonya juga besar, Coy! Yaitu kita harus mencongkel bebatuan-bebatuan besar dan yang kita tahu bebatuan itu sebagai pemecah gelombang. alhasil kita dapat siput yang besar dan kita juga merusak karang,selain itu abrasi pun mengancam. Kami terus membungkuk sambil berjalan menjauhi bibir pantai. Untuk mendekati perbatasan antara perairan dangkal dan perairan yang agak dalam. Kami menyebutnya “selang”, yang jaraknya -+ 50m-100m dari bibir pantai . Di  “selang” itulah tempat bersarangnya kerang dan ikan yang terperangkap bebatuan atau karang  sebagai pemecah gelombang tersebut. Karna hal itu aku menghentikan pencarianku.

Kegiatan mengangsat tidak hanya dinikmati oleh ibu-ibu dan anak-anak, namun juga bapak-bapak.

Setelah mengangsat, aku jadi bertanya tentang laut, pantai dan karang kepada Cung karna kebetulan Cung adalah salah satu karyawan perusahaan diving di Gili Meno. Cung pun memberitahuku tentang banyak hal, salah satunya adalah  tentang pertumbuhan karang yang sangat lamban, kurang lebih 2,5cm-25cm/tahun. Tidak jarang keindahan terumbu karang sebagai  rumah ikan-ikan jadi sasaran para pencari siput, dan ada pula yang secara tidak sengaja menginjak dan merusak terumbu karang oleh para pencari siput. Aku yakin sebagian masyarakat sadar akan hal itu tapi masyarakat  acuh tak acuh untuk menangapi. Apalagi ‘mengangsat’  sudah mengakar dan menjadi tradisi masyarakat pulau seperti di Gili Meno ini. Jika dihitung secara ekonomis, ‘mengangsat’ tidak menjanjikan apa-apa.

Seorang ibu yang ikut mengangsat meski dalam keadaan hamil.

Jika kita melihat kondisi saat sekarang ini di Gili meno, bibir pantai sudah mulai terkikis. Badan jalan yang mengitari Gili Meno setengahnya sudah ambruk karena ombak. Apalagi beberapa isu yang berkembang dari beberapa temanku yang kuliah di Jurusan Perikanan Universitas Mataram, Gili Meno di Prediksi dalam jangka 100 tahun ini akan hilang dari peta. Namun jika kondisi seperti ini tidak segera diantisipasi, mungkin prediksi tersebut bisa kurang dari 100 tahun. Jika Masyarakat Gili Meno hanya memikirkan kepuasan sesaat,  asyik dengan tradisi yang mengakar tersebut dan tidak memikirkan masa depan anak-cucunya, maka tamatlah riwayatnya.

Tentunya semua orang berhak mencari nafkah dari laut, sebab alam ini memberikan laut sebagai sumber kehidupan kita. Namun, pertanyaannya, apa yang selama ini kita berikan kepada laut?

Hari sudah terasa gelap, matahari pun perlahan-lahan tengelam meninggalkan hari yang memilukan bagiku. Kami pun beranjak untuk pulang, air laut akan segera pasang.

Suara debur ombak terus menerus mengganggu pendengaranku, membisikan ancaman bagiku dan pulauku. Seandainya batu dan karang bisa bicara.

About the author

Avatar

Muhammad Imran

Muhammad Imran, menyelesaikan sekolah di SMK 2 Kuripan, Kabupaten Lombok Barat, Jurusan Otomotif. Kini, ia bekerja di Perusahan Listrik Negara Cab. Tanjung dan diposisikan di Gili Meno, Desa Gili Indah, Kabupaten Lombok Utara. Pria yang lahir tanggal 9 oktober 1986 ini juga menyukai kriya dan video. Hal ini kemudian membawanya bergabung di Komunitas pasirputih, dan dipercayakan sebagai anggota Divisi Dokumentasi.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.