Jurnal Kecamatan: Rangkasbitung Kota/Kabupaten: Lebak Provinsi: Banten

Arsip Citra Bergerak Lahir, tapi…

Avatar
Written by Fuad Fauji
Penelusuran kecil
Studio foto menyatu dengan rumah (sekarang disebut Ruko, Rumah Toko) bernama Bantam. Bangunan studio foto yang sederhana itu berdekatan dengan pintu kereta api menuju pasar dan stasiun kereta. Pada tahun 1989, di depannya terdapat bangun pabrik minyak kelapa milik orang Belanda. Saya pertama kali mengenal tempat itu pada usia 7 tahun. Di Rangkasbitung, hanya ada dua studio foto besar yang banyak dikunjungi warga, “Libra” dan “Bantam”. Kedua studio foto itu milik perseorangan. Ada semacam kebiasaan keluarga melakukan foto bersama. Waktu terus berlalu. Studio Bantam saya kunjungi lagi pada saat usia saya menginjak 17 tahun. Saya sudah di bangku SMA kelas satu. Saya tidak mengira akan kembali masuk studio foto itu lagi. Mampir ke studio Bantam hanya bermain musik saja. Sebelum sampai dalam ruang studio foto, saya melihat banyak foto-foto orang penting dengan warna hitam putih. Posisinya berada di luar ruangan tambahan khusus untuk alat-alat musik.Hanya sebatas itu saja ingatan saya tentang tempat di mana “Sang Arsip” mulai dewasa. Kini, studio tersebut sudah berubah menjadi toko kelontong milik orang keturunan Tionghoa.

Wawancara Forum Lenteng (Hafiz, Fuad Fauji, dan Bagasworo ‘Komeng’ Aryaningtyas) kepada Misbach Yusa Biran, untuk produksi film Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip).

Saat saya masuk sekolah tingkat pertama, tahun 1980-an, saya rajin mengunjungi sebuah tempat penyewaan komik. Penunggunya adalah seorang ibu tua. Tempat itu berada di Jalan Sunan Kalijaga, berdekatan dengan bangunan gereja. Nama daerahnya adalah Lebak Pasar. Setiap harinya, ibu itu duduk menunggu di sebuah ruangan kecil yang dipenuhi buku-buku komik dari berbagai belahan negara di dunia. Komik-komik tua itu jadi buruan remaja di Rangkasbitung saat itu. Saya masih belum tahu persis apakah si ibu tua itu ibunya Pak Misbach. Akan tetapi, belakangan beliau seolah membenarkan dugaan saya ketika bercerita tentang ibunya yang pernah membuka usaha sewa buku komik beragam dalam  masa-masa sulit hidupnya.

Sebuah pohon rindang, yang tingginya tak seberapa dan sering dijadikan tempat beristirahat “Sang Arsip” kala melepas lelah, masih saya jumpai pada tahun 1990-an. Lantas, saya mulai menelusuri lokasi-lokasi yang tercatat dalam buku harian saya; tempat-tempat awal mula perkenalan saya dengan Pak Misbach di tahun 2010.Tempat di mana “Sang Arsip” kecil bermain pada jaman Jepang masuk ke Lebak. Misbach Yusa Biran yang sederhana lahir pada saat negara ini sedang dalam masa gejolak. Orang-orang Rangkasbitung kini tidak bisa menghindar dari terik panasnya kota itu, yang menurut Pak Misbach, di tahun 1940-an sangatlah rindang.

Di kursi kayu depan rumahnya, kami memiliki suasana hati yang lebih fokus pada diri sendiri dan cerita yang berbeda jaman. Saya hanya memiliki ruang pandangan masa lalu yang terputus-putus, sedangkan Pak Misbach, lebih jauh lagi, beliau mengenal masa lalu dan masa sekarang. Kisahnya bagaikan lapisan buku tebal yang tak habis-habisnya untuk dibaca. Pak Misbach mendefinisikan dirinya sebagai ruang masa, sebuah ruang berpintu waktu yang bisa memperlihatkan keadaan isi rumah yang sebenarnya. Sedemikian hingga setiap kali saya bertemu di kediamannya, sering kali pula saya bertanya tentang situasi pada masa lalu untuk jadi bahan pelajaran. Pembicaraan mengenai Lebak tidak hanya dijadikan sebagai cara melihat bagaimana generasinya mendapat pengaruh filem bioskop yang hebat, tetapi lebih pada cerita masa lalu yang bergairah. Cerita lisan itu menjadi subjek yang sifatnya tinggi. Sebab, cerita keluar dari gagasan sang tokoh yang melihat peluang citra bergerak merupakan bentuk baru, yang ciri khasnya melekat pada masyarakat masa kini, dan di dalamnya tercermin bagian yang penting dan makin besar dari kebudayaan kontemporer.

Di Rangkasbitung, sepeda adalah barang yang sangat mewah dan jarang dimiliki warga biasa. Hanya orang-orang tertentu sajalah yang memilikinya. Kelak, ceritanya akan berputar ke dalam tahap awal dari suatu pertemuan penting dengan gerombolan pemuda terdidik lainnya dari Rangkasbitung. Orang-orang Jepang yang melakukan pemutaran film ke daerah-daerah di Lebak pelan-pelan mulai mengendus munculnya “Sang Arsip”. “Sang Arsip” kecil memperhatikan tiap peristiwa warga Rangkasbitung yang harus membungkuk kalau melintasi perumahan orang-orang kaya dan lembaga pemerintahan. Kelak, dia akan berpikir brilian dan menceritakan pada generasi selanjutnya bahwa ‘arsip citra bergerak’ merupakan sarana fundamental untuk merekam peristiwa yang sedang berlangsung, dan dengan demikian merupakan alat kesaksian penting yang unik dari suatu dimensi baru tentang sejarah, cara hidup, dan kebudayaan bangsa serta evolusi sosial. Arsip ini perannya semakin penting sebagai sarana komunikasi dan saling pengertian di antara bangsa-bangsa di dunia.

Kerja otak tiap detik di kepalanya adalah kiasan yang dijiwai dengan gerak isyarat bahwa ia tidak mau berdiam diri melihat bangsanya semakin tertinggal. Ia kembali maju dalam angin optimisme ketika baru selesai berobat dari Cina. Ketika membicarakan pentingnya arsip di depan saya yang kecil, entah kenapa, saya malah kembali merasa tidak sabar mau mendengar apa pandangannya mengenai sifat wujud bahan yang ia pertahankan di Sinematek?

Pak Misbach memiliki pertimbangan bahwa, karena sifat wujud bahan dan karena berbagai cara pengelolaannya telah ia mulai, arsip citra bergerak itu amat mudah rusak. Oleh karena itu harus dipelihara dalam keadaan teknis yang khusus oleh orang khusus. Tapi siapa? Dia menerima banyak lamaran dari para pemuda yang baru mendapat gelar sarjana. Semakin banyak orang-orang yang mau bekerja, semakin risihlah dia. Sebab, di kepala mereka, yang terbayang hanyalah kerja biasa. Begitu mendapat upah, lalu selesai. Selanjutnya, beliau memperhatikan bahwa banyak bahan warisan citra bergerak telah lenyap, disebabkan kerusakan, musibah atau dibuang tanpa perasaan tanggung jawab yang semuanya menyebabkan kemiskinan warisan yang tak dapat diperbaiki lagi.

Pagi tanggal 19 Januari 2012 pagi hari, saya dan beliau kembali memperbincangkan apa yang mungkin bisa saya lakukan di Banten. Pak Misbach berhenti di lorong pintu rumah, seperti sedang berurusan dengan ketakutannya sendiri, lalu berkata, “Terpikir oleh saya untuk membubarkannya!”  Sinematek sekarang hanya jadi ritual objek yang memberikan kekuatan gaib bagi generasi muda sekarang. Ketika itu beliau meminta saya untuk tetap duduk dan bermaksud memanggil pembantu rumah untuk membuatkan teh. Dari sanalah saya diminta untuk mau mendengarkan ceritanya.

Kini, negara perlu mengambil tindakan pelengkap yang sesuai guna menjamin pengamanan dan pemeliharaan bagian warisan kebudayaan yang amat rapuh untuk masa depan. Seperti pula halnya dengan bentuk benda kebudayaan lainya, yang diamankan dan dipelihara sebagai sumber yang memperkaya generasi sekarang dan yang akan datang. Semua negara berhak mengambil tindakan yang diperlukan guna mengamankan dan memelihara citra bergerak. Aspek sejarah dan kebudayaan yang penting-penting di negara-negara, terutama negara-negara kita yang pernah dijajah. Bangsa ini terekam dalam bentuk citra bergerak yang tidak senantiasa mudah diambil oleh bangsanya.

Misbach tua, yang tidak bisa melakukan apa-apa di tempat kediamannya, dalam keadaan pasrah melihat Sinematek terjebak dalam lingkaran kepentingan semu. Sementara itu, para cukong film duduk di sisi lain, sedang pura-pura berjuang untuk menahan orang-orang yang di depan layar yang sudah geram dengan keadaan arsip film sinematek. Adegan itu terjadi di masa saya baru mengenal sosok Misbach, hampir satu abad lamanya baru dipertemukan.

Ia turunkan kedua lututnya, mengernyit, dan berbalik ke lapisan pembicaraan sejarah dalam lisan. Produksi sinematografi , seperti film cerita, film pendek, film ilmu pengetahuan populer, film berita dan film dokumenter, film animasi dan film pendidikan, produksi televisi, yang dibuat oleh atau untuk organisasi siaran, produksi videografi, telah tidak jelas bentuknya: penuh kristal (sejenis jamur pada seluloid). Padahal, perlindungan tentang benda kebudayaan yang dapat dipindah-pindahkan dan teristimewa itu dapat dilakukan dengan mudah, mengingat dana bermilyar-milyar rupiah banyak dikentit para pejabat pemerintah. Seharusnya, semua produksi citra bergerak harus dianggap oleh negara ini sebagai bagian integral; warisan gambar bergerak. Andaikata warisan ini tidak mungkin diturunkan dalam keseluruhannya kepada generasi mendatang karena sebab teknis atau finansial, sejauh mungkin sebagian besar perlu diamankan dan dipelihara dengan cara apapun. Yang jelas, tindakanya harus sepadan dan perlu diambil guna menjamin warisan citra bergerak mendapat perlindungan fisik yang baik dan selamat dari kebinasaan yang disebabkan oleh waktu dan lingkungan.

Pak Misbach sadar diri dan tetap memegang posisinya sebagai orang yang bersifat keras kepala. Sebuah angan-angan kebanggaan yang sedang berjuang untuk mendamaikan dirinya kepada orang-orang setelahnya agar hidup sebagai sebuah masyarakat yang merdeka.

“Saya tidak membuat sinematek yang ideal, yang nyaman, yang tahan lama, karena situasi pada waktu itu tidak memungkinkan.” Untuk membuat segala kemungkinan menuju ke arah yang lebih baik perlu resiko. Keadaan penyimpanan yang kurang memadai, mempercepat proses kerusakan yang menimpa bahan-bahan tersebut  terus-menerus, dan yang mungkin menyebabkan kemusnahan total.

Maka, citra-citra bergerak perlu dipelihara dalam arsip film dan televisi yang diakui secara resmi dan diproses menurut standar kearifan yang paling utama. Selanjutnya, perlu diadakan penelitian kearah pengembangan saran pembantu yang berkualitas tinggi dan kekal, guna menanamkan dan memelihara citra bergerak secara baik. Karena itu, sarana perlu diciptakan. Tempat bahan pre-print atau copy yang bernilai arsip citra bergerak dapat diperoleh, diamankan, dan dipelihara secara sistematis dalam arsip lembaga umum atau swasta yang tidak mencari keuntungan seperti tikus-tikus kantor. Dalam jangka pendek, jelas tidak menguntungkan, tetapi saya menjamin bahwa masa depan akan datang di depan kita, dan situasinya akan lain.

Di dalam sebuah film tidak ada hal yang tidak masuk akal. Film akan selalu dibuat menjadi sebuah pusat logika bergerak; ini adalah tentang pemetaan yang berkaitan dengan semua pikiran manusia, tidak peduli seberapa kecil atau yang tampak signifikan dalam kenyataan. Kadang, pikiran jatuh di dalam ruang lingkup situasi tidak menentu dalam kebudayaan kita. Pak Misbach dapat menjadi pahlawan dalam drama kura-kura, tetapi dalam perjalanan, dia akan dapat dilihat dari banyak sudut, dan sebagian besar dari kedua hal itu akan lenyap dari pandangan generasi anak bangsa ini sama sekali. Ia telah melakukan rencana besar untuk merebut kendali pengetahuan dalam film, arsip.

Seperti para pencuri, yang telah berencana besar untuk melakukan sebuah kejahatan yang sempurna yang selalu mendapatkan nilai yang tepat, sebenarnya tidak ada yang tidak mungkin, yang menjadikan beliau sebagai pahlawan.

Setelah menyelesaikan perjalanannya di Belanda, beliau sengaja berkeliling Eropa dan Amerika untuk melihat seberapa majukah mereka. Seorang pahlawan kelas terdidik dari Rangkasbitung, yang hampir tidak bisa menahan diri dan membuat dingin untuk menyimpan ribuan citra bergerak sebagai pengejawantahan identitas kebudayaan bangsanya. Beliau menganggap itu bernilai untuk pendidikan, kebudayaan, artistik, ilmu pengetahuan dan sejarah, bagian yang tak terpisahkan dari warisan kebudayaan suatu bangsa.

Kita bahkan mungkin ingin membawanya ke pusat pengetahuan untuk orang-orang yang bijaksana yang kadang kadang nyaris tak terlihat kebijaksanaanya; itu adalah dia, semua, siapa-siapa yang akan memberi tahu beliau dari awal, bahwa para pekerja Sinematek yang bersahaja itu lolos dari bujukan moral yang mengarahkan pada hidupnya yang, tentu saja, tindakan gegabah.

Komunikasi dengan dunia luar amat sangat penting, apa lagi bagi suku terasing. Tapi jangan lalu jadi minder karena orang sudah sangat maju. Segera ambil apa yang bisa kita lakukan.[H.MYB 1-19-12]

 

___
Tulisan ini telah dimuat di katalog pemutaran film feature dokumenter ‘Anak Sabiran, di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip)’.

About the author

Avatar

Fuad Fauji

Dilahirkan di Lebak, 10 Maret 1983. Fuad Fauji menetap di Forum Lenteng Jakarta sebagai periset dan penulis seni rupa. Tahun 2005 ia dan kawan-kawan lainnya terlibat mendirikan komunitas Saidjah. Kerja video pertamanya adalah “Saidjah Project”, 2005. Pada tahun 2007 akhir, ia mendapatkan gelar S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, konsentrasi Jurnalistik. Film fiksi pertamanya “Maria”, hasil project workshop Cerpen ke Filem yang diadakan Forum Lenteng, 2008. Dia dibesarkan oleh keluarga yang sederhana. Kedua orang tuanya petani musiman di Leuwidamar. Kadang bertani kadang tidak. Ayahnya telah meninggal bersamaan dengan kerja residensi pertamanya di Tanjung Priuk tahun 2009. Terlibat dalam produksi teks dan video dokumenter di akumassa. Sejak tahun 2010 hingga sekarang ia bekerja dengan Dewan Kesenian Jakarta sebagai peneliti kritik seni rupa Indonesia. Bersama program akumassa dan Saidjah Forum, karya-karyanya telah diputar di berbagai perhelatan filem dan seni rupa, antara lain; Festival Film Dokumenter ke-9 (2009); The Loss of The Real, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung (2010); Decompression #10, Expanding Space and Public, ruangrupa, Galeri Nasional Indonesia – Jakarta (2010); The Decade of Reformation: Indonesian Film/Video, Artsonje Arthall, Korea Selatan; 24 Edition Images Festival, Toronto Free Gallery, Kanada; Selametan Digital, Langgeng Art Foundation, Yogyakarta (2011); Entre Utopia y Distopia-Palestra Asia di Museo Universitario Arte Contemporaneo, Meksiko (2011).

2 Comments

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.