Kontribusi Tangerang, Banten

Pantai Sampah Tanjung Burung: Episode yang Kian Genting (II)

Hamparan pantai sampah Tanjung Burung.
Avatar
Written by Renal Rinoza

Malam semakin larut. Obrolan malam kami masih terus berlanjut, apalagi dengan kedatangan Pak Guntur. Karena kami belum kenal dengan Pak Guntur, Yudi, kawan kami, memperkenalkan Pak Guntur kepada kami dan juga menjelaskan beberapa patah kata maksud dan tujuan kami ke sini. Sedangkan Pak Hasan Basri beranjak untuk menyiapkan kami kopi untuk menambah semarak obrolan. Ya, Pak Guntur orangnya begitu ekspresif dan supel sekali. Langsung saja antara kami dan beliau begitu cair dan serasa sudah kenal lama. Hemat saya, Pak Guntur punya kemampuan public speaking yang baik. Beliau piawai dalam berkomunikasi kepada lawan bicaranya.

Pak Guntur sedang berdiskusi dengan kami.

Dengan gegap gempita Pak Guntur mengutarakan perihal apa yang ia kerjakan selama ini dengan aksi penanaman pohon mangrove, meskipun banyak kendala yang ia hadapi. Langsung saja beliau memvonis, “soal lingkungan, mana ada pemerintah peduli. Lihat limbah-limbah yang meracuni Sungai Cisadane”. Hematku, bukan maksud Pak Guntur memvonis pemerintah tidak peduli, ini merupakan ekspresi kekecewaannya kepada pemerintah yang kurang responsif soal pelestarian lingkungan di desanya yang sudah sedemikan parah. Ia menggugah kami dengan mengajak kami dengan menengok persoalan pesisir, lihatlah secara integral dengan memperhatikan daerah hulu dan tengah Sungai Cisadane. Semuanya sudah jadi beton dan industrialisasi. Beliau menjemput harapan dengan potensi anak muda, khususnya mahasiswa, untuk perlu banyak bergaul, karena ditangan anak mudalah bisa diajak untuk merubah keadaan dengan hatinya. Pak Guntur dengan yakin mengatakan, bahwa bagi orang kampung seperti saya mahasiswa itu jadi andalan, namun belakangan image mahasiswa memudar karena perilaku-perilaku negatif mahasiswa.

Seorang teman sedang berada di sisi timur pantai Tanjung Burung yang masih tersisa pohon mangrove.

Layaknya orator ulung, Pak Guntur mempertanyakan kembali apa itu tujuan pembangunan. Pertanyaan itu beliau hidangkan kepada kami. Tentulah di antara kami saling berpandang-pandangan dan bengong, karena masih belum begitu mengetahui secara penuh duduk persoalannya. Lain halnya dengan Yudi, kawan kami yang tertawa kecil. Pak Hasan Basri menimpali pernyataan Pak Guntur, seakan-akan mengafirmasi sikap politiknya, “hakekat pembangunan itu rasanya tidak ada lagi, dan yang ada adalah nafsu mengumbar keserakahan.” Pak Guntur yang pernyataannya sering aku jadikan kutipan, beliau begitu bersemangat berbicara soal lingkungan hidup, apalagi adanya mahasiswa yang di benaknya masih bisa diajak untuk berbuat yang lebih baik untuk perubahan, pikirku demikian.

Sempadan Sungai Cisadane.

“Lingkungan hidup dan arah pembangunan nasional yang melenceng dari hakekat pancasila,” begitulah ia mendedahkan amatannya tentang dampak pembangunan bagi kehidupan masyarakat desa pesisir Tanjung Burung yang sudah kronis. Ya, apatisme dan pragmatisme masyarakat itu sendiri, adalah konsekuensi logis dari apa yang digugat oleh Pak Guntur. Lanjut Pak Guntur seakan menghipnotis kami berkata, “pembangunan yang besar-besaran, khususnya property, berdampak kepada daerah hilir (Sungai Cisadane), seperti daerah Teluk Naga. Izin Pembangunan harus integral.” Maksud beliau, izin pembangunan selama ini berada di Pemerintah Daerah, dan sering tumpang tindih antar Pemerintah Daerah, seperti kasus Sungai Cisadane. Dampak kerusakan ekologi yang dirasakan, seperti di daerah pesisir adalah akibat dari kebijakan dan izin pembangunan di kawasan hulu dan tengah yang tidak sinergis dan integral.

Kawasan pesisir memang kerap terkena dampak yang menyusahkan, seperti luapan banjir dan sampah-sampah yang menumpuk ribuan kubik. Rasa menelan kekecewaan, ia utarakan dengan pernyataan, “miniatur bangsa ini jangan dibilang baik klo desa-desanya tidak baik (kondisinya).” Persoalan ini hematnya disebabkan sistem birokrasi kita yang berangkat dari tiga pilar yakni kompetisi, promosi dan materialistis. Ditambah saluran untuk menyuarakan kepada wakil rakyat kian sempit. Pak Guntur dengan pengalamannya berkata, “kesempatan kita berbicara itu sempit, ruang-ruang di dewan (DPRD) sangat terbatas,” layaknya dosen ilmu komunikasi ia menandaskan, “ruang-ruang dialog itu penting dari hati ke hati, makanya perlu dibuka pintu komunikasi melalui dialog.”

Soal Mangrove, ada harapan dan pesimisme. Baginya mangrove itu pohon sederhana dan penting karena dapat menyerap dan menetralisir zat-zat yang tidak baik. Kendala utamanya, kurangnya respons dari masyarakat, Pak Guntur berharap adanya kebijakan yang utuh dari Pemerintah Daerah. Contohnya kebijakan mengenai lahan penanaman mangrove yang kian terbatas, perlu usaha pemerintah untuk me-ruislag (tukar lahan) yang saat ini banyak dijadikan kolam tambak milik perseorangan.

Pak Guntur menguraikan persoalan penanaman mangrove di Tanjung Burung dari kurangnya respons masyarakat, terutama disebabkan kegagalan komunikasi antara pemerintah, pengusaha dan masyarakat. Ruang-ruang komunikasi perlu dibangun, sehingga antar pihak dapat saling pengertian. Pada tahun 2010, melalui agenda kegiatan solidaritas istri-istri menteri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB), di Tanjung Pasir diadakan penanaman mangrove secara seremonial, dan dari situlah Pak Guntur mendapat Rp. 50 juta untuk persemaian Kebun Bibit Rakyat (KBR), untuk menanam pohon mangrove.

Program Kebun Bibit Rakyat merupakan program pemerintah untuk menyediakan bibit pohon yang akan dijadikan tanaman penghijauan, dan rehabilitasi lahan kritis, termasuk penyemaian bibit mangrove untuk merehabilitasi kawasan pantai Tanjung Burung dan muara Sungai Cisadane. Pak Guntur menerangkan kepada kami, ada tiga kelompok konservasi alam di Kabupaten Tangerang yang mendapat bantuan program Kebun Bibit Rakyat (KBR), yakni Kelompok Tanjung Burung yang ia pimpin, kelompok Cibogoh, Cisauk, dan Kelompok Cisoka. Dalam perjalanannya, program Kebun Bibit Rakyat (KBR) di tahun 2013 ini, ada dua desa di Kecamatan Teluk Naga yang mendapatkan pembinaan program ini, seperti desa Bojong Renget dan desa Kebon Cau. Posisi Pak Guntur dalam program ini sebagai fasilitator tidak resmi, sambil tertawa ia menjelaskannya kepada kami.

Disamping itu, ia mendapatkan sekitar 3.150 bibit mangrove untuk Program Desa Pesisir Tangguh (PDPT) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yang akan disemai di media tumbuhnya. Namun persoalannya masih ada potensi konflik lahan, mengingat lahan untuk penyemaian bibit mangrove sebagian besar sudah di kavling, dimana status kepemilikan lahan yang sebagian besar adalah kolam tambak berstatus sengketa. Artinya, kepemilikannya masih ‘remang-remang’, soalnya dulu milik orang asli sini, tetapi kemudian diserahkan ke pihak pengusaha, dan kemudian warga lokal mencoba untuk menuntut kembali haknya atas lahan tersebut. Tetapi sayangnya lahan tersebut sudah diklaim milik pengusaha di Jakarta.

Muara Sungai Cisadane yang menuju laut lepas.

Berbicara soal reklamasi pantai utara Tangerang, Pak Guntur mengatakan kepada kami bahwa jangan tanya setuju dan nggak  setuju soal reklamasi, tapi kita yang di pesisir nggak begitu merespon. Nah, cara memahami itulah yang jadi masalah, harusnya dikasih pengertian tentang reklamasi, kenapa muncul ide reklamasi di saat orang sudah mulai susah nangkep ikan. Soal limbah, Pak Guntur memberikan ilustrasi yang menarik, dimana baginya limbah-limbah industri merusak dan mencemari sungai serta ekosistemnya. Berbeda dengan 20-30 tahun lalu, limbah yang masuk dalam kategori limbah organik sangat berguna untuk kesuburan tanah, seperti waktu dulu orang sering dolbon (modol dikebon) atau buang air besar di kebun atau semak-semak. Manfaat dolbon bagi ekosistem sangat berguna, karena bagus untuk kesuburan tanah dan tumbuh-tumbuhan, untuk menghasilkan apa yang kita inginkan, seperti buahnya. Kenang Pak Guntur.

Pak Guntur sedang memandangi sisi barat muara Sungai Cisadane.

Sekali lagi, Pak Guntur mengafirmasi sikap politiknya, bahwasanya dirinya adalah korban bencana ekologi. Dahulu begitu melimpah hasil alam, seperti ikan, udang, dan sebagainya. Namun kini, sejak terjadinya pencemaran air di sungai dan laut, sudah susah mendapatkan seperti dulu lagi. Belum lagi sedimentasi (pengendapan) muara Sungai Cisadane, membawa lumpur beserta limbah dan sampah yang menumpuk sepanjang muara sungai, hingga sekitar pantai Tanjung Burung penuh dengan ribuan kubik sampah. Sesal Pak Guntur usaha yang ia lakukan belum maksimal, karena kurangnya pemahaman warga terhadap persoalan lingkungan hidup, katanya “jujur saya jauh dari berhasil merekrut orang banyak, karena masyarakat berpikir terlalu materialistis dan nggak peduli.” Namun usahanya untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat, telah ia lakukan dengan melibatkan warga yang masih peduli lingkungan, salah satu contohnya, ia dibantu oleh beberapa warga untuk tetap menanam dan melestarikan pohon mangrove, dan aku pun menyaksikan pohon mangrove yang ia tanam di dekat muara Sungai Cisadane dan pantai Tanjung Burung. Percakapan tak sampai disitus aja, ia menyinggung soal pembangunan turab (dinding penyangga) di bantaran Sungai Cisadane di Kota Tangerang, yang menghambat peresapan air di bibir sungai, dan bisa jadi tidak ada biopori alami di sana. Padahal akar pohon rindang itu penting, karena sangat berguna untuk mencegah erosi, disamping untuk menyerap dan menyimpan air.

Pohon mangrove yang masih tersisa di pantai Tanjung Burung bagian barat muara Sungai Cisadane.

Dampak reklamasi juga merubah kultur masyarakat, seperi apa yang ia saksikan dengan kondisi masyarakat pesisir di daerah Kapuk, Jakarta Utara. Berdasarkan pengalamannya, sekitar puluhan tahun yang lalu, kultur masyarakat pesisir di sana masih kuat. Namun setelah itu, ketika pembangunan perumahan mewah secara drastis dilakukan, nilai-nilai lokal masyarakat pesisir hilang bersama terdepaknya mereka dari kawasan pantai Kapuk, Jakarta Utara. Riwayat mereka hilang begitu cepat, dan aku menyaksikan apa yang berkecamuk di pikiran Pak Guntur jika reklamasi itu benar-benar terjadi di kawasan pantai utara Tangerang. Tidak menutup kemungkinan nasib yang sama akan menimpa warga di Desa Tanjung Burung, yang terusir dari tanah nenek moyangnya sendiri.

Pak Guntur dengan nada kesal mengungkapkan kepada pihak Dinas terkait, tentang pelarangan penggunaan jaring arat dalam menangkap ikan oleh penduduk setempat. Bagi Pak Guntur, jangan mereka yang dilarang menggunakan jaring arat, tapi ketahuilah sebab musababnya. Kenapa kita memakai jaring arat,  karena jumlah ikan yang kian sedikit, makanya tak ada pilihan lain kita menggunakan jaring arat. Jaring arat adalah semacam jaring yang mengeruk, atau semacam pukat harimau, namun tidak sebesar pukat harimau.  Penurunan jumlah ikan sudah terjadi sekitar 20 tahun lalu akibat pencemaran limbah industri dan domestik. Pak Guntur menyuarakan keprihatinannya soal lingkungan dengan melihat realitas pembangunan yang hanya menguntungkan pemilik modal saja.

Hamparan pantai sampah Tanjung Burung.

Sabtu siang hari, kami bermain di kawasan pantai Tanjung Burung bagian Timur, yang tidak jauh berbatasan dengan kawasan pantai Tanjung Pasir. Kami melihat hal yang sama, sebuah area kolam tambak yang begitu besar digunakan untuk pemancingan. Sorenya, kami kembali ke rumah Pak Guntur dan beristirahat sejenak. Sekitar pukul 16.00 WIB kami diajak oleh Pak Guntur menuju ke muara Sungai Cisadane dan pantai Tanjung Burung bagian Barat. Setelah sekitar 30 menit, kami menyusuri aliran Sungai Cisadane menuju muara dan pantai. Pada bagian kanan dan kiri kami melihat semak belukar. Beberapa warga yang memanfaatkan air sungai untuk mandi dan mencuci di samping deretan rumah yang membelakangi sungai. Tak terasa sampailah kami di muara sungai, tepatnya sekitar 100 meter dari muara sungai, dari perahu yang kami tumpangi. Perahu tidak berani mendekat ke muara sungai, karena pendangkalan muara sungai yang dapat merusak baling-baling perahu. Pak Guntur menjelaskan kepada kami perihal sisa-sisa tumpukan sampah yang tertancap di mulut muara sungai. Kembali lagi mundur beberapa meter, kami pun menepi untuk menyaksikan pemandangan yang sebelumnya tak terbayangkan. Menyusuri kolam-kolam tambak yang terhampar luas sampailah kami ke bibir pantai, dan fantastis apa yang kami temui? Ternyata endapan dan hamparan sampah ribuan kubik yang sudah menahun tak tertangani. Wow, kita wisata di pantai sampah, seru anak-anak yang terkejut menyaksikan ribuan kubik sampah yang terhampar telanjang di hadapan kami, diselangi beberapa pohon mangrove yang sempat bertahan. Dan di sisi timur dekat muara sungai, terdapat suatu blok hutan mangrove yang begitu rimbun.

Sampah-sampah yang berada di pepohonan mangrove di pantai Tanjung Burung.

Apa yang diutarakan oleh Pak Guntur dengan apa yang ia gugat, mendapatkan pembenarannya ketika kami benar-benar menyaksikan dengan mata kepala kami sendiri, terasa pengalaman yang campur aduk. Sedih, prihatin, bingung dan senang. Maaf bukan senang melihat ini, tapi dasar kami yang masih muda situasi ini kami manfaatkan untuk berfoto ria. Begitupun area kolam tambak yang begitu luas berdiri di atas tumpukan sampah. Pak Guntur menerangkan kepada kami, kebetulan area kolam tambak di sini dikelola oleh warga sekitar, meskipun yang memodali pembuatan kolam tambak adalah orang Cina Benteng di Kota Tangerang. Ya, asal jangan perusahaan saja yang mengelola. Kalau sudah perusahaan yang mengelola, pasti orientasinya keuntungan saja, dan warga di sini jadi miskin karena nggak diberi peran. Orang Cina Benteng itu pun mempersilakan usaha Pak Guntur menanam pohon mangrove di area kolam tambak yang sudah ditentukan titik penanamannya. Mengenai kolam tambak disisi timur pantai Tanjung Burung, Pak Guntur menjelaskan itu sudah dikuasai oleh pemilik modal yang berasal dari Jakarta, nyatanya kita susah menanam pohon di sana. Usaha untuk menanam sudah, tapi dicabut lagi seiring pembuatan kolam baru.

Tampak ribuan kubik sampah yang sudah menahun tak tertangani.

Akhirnya kami menikmati sunset di pantai sampah Tanjung Burung, dan berhenti sejenak di pondokan kolam tambak, untuk diajak minum kopi oleh beberapa orang di sana yang sedang memancing. Kebetulan si ncek, pemodal yang membuat kolam tambak, ada di situ. Ia begitu ceriwis dan ramah. Selang beberapa menit orang-orang yang ada di pesanggarahan itu menuju dermaga untuk menaiki perahu, dan kembali pulang. Begitupun kami, kami pulang ke rumah Pak Guntur. Perjalanan rasanya berkesan, karena menikmati perjalanan pulang diwaktu selepas Maghrib, jelang waktu Isya. Pantai Sampah Tanjung Burung, itulah narasi kecil yang aku tulis, disertai aksi kami selanjutnya yang akan pengadakan penanaman pohon mangrove. Dan kami sepakat membentuk forum bersama, yang diinisiasi oleh teman-teman KMPLHK RANITA, LS-ADI, PGMI Save Earth, dan perorangan, yang dalam perkembangannya didukung oleh berbagai pihak seperti dari Fakultas Sains dan Teknologi UIN Jakarta dsb,  untuk aksi yang rencananya akan kami laksanakan pada pertengahan bulan Mei 2013 nanti.  Tentunya dengan dukungan semua pihak tak terkecuali masyarakat Desa Tanjung Burung.

Aksi penanaman pohon mangrove adalah usaha kecil kami untuk menggugah kesadaran. Minimal kesadaran kami sendiri untuk berkolaborasi dan berpartisipasi peduli lingkungan, di sebuah desa yang sedang berada dalam episode yang kian genting, diantara kerusakan ekologi, kemiskinan, dan orientasi pembangunan yang tidak memihak mereka, ditambah rencana megaproyek reklamasi pantai utara Tangerang. Kita tunggu episode selanjutnya, tentang narasi Desa Tanjung Burung ini. Dan episode selanjutnya adalah kebersamaan kita untuk menjaga ekosistem dan nilai-nilai masyarakat desa pesisir yang kian tergerus oleh dampak pembangunan.

About the author

Avatar

Renal Rinoza

Renal Rinoza lahir di Jakarta, 8 Maret 1984. Tahun 2004 kuliah di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, lulus tahun 2010 dan di tahun 2007 sempat kuliah Filsafat Barat pada Program E.C Ilmu Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta. Aktif di Komunitas Djuanda, sebuah kelompok studi sosial dan budaya berbasis media yang mengembangkan potensi media komunikasi seperti teks, video, fotografi dan material media komunikasi lainnya. Menulis kajian sinema, video dan kebudayaan visual di jurnalfootage.net. Bersama akumassa.org, menulis aneka tulisan feature berbasis jurnalisme warga dan bergiat sebagai Peneliti/Pemantau Program Pemantauan Media Akumassa di daerah Kota Tangerang Selatan.

1 Comment

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.