Padangpanjang, Sumatera Barat

The Wind Will Carry Us: Pudarnya Nilai-nilai Tradisional Teknologi dan Globalisasi Telekomunikasi

The Wind Will carry Us
The Wind Will Carry Us

The Wind Will Carry Us merupakan sebuah film Iran yang disutradarai oleh Abbas Kiarostami pada tahun 1999. Film ini diangkat dari puisi Forough Farrokhzad, seorang penyair perempuan Iran terkenal yang syairnya puisinya kerap bercerita tentang kematian. Hal ini dapat dilihat dari kutipan puisinya yang dilontarkan oleh Behzad Dourani:

The clouds, like a crowd of mourning women, Await the birth of the rain of the rain. One second, and then nothing.

Forough Farrokhzad
Forough Farrokhzad

Dari kata “mourning women” (wanita berduka/pelayat), jika kita hubungkan dengan kebudayaan, merefleksikan sebuah kebudayaan atau peradaban yang mulai lenyap dan terancam eksistensinya. Hal ini diperkuat oleh kata-kata “Await the birth of the rain of the rain. One second, and then nothing.” Kata “the rain” (hujan) merupakan simbol dari kesuburan atau kehidupan, tapi “nothing“. Nafas kehidupan/keajaiban yang diharapkan tidak kunjung datang. Sesuai dengan judulnya The Wind Will Carry Us (angin akan membawa kita kearah mana yang dia sukai) mengungkapkan bahwa seiring dengan berjalannya waktu, suatu peradaban/tingkat kebudayaan tertentu pada suatu masyrakat akan berubah dan berkembang seiring dengan perkembangan pola pikir manusianya itu sendiri. Perubahan akan datang dengan sendirinya melalui proses yang sangat panjang tanpa kita sadari dan tak bisa dicegah.

Salah satu adegan dalam The Wind Will carry Us
Salah satu adegan dalam The Wind Will carry Us

Pada film The Wind Will Carry Us ini diperlihatkan adanya proses interaksi manusia, di mana kebudayaan moderen (direprentasikan oleh Behzad Dourani yang berasal dari kota Tehran beserta alat-alat yang digunakannya seperti, telepon selular, kamera, dan mobil Jeep) mulai hinggap atau singgah pada kebudayaan yang masih kental nilai-nilai tradisionalnya (seperti lingkungan alam sekitar tempat tinggal/pedesaan, ladang, binatang ternak, dan masyarakat yang saling mengenal satu sama lain). Kepolosan budaya/tradisi yang belum terjamah itu direpresentasikan oleh Farzad, seorang anak kecil yang sangat polos dan lugu. Infiltrasi kebudayaan moderen pada kebudayaan tradisional membawa dampak negatif atau kematian pada kebudayaan tradisional. Kebudayaan moderen ditandai dengan adanya globalisasi telekomunikasi dan kecanggihan teknologi yang meningkat pesat. Hal ini mempengaruhi pola pikir manusia, khususnya kaum intelektual.

Salah satu adegan dalam The Wind Will carry Us
Salah satu adegan dalam The Wind Will Carry Us

Ciri-ciri manusia moderen adalah manusia yang berpikir kritis, logis, rasional dan berorientasi pada masa depan. Hal ini dialami oleh seorang guru dari Siah Dareh itu sendiri yang berpikir bahwa pengorbanan yang dilakukan Ibunya dengan cara mencakar mukanya sendiri pada upacara pemakaman saudara dan atasan suaminya merupakan sesuatu yang “painful” (menyakitkan), sebuah tindakan bodoh (menyiksa diri sendiri dengan alasan yang tidak masuk akal) dan irasional. Hal ini jelas telah menyingkirkan nilai-nilai tradisional yang berupa nilai spiritual dimana dahulu para leluhur yakin dan percaya bahwa pengorbanan pada upacara pemakaman mampu membawa hal yang bersifat positif pada orang yang melakukannya.

Kepercayaan ini juga diyakini oleh Farzad yang mewakili desanya, mereka percaya jika sup yang diberikannya untuk Malek habis, maka permintaan akan terkabul. Dalam hal berkomunikasi, globalisasi telekomunikasi merupakan musuh yang semu bagi kebudayaan tradisonal. Jika secara tradisional kita berkomunikasi dalam bentuk tatap muka, tahu lawan bicara kita siapa, ironisnya dalam globalisasi telekomunikasi kita tidak tahu lawan bicara kita siapa, seperti apa wajahnya dan bagaimana ekspresinya ketika berbicara. Hal ini akan memutus tali silaturahmi kita sebagai makhluk sosial. Hal ini dapat kita lihat pada adegan ketika Behzad tidak mengenali wanita hamil (Bibi Farzad) yang biasa bicara dengannya. Hal ini terjadi karena adanya pantulan komunikasi di mana Behzad sering berbicara lewat media (kaca) dari pada melihat langsung lawan bicaranya. Pantulan komunikasi ini sangat sering kita jumpai pada film ini seperti kawan kerja Behzad yang tidak pernah dilihatkan wajahnya, dan Yossef, penggali saluran telekomunikasi di pemakaman. Hal ini mengungkapkan betapa sulitnya kita memprediksi apa yang akan terjadi nantinya, musuh kita itu tidak jelas. Sama halnya seperti dengan globalisasi teknologi dan komunikasi.

Salah satu adegan dalam The Wind Will Carry Us
Salah satu adegan dalam The Wind Will Carry Us

Jika pada ranah tradisional kita bisa memprediksi sesuatu itu seperti sungai yang selalu bermuara ke laut, pada era globalisasi kita tidak bisa menebak akhirnnya seperti apa karena cakupannya sangat luas sekali dengan didukung oleh alat-alat yang belum pernah terpikir sebelumnya. Jadi, meskipun perlahan tapi pasti, modernisasi dan globalisasi akan menghapus kebudayaan atau nilai-nilai trasisional. Dalam film The Wind Will Carry Us hal ini disimbolkan oleh kuburan para leluhur dan tulang yang hanyut di perairan pada akhir film.

Abbas Kiarostami
Abbas Kiarostami

Malek merupakan representasi dari para leluhur dan kebudayaan tradisional yang hidup selama 100-150 tahun. Dia memiliki nilai-nilai itu. Tapi ketika dia meninggal, hal itupun akan pergi bersamanya dan digantikan oleh calon-calon intelektual muda seperti Farzad. Hilang atau pudarnya nilai-nilai tradisional ini juga diperkuat oleh hanyutnya sebuah tulang kering oleh arus sungai. Jika tulang kering itu simbol dari bekas peradaban, maka ia akan hanyut dan hilang oleh kuatnya arus globalisasi.


About the author

Avatar

Shanty Puspita Dewi

Dilahirkan di Batang Kapas-Pesisir Selatan pada tanggal 19 Oktober 1987. Alumni Jurusan Sastra Inggris di Universitas Negri Padang, angkatan 2005. Ia juga pekerja lepas sebagai penerjemah.

3 Comments

  • Shanty yang baik, kamu menulis dengan baik pengalaman menonton film Abbas. Banyak hal yang bisa ditulis di sini. Dalam beberapa waktu lalu kamu sempat ikut Otty riset video di Padang…mungkin kamu bisa menuliskan pengalamanmu saat bertemu orang-orang yang selama ini bekerja dengan medium ini. Blog bisa ini bisa merekam apa saya yang dapat dipresentasikan ke publik tentang isu-isu lokal. Dan tempat ini juga ruang kita untuk belajar “menulis, merekam” sejarah kita sendiri. Saya percaya ini pasti berguna untuk siapa saja…apalagi yang menulis di ruang ini. salam Hafiz

  • filem ini seperti membaca kembali peristiwa teh boston dan kuatnya budaya syi’ah..
    yang ditunggu mati oleh pesatnya kemajuan teknologi komunikasi

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.