Lenteng Agung, Jakarta Selatan

Susu Jahe di Halte IISIP Jakarta

Hampir setiap hari, sekitar jam 8-9 malam, aku selalu menunggu Bus Deborah di Halte IISIP Jakarta, Lenteng Agung. Bus berwarna ungu yang dikelola oleh P.O. Deborah tersebut merupakan satu-satunya trayek jurusan Depok-Lebak Bulus. Sehingga aku tak punya alternatif bus lain untuk dapat pulang ke rumahku yang berada di wilayah Ciputat. Armada Bus Deborah yang sedikit membuat jarak keberangkatan antara bus satu dengan yang lainnya cukup lama, aku harus menunggu bus sekitar 20-45 menit di Halte IISIP Jakarta yang sepi.

Halte IISIP Jakarta adalah satu dari 355 halte yang ada di Jakarta Selatan. Nama halte ini diambil dari nama institusi pendidikan di belakangnya, yaitu Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta. Menurut pengalamanku, halte ini biasanya terlihat ramai oleh mahasiswa pada jam aktif kuliah, yaitu pukul 08.00 WIB sampai 18.00 WIB. Namun, pada jam-jam setelahnya, halte ini sangat sepi. Sepi calon penumpang, sepi tukang jualan, dan sepi dari keamanan. Apalagi halte ini terletak di wilayah Lenteng Agung yang merupakan wilayah perbatasan antara Depok dan Jakarta Selatan. Jika tidak pada jam berangkat dan pulang kerja, maka Lenteng Agung terasa sepi dan kendaraan melaju dengan sangat cepat.
Halte IISIP Jakarta

Sebagai seorang perempuan terkadang aku merasa terancam, apalagi media massa ramai memberitakan kriminalitas yang terjadi di Jakarta, yang tidak sedikit menimpa kaum hawa. Aku masih ingat berita tentang pemerkosaan yang terjadi pada seorang karyawati di angkutan umum D02 jurusan Ciputat-Pondok Labu beberapa waktu lalu. Bukan tidak mungkin halte yang merupakan ruang publik juga bisa menjadi tempat kriminalitas terjadi. Aku selalu curiga sekaligus waspada bila seorang laki-laki duduk di halte dan melihat ke arahku, atau bila ada pegendara motor yang berhenti dan duduk di Halte IISIP. Mungkin tujuannya untuk beristirahat, namun kepalaku membayangkan jika pengendara motor itu membius dan menculikku ke sebuah tempat. Pikiranku mungkin berlebihan, tapi pikiran-pikiran khawatir ini muncul tak lepas dari apa yang aku lihat di media massa.

Beberapa hari yang lalu, suasana Halte IISIP tidak lengang seperti biasanya. Seorang laki-laki tampak sedang melayani pembeli. Di sebelahnya terdapat gerobak hijau bertuliskan SUSU JAHE. Laki-laki itu terlihat masih muda, badannya kurus, memakai kaos, jaket, celana hitam, dan berwajah ramah. Setelah si pembeli membayar susu jahe buatannya, laki-laki itu duduk tak jauh dariku. Ternyata namanya Anggun. Ia malu menyebutkan namanya, “Kayak cewek ya, Mbak, nama saya. Hehe.” Anggun masih berusia 19 tahun. Ia adalah pendatang dari Riau. Di Jakarta ia tinggal bersama Wita, kakak perempuannya yang menikah dengan Edo, pemilik usaha susu jahe tersebut. Selama Anggun belum mendapat pekerjaan di Jakarta, ia pun mendapat tugas untuk berjualan susu jahe.

Sebelumnya Anggun dan keluarga kakaknya tinggal di Ciledug, Tangerang. Di sana usaha susu jahe dimulai. Tepatnya delapan bulan yang lalu. Ketika itu Edo ditawari seorang teman untuk memesan gerobak susu jahe beserta gentongnya dengan harga sekitar empat juta rupiah. Pemesanan itu juga disertai resep pembuatan susu jahe. Edo pun tertarik dan memesan gerobak tersebut. Di gerobak susu jahe miliknya tertulis WIDOCI yang merupakan singkatan dari Wita, Edo, dan Ici (anak mereka). Awalnya Edo sering dibantu Anggun berjualan di dekat sebuah super market di Ciledug dengan membayar uang pungutan liar. Namun, karena sebulan yang lalu istrinya mendapat pekerjaan menjadi bidan di daerah Kelapa Dua, Depok, mereka pun pindah membawa serta gerobak susu jahenya.

Gerobak hijau bertuliskan WIDOCI (Wita, Edo, Ici)

Menurut Anggun di Halte IISIP ia tidak diminta pungutan liar. “Kayaknya sih kalau pakai gerobak gak dimintain, karena gak menetap,” jelasnya. Namun alasan utama Anggun berjualan di Halte IISIP bukan karena tidak harus membayar pungutan liar, namun karena rumah kontrakan kakaknya tak jauh dari halte tersebut. Anggun biasa berjualan sejak jam 7 malam hingga susu jahe habis, biasanya jam 1 pagi.

Di seberang Halte IISIP terdapat pula penjual susu jahe. Namun di sekitar halte itu memang banyak penjual lain, misalnya martabak, pecel lele, soto ayam, dan nasi padang. Halte yang bernama Halte Taman itu memang jauh lebih ramai dibandingkan Halte IISIP. Namun, menurut Anggun, berjualan di Halte IISIP juga menguntungkan karena para pengendara motor justru sering mampir dan duduk sebentar untuk menghilangkan penat setelah menembus macet di Depok. Mereka biasanya memilih halte yang sepi untuk mencari ketenangan, peluang inilah yang dimanfaatkan oleh Anggun. Sambil menghilangkan penat, segelas susu jahe seharga Rp.3.000,- tentunya sangat menggoda. “Pedagang memang pintar lihat peluang,” pikirku.

Seorang pengendara motor berhenti untuk membeli susu jahe sekaligus beristirahat

Setelah 15 menit ngobrol dengan Anggun, Bus Deborah yang aku tunggu belum juga datang, aku pun melanjutkan obrolan.

Emang tadinya ke Jakarta mau kerja apa?”

“Maunya sih kursus bidang otomotif dulu, terus kerja di bengkel. Nanti kalau tabungan sudah cukup mau buka bengkel sendiri.”

Gak mau nabung buat kuliah?” Aku bertanya sambil menunjuk ke Kampus IISIP.

“Mau sih, tapi adikku juga lagi ambil kuliah di UNJ. Nantilah gantian sama dia.”

Obrolanku bersama Anggun harus terpotong beberapa kali, karena ada pembeli susu jahe. Ternyata Anggun benar, susu jahe dan halte yang sepi adalah kombinasi yang pas. Banyak para pengendara motor yang berhenti untuk istirahat karena melihat gerobak susu jahe dan halte yang sepi. Selama 40 menit aku berada di halte, Anggun sudah melayani 7 pembeli. Walaupun malam hari di Jakarta tetap terasa panas, namun segelas susu jahe yang hangat memang sangat menggoda. Apalagi ditemani pemandangan laju kereta di seberang jalan. Aku juga ikut membeli segelas susu jahe pada Anggun.

Beberapa menit kemudian, bus yang aku tunggu melaju tanpa sempat aku memberhentikan. Aku hanya bisa pasrah menunggu bus selanjutnya sambil minum susu jahe. Aku pun melanjutkan obrolan dengan Anggun.

Teringat olehku bisnis franchaise yang ramai merambah Jakarta. Misalnya Martabak Alim, Tahu Bulat Miso, Kebab Turki, Ayam Goreng Sabana, dan lain sebagainya. Kemudian aku bertanya pada Anggun tentang bisnis susu jahenya.

“Ini bisnis franchaise ya?”

“Kalau yang gerobak hijau seperti ini memang pasti dari satu cabang. Di Ciledug kebanyakan penjual susu jahe memakai gerobak hijau dari cabang ini. Tapi kalau di daerah lain saya lihat penjual susu jahe lebih banyak bikin gerobak sendiri,” jelasnya.

Namun menurutku tidak menutup kemungkinan usaha susu jahe gerobak hijau ini akan menjamur seperti usaha franchaise lainnya, karena produk olahan jahe ini selain sehat juga memiliki rasa yang cukup enak. Seperti tulisan yang tertera di gerobak susu jahe WIDOCI “Minuman Kesehatan Hangat dan Berkhasiat”.

Pada dasarnya halte merupakan fasilitas yang dibangun oleh pemerintah untuk tempat menunggu angkutan umum dan bus. Meskipun keberadaan Anggun si penjual susu jahe yang berjualan di halte tidak pada tempatnya, namun aku sebagai pengguna halte merasa sangat diuntungkan. Karena, mulai hari ini aku merasa memiliki teman untuk menunggu bus. Kekhawatiranku tentang tindak kriminalitas di ruang publik pun menjadi berkurang.

Malam itu aku tidak sempat menghabiskan susu jaheku, karena bus yang kutunggu akhirnya datang. Aku pun meninggalkan Anggun dan gerobak hijaunya yang masih akan bermalam panjang menanti pembeli-pembeli selanjutnya. Lenteng Agung memang wilayah perbatasan. Namanya tidak setenar Depok ataupun Jakarta Selatan, namun setiap hari beribu kendaraan melintas di wilayah ini, dan Anggun si penjual susu jahe berhasil memanfaatkan peluang itu.

About the author

Avatar

Mira Febri Mellya

Perempuan kelahiran Jakarta pada tanggal 22 Februari 1990 ini telah menyelesaikan studi strata satu di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta. Sebelumnya ia telah aktif sebagai fasilitator program worskhsop akumassa di beberapa kota bersama komunitas dampingan. Sekarang ia menjadi wartawan aktif di majalah Gatra.

1 Comment

  • Keren kkak. Salam Alamater IISIP Jakarta.
    Tetap Jaya. Kepengen nulis di majalah Gatra donk. Bisa nggak kkak?. Salam

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.