Lenteng Agung, Jakarta Selatan

Silaturahmi Yang Diterangi Bulan Purnama

Avatar
Written by Dian Komala

Pada Tanggal 3 Juni 2012 di Bio Kanti Sara, Bhakti Jaya, Setu, Tangerang Selatan, untuk kedua kalinya Filem Naga Yang Berjalan Di Atas Air diputar, setelah sebelumnya diputar perdana di XXI Taman Ismail Marzuki. Bio Kanti Sara ini merupakan lokasi syuting utama filem Naga Yang Berjalan Di Atas Air, sebuah filem  feature dokumenter panjang yang berdurasi 115 menit. Film ini diproduksi atas kerjasama Forum Lenteng dengan Komunitas Djuanda yang disutradarai oleh Otty Widasari. Filem ini juga merupakan sebagian dari program up-grading akumassa.

Kang Sui Liong, tokoh utama dalam dokumenter ini, mengundang Forum Lenteng dan Komunitas Djuanda untuk memutar filem Naga Yang Berjalan Di Atas Air pada tanggal 3 Juni 2012. Tanggal 3 Juni dipilih karena alasan pada hari itu merupakan malam Cap Goh. Di mana malam itu bulan dalam keadaan penuh atau purnama. Pada saat itu jamaah-jamaah Bio Kanti Sara berdatangan untuk sembahyang dan bersilaturahmi di bawah bulan purnama.

Di halaman belakang bio, alat-alat seperti, kursi, layar, projector, dan sound telah disiapkan. dan penonton pun sudah berkumpul. Namun pemutaran yang harusnya dilaksanakan pukul 19.00 WIB menjadi molor karena ada masalah teknis. Para penonton yang datang kebanyakan adalah mahasiswa-mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah dan warga sekitar bio, serta jemaat yang datang ke bio Kanti Sara. Akhirnya sekitar pukul 20.30, Hafiz sebagai Ketua Forum Lenteng membuka acara yang dilanjutkan dengan pemutaran.

Dalam layar yang lebar, filem Naga Yang Berjalan Di atas Air diputar. Bulan purnama mengintip dari balik layar, yang menambah keakraban kami di bio.

Terang bulan terang di bandung

Pasang pelita di pinggir kali

Putus benang gampang disambung

Putus cinta susah sekali

Sepenggal lirik yang diiringi oleh orkes gambang kromong dalam filem, menambah indahnya bulan purnama malam itu. Gambang kromong adalah sebuah orkes tradisional Betawi yang merupakan orkes perpaduan antara gamelan dengan nada dasar pentatonik bercorak Cina. Orkes gambang kromong awalnya memang dibawa oleh masyarakat Tionghoa ke Indonesia, dan kini telah menjadi orkes tradisional Betawi. Lagu-lagu yang dibawakan pada musik gambang kromong adalah lagu-lagu yang isinya pantun bersifat humor, penuh gembira dan kadang kala bersifat ejekan atau sindiran. Pembawaan lagunya sendiri bergilir antara laki-laki dan perempuan. Seperti yang terlihat dalam filem, Cheng Hong bergantian bernyanyi dengan seorang wanita. Di samping untuk mengiringi lagu, gambang kromong biasa juga digunakan untuk pengiring tari pergaulan, yakni tari Cokek, tari pertunjukan kerasi baru dan teater Lenong. Dalam filem pun menggambarkan, orkes gambang kromong mengiringi tamu-tamu yang menari berpasang-pasangan atau sering disebut juga Ngibing.

Bulan masih setia menemami kami, suara-suara burung yang terdengar dari filem, semakin menambah keakraban, betapa indahnya malam itu. Saat pertama kali aku datang ke klenteng ini, celoteh-celotehan burung menyambutku. Di teras depan klenteng tergantung lampion-lampion yang dijadikan rumah oleh burung. Tak aneh, saat berada di klenteng ini kita akan terus menerus mendengar kicauan mereka.

Saat filem sedang diputar, tak jarang jemaat yang sedang bersembahyang melintas. Wajar saja, di halaman belakang tempat memutar filem, yang di sisi sebelah kirinya terdapat altar Dewa Dapur, Dewa Macam  dan Dewi Uyud. Seiring berjalannya zaman, Dewi Uyud pun mengalami beberapa perubahan julukan. Dari Dewi Ambar menjadi Neng Dewi, hingga kini disebut Dewi Uyud. Namun jemaat bisa memanggil dengan ketiga nama tersebut. Aku pribadi merasa tak enak. Tak enak karena telah mengganggu acara beribadah mereka. Ya, tapi seperti yang dikatakan Koh Liong (panggilan akrab Kang Sui Liong) mereka tidak merasa terganggu, karena setelah berdoa, tak jarang juga mereka langsung duduk untuk menonton.  Sebelumnya Koh Liong juga telah memberitahu dan mengundang para jemaat bahwa pada malam Cap Goh akan ada pemutaran filem.

Selesai pemutaran, acara dilanjutkan dengan ngobrol-ngobrol santai bersama Koh Liong dan Tim Produksi. Beberapa penonton mengajukan pertanyaan dan pernyataan. Ada satu pernyataan dari mahasiswa UIN yang menarik perhatian. Dia suka adegan ketika Kang Sui Liong mengunjungi tetangga-tetangga yang beragama Islam dan Kristen. Di sana dia menganggap bahwa kehidupan beragama yang ada di Babakan Pocis tenteram. Tidak ada persoalan yang disebabkan oleh agama. Budha, Islam dan Kristen hidup saling berdampingan. Dia tinggal di kota yang tak seberapa jauh dari bio, masih merasakan adanya permasalahan yang timbul karena persoalan agama.

Ngobrol santai seusai pemutaran

Ya, saya pun melihat hal tersebut. Saat acara telah usai, teman saya bernama Humaira yang beragama Islam ditandai dengan pemakaian jilbab meminta Kang Sui Liong untuk di Ciamsie. Ciamsie adalah ramalan orang Tionghoa yang menggunakan tabung bambu yang berisi bilah-bilah bambu yang di dalamnya tertera nomor. Kemudian dikocok sambil memohon atau berdoa sampai keluar bamboo sebagai jawabannya. Sebelum mengocok ciamsi ini perlu melempar sio pweh berupa keping kayu berbentuk seperti ginjal untuk menentukan apakah dewa dewi mengijinkan atau mengabulkan permintaannya. Jika posisi sio pweh satu terbuka dan satu tertutup berarti dewa-dewi memberi ijin. Barulah kita mengambil kertas sesuai nomor yang tertera di bambu.

Kang Sui Liong menyambut baik permintaan Humaira untuk diciamsi. Tanpa ada kegelisahan tentang agama apa yang dipeluk oleh Humaira.

Humaira sedang di Ciamsie oleh Kang Sui Liong

Di lain kesempatan aku sempat ngobrol-ngobrol dengan Koh Liong dan istrinya tentang bagaimana tanggapan mereka dan para jamaah lainnya soal pemutaran. Koh Liong menjawab dengan tenang “Senang, gembira sekali, kenapa anak-anak muda mau datang ke sini dan berteman dengan saya yang sudah aki-aki?” Ya pertanyaan itu terlontar begitu saja tanpa ada jawaban, karena aku yakin dia bisa menjawabnya sendiri. Ada juga pertanyaan dan pernyataan dari jamaah yang diceritakan oleh Koh Liong, salah satunya adalah “Aneh, kok mahasiswa UIN mau ke Klenteng?” Dengan lantangnya Koh Liong menjawab, “Kita semua bersatu. Apa bedanya? Hanya kata-kata saja yang beda.” Ya, aku senang dengan jawaban Koh Liong. Islam, Kristen, Budha, Hindu, adalah satu, yaitu sebuah keyakinan.

Ibu (istri dari Koh Liong) merasa senang dan malu karena dalam filem terdapat adegan dia sedang memarahi anaknya, Ari, yang ingin bermain. Ya, dia pun sebenarnya tidak masalah dengan rasa malu itu, karena dia merasa senang filem itu akhirnya diputar di bio.

Timbul pernyataan juga dari Choiril Chodri selaku Editor dan Assisten Kameraman dalam filem Naga Yang Berjalan Di Atas Air. Dia mengikuti semua kegiatan produksi, syuting, hingga distribusi melalui pemutaran. Iril (sapaan akrabnya) mengaku sebagai orang yang mengikuti proses produksi, dia merasa senang mendapatkan respon yang positif dari Bio Kanti Sara yang merupakan lokasi syuting utama.

Pemutaran filem Naga Yang Berjalan Di Atas Air yang dilaksanakan di Bio Kanti Sara ini memang penuh dengan keakraban silaturahmi yang diterangi bulan purnama. Kami berpisah malam itu dengan rasa senang mendapat kawan-kawan baru. Kami berpamitan dengan para jemaat bio. Mereka mengucapkan terimakasih yang menurut sutradara, Otty Widasari, tim produksi filemlah  yang seharusnya mengucapkan terimakasih, karena dengan dukungan mereka, filem ini bisa menjadi sebuah dokumenter bercerita yang bisa ikut berperan dalam distribusi pengetahuan di Indonesia melalui media.

About the author

Avatar

Dian Komala

Dian Komala, akrab disapa Ageung, tinggal di Parungkuda, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sehari-harinya ia bekerja sebagai buruh pabrik wig di Parungkuda. Ageung turut aktif di Forum Lenteng dalam Program akumassa, untuk lokasi dampingan Lenteng Agung (Jakarta Selatan) dan Depok. Selain menjadi salah satu penulis aktif di jurnal online www.akumassa.org hingga sekarang, Ageung juga mengelola blog pribadi, bernama www.dariwarga.wordpress.com, yang mengangkat narasi-narasi warga Parungkuda, khususnya warga masyarakat yang tinggal di sekitar rumahnya.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.