Jurnal Kecamatan: Rangkasbitung Kota/Kabupaten: Lebak Provinsi: Banten

Senja dan Kotak Film

Di antara penonton
Avatar
Written by Fuad Fauji
Pelangi muncul. Terang cahaya langit petang datang dari belakang penglihat. Menembus tetes-tetes air yang berperan sebagai cahaya putih. Rupa jingga berlapis-lapis. Adzan Ashar tak terdengar. Duduk di tengah pintu rumah kayu setengah terbuka, lantas ingat sebentar saja rumah itu milik ustad muda guru ngaji. Sarwi, namanya. Ada penantian penting saat itu. Tidaklah lain menunggu sekelompok remaja yang akan pergi menonton hiburan di desa tetangga. Warna pelangi yang aku pandangi tampak membesar. Tetes air membesar. Pelangi kerap muncul. Seusai hujan. Aku merasa, kemarau bakal datang.

Senja

Senja

Surat undangan berwarna biru dengan motif bunga-bunga telah terbaca kini. Besok lusa acara pernikahan anak dari saudaranya supir truk kontainer yang kukenal di Priok, Si Mamang, akan tiba. Di balik surat, didapati kutipan kata-kata berupa pernyataan doa. Tidak lupa tertera waktu, tempat, tamu undangan, dan peta lokasi. Sebelum halaman terakhir, tertera kalimat dengan ukuran huruf sedang, Hiburan: Filem. Menghaturkan sebuah pesan untuk kawan kerja. Rupanya, ada terselip surat untuk Si Mamang, tapi si pengantar sudah pergi. Surat undangan tergeletak begitu saja di atas TV warung nasi kala itu.

Undangan pernikahan

Undangan pernikahan

Suara krik… krik… krik… di semak sebuah desa kini lambat laun tidak terdengar. Aku tiba terlambat. Tiga film sudah diputar, kata penonton. Suara makhluk malam itu seolah kalah oleh sound yang menumpuk di tenda proyektor film. Pandangan selintas, sound system itu tidak bermerk.  Aku terselip ratusan penonton tidak di tengah. Berdekatan dengan pemangku hajat. Soneta disuguhkan kepada penonton sebelum film diputar.

Filem mulai diputar

Filem mulai diputar pada layar tancap

Film diputar. Satu dari sekelompok bayangan remaja laki-laki terlihat. Sepertinya mencari tempat sambil mengumpat, “Aku pusing menonton film di sana. Sudah tangannya kiri semua, suaranya kayak kaleng.” Diduga mungkin temannya menimpali omongan, “Sudah kubilang, si Ujum jangan diajak nonton. Dia kerjaannya tidur. Lihat sarungku kini jadi dekil. Kaki kanan bersandal kiri, sandal kiri sebaliknya. Cepat, duduk persis di depan!” Seorang berambut oli lalu diikuti temannya, sambil mengisyaratkan untuk duduk kepada yang lain, dia berkata, “Sudah..sudah..!!! Mendingan kita duduk di sini saja dekat Si Eneng. Permisi, Neng, geser dikit dong ke tengah…!” Mereka muncul dari sisi kanan tepat arah moncong speaker toa. Layar tancap sudah tidak asing bagiku. Rasa aneh itu muncul karena menonton seminggu yang lalu. Kali pertama menonton layar tancap. Usiaku baru kelas satu Sekolah Dasar, awal 90-an. Layar tancap menghibur tiap kampung minggu-minggunya.

Di antara penonton

Layar tancap

Malam tiba. Biasanya kabut rendah membentuk di tengah malam pada musim panas yang tak berangin. Pamarayan dikelilingi pesawahan. Iring-iringan anak kecil bertubuh kurus kulit cokelat dimakan senja. Sekujur tubuhnya diterpa udara bergerak bak air samudera menuju arah barat laut. Di batang lehernya, terikat sarung bercorak garis-garis. Bentuknya sudah melinting seperti sokbreker per keong roda mobil. Pakaian yang dikenakan hanyalah kaos oblong putih polos tak berkancing. Sekilas, mirip pakaian di film kungfu Cina. Panjang pakaian terlihat gombrong menutupi celana Sekolah Dasar. Warnanya sedikit ternoda oleh  lumpur sawah. Setiap ada tontonan film, layar tancap di manapun adanya. Aku tidak seringlah hadir. Kuat rasa ingin tahu oleh kemungkinan lain yang dulu belum jelas terpikir.

Sebelum mengenal layar tancap aku hanya bisa mengenalnya lewat sebuah mainan. Kotak Filem. Setiap malam anak seusiaku sering memainkan mainan itu. Sebuah mainan berbentuk empat persegi panjang. Terbuat dari kardus (kertas karton tebal). Bentuk dan besarnya menyerupai bungkus kartu gaple. Khorasan warna-warni (kertas minyak pembungkus kue wajik) menjadi daya tarik karena ragam warna mencolok. Bagian ujung atas ditutup kertas warna putih. Di sisi kiri kanan atas terdapat celah tipis. Fungsinya untuk keluar masuk potongan film yang menyerupai klise foto. Jika hari sudah malam lampu senter dua baterai merek Butterfly digunakan. Gambar butuh penerangan. Cahaya memperjelas gambar yang dihasilkan foto klise berwarna. Cahaya berubah menjadi gambar. Cermin memantulkan gambar ke luar lubang. Letak cermin ada pada dasar dalam kotak. Depan lubang bulat terdapat kaca berfungsi untuk menyerap pantulan gambar dari cermin bawah. Sajian gambar dua dimensi. Ketika bola mata dirapatkan aku bagai masuk dalam kotak film.

Waktu lampau, orangtuaku hanya membolehkan anak lelaki dewasa saja pergi menonton layar tancap. Saat itu abang ku pulang dari tontonan. Dia sering menghadiahi sebuah potongan film. Didapat dari potongan film layar tancap. Cukup untuk mengobati rasa kesal di hati. Saat rasa bosan datang, aku dan teman lainya tidak jarang memasang potongan filem itu di lensa lampu senter untuk dipantulkan ke dinding rumah putih. Kotak Filem didapat dari penjual Kue Brondong dan Arumanis. Setiap harinya penjual Kotak Filem memikul jualannya keliling perkampungan. Harganya Rp.50-, cukup mahal saat itu. Setiap pembelian satu buah kotak mainan akan mendapat dua potongan filem. Sebelum Kotak Filem terbeli, aku melihat-lihat dulu lewat lubang kecil yang ada di tengah kotak.

Alat pemutar filem

Alat pemutar filem

Matahari terlihat lembut seperti awan pecah menjadi beberapa pita tipis. Sudah lama rupanya aku duduk di rumput kerbau. Si pemutar filem sudah membereskan peralatan dan akan segera pergi ke tempat peristirahatannya. Sinar matahari sedang menembus kabut pagi untuk mencerai-beraikannya. Sungguh terlihat kasat mata seperti embun sore. Suasana remang lampu sudah tiada. Jejak pedagang kue martabak kacang dan jajanan kopi saat gelap gulita malam tadi tinggal jejaknya. Malam tadi ratusan hitam kepala dan suasana riang bercampur siul dan teriakan menjadi hening. Ayam kampung puas berkokok untuk riuhnya pertunjukan. Penonton filem setia dan komentar kakek-nenek berbaur menjadi sepenggal ingatan.

Layar putih tinggal tiangnya malam tadi seolah membagi penonton. Pantulan warna kuat cahaya karena kepulan asap rokok dan asap mulut kini menjadi kepulan butir-butir embun halus menyelimuti rumah-rumah. Kampung yang berada di perbatasan Lebak dan Pandeglang ini berangsur-angsur sepi kembali hanyut dalam lelap tidur. Begitulah kiranya ingatan peristiwa sempalan hiburan di acara pernikahan. Aku pamit kembali ke pemangku hajat untuk pergi bekerja. Kembali ke Tanjung Priok menaiki bus dari Pakupatan, Serang, Banten.

About the author

Avatar

Fuad Fauji

Dilahirkan di Lebak, 10 Maret 1983. Fuad Fauji menetap di Forum Lenteng Jakarta sebagai periset dan penulis seni rupa. Tahun 2005 ia dan kawan-kawan lainnya terlibat mendirikan komunitas Saidjah. Kerja video pertamanya adalah “Saidjah Project”, 2005. Pada tahun 2007 akhir, ia mendapatkan gelar S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, konsentrasi Jurnalistik. Film fiksi pertamanya “Maria”, hasil project workshop Cerpen ke Filem yang diadakan Forum Lenteng, 2008. Dia dibesarkan oleh keluarga yang sederhana. Kedua orang tuanya petani musiman di Leuwidamar. Kadang bertani kadang tidak. Ayahnya telah meninggal bersamaan dengan kerja residensi pertamanya di Tanjung Priuk tahun 2009. Terlibat dalam produksi teks dan video dokumenter di akumassa. Sejak tahun 2010 hingga sekarang ia bekerja dengan Dewan Kesenian Jakarta sebagai peneliti kritik seni rupa Indonesia. Bersama program akumassa dan Saidjah Forum, karya-karyanya telah diputar di berbagai perhelatan filem dan seni rupa, antara lain; Festival Film Dokumenter ke-9 (2009); The Loss of The Real, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung (2010); Decompression #10, Expanding Space and Public, ruangrupa, Galeri Nasional Indonesia – Jakarta (2010); The Decade of Reformation: Indonesian Film/Video, Artsonje Arthall, Korea Selatan; 24 Edition Images Festival, Toronto Free Gallery, Kanada; Selametan Digital, Langgeng Art Foundation, Yogyakarta (2011); Entre Utopia y Distopia-Palestra Asia di Museo Universitario Arte Contemporaneo, Meksiko (2011).

6 Comments

  • bawa tikar pandan ke alun-alun kota. tidak lupa jajan kopi hitam dan kacang pancung. ingatan sy cuma itu setelah tamatnya bioskop apolo. kalau ga salah itu saat itu acara milad lebak. dimeriahkan juga sama pementasan dongeng radio Ua Kepoh. hahaha…

  • Wuiih kang fuad, inget keur basa baheula, lamun rek nonton layar tancep teh kudu ka alun2 kota serang, ach asa kamarina nonton teh padahal geus 35 tahun .mantaafff tulisanna.

  • layar tancep adalah kaenangan manizz waktu masih kecil nonton bareng teman2 sambil makan kacang rebuss.bawa sarung dari rumah itu tandanya nonton layar sampe pagi..

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.