Darivisual Kecamatan: Senen Kota: Jakarta Pusat Provinsi: DKI Jakarta Proyek: akumassa Ad hoc

Seni di Batas Senen

Avatar
Written by Otty Widasari

Seni di Batas Senen_10

Ada peristiwa apa di Senen belakangan ini?

Menurut gambar yang tertayang dari hasil rekaman kamera telepon genggam abang penjual warung di mulut Jalan Kramat Baru, Kecamatan Senen, ada peristiwa sorak sorai tukang-tukang ojek sekitar, tukang somay, petugas cleaning service kantor sebelah dan beberapa orang lewat, atas kemenangan tim kesebelasan Indonesia U-23 saat mengalahkan tim kesebelasan Turki di Stadion Jakabaring, Palembang. Kemenangan hasil adu penalti dengan skor 7-6 tersebut membawa Indonesia masuk ke putaran final piala Islamic Solidarity Games.

Dokumentasi akumassa Ad Hoc: suasana para penonton sepakbola di sebuah warung di Senen ketika laga Indonesia VS Turki. [Foto: Otty Widasari]

Suasana para penonton sepakbola di sebuah warung di Senen ketika laga Indonesia VS Turki. [Foto: Otty Widasari]

Malam itu tanggal 27 September 2013. Saya singgah di sebuah warung di mulut Jalan Kramat Baru untuk membeli air dingin, setelah berjalan kaki menjelajahi sebagian kecil kawasan Senen. Penjaga warung tidak tampak. Warungnya ditinggalkan tak berpengawasan untuk menonton pertandingan semifinal tersebut bersama orang-orang lainnya di pos jaga yang berada tepat di sisi warung. Saya pun ikut tertarik nimbrung menyaksikan adu penalti yang menentukan lolos tidaknya Tim Garuda ke babak final pertandingan bola dalam ajang Islamic Soladirity Games tersebut. Sungguh menarik dan menegangkan. Namun yang paling menarik perhatianku adalah saat si tukang warung yang sepertinya sudah menebak hasil akhir dari pertandingan itu, mengeluarkan telepon genggamnya dan mulai merekam detik-detik akhir pertandingan dengan kamera dari telepon genggam. Bukan laju pertandingan dalam tabung televisi 14 inci yang direkamnya, melainkan situasi dalam kerumunan itu sendiri. Dan di akhir pertandingan di mana kesebelasan Indonesia U-23 berhasil menang, kerumunan tersebut meledak, bersorak, melompat-lompat kegirangan. Si pemilik warung memiliki dokumentasi momen tersebut. Terlepas dari akan diapakan materi video tersebut kelak, pada saat itu, secara subyektif, saya melihat bahwa kesadaran dokumentasi yang dimiliki si pemegang kamera bermain di wilayah seni, di mana peristiwa yang ditangkapnya sebagai momen penting adalah kenyataan lokasi yang terjadi pada saat yang bersamaan dengan tayangan langsung (real time) di televisi.

Wilayah pendokumentasian peristiwa bersejarah bagi bangsa dan negara di bidang olahraga sudah diolah oleh pihak media massa. Pak Warung mengolah wilayah artistik yang lain, yaitu pendokumentasian peristiwa yang ada dalam masyarakat Indonesia yang sedang berbangga.

***

di Kampung Paseban, ondel-ondel selalu melewati lapangan Perintis setiap sore. Anak-anak kecil tidak pernah bosan dengan kebisingan itu. Suara rebab mengalunkan melodi lagu dangdut yang paling hits saat ini, sudah terdengar dari ujung gang sebelah timur lapangan. Ngak ngek ngok … dan anak-anak kecil berlarian menyambutnya dengan gembira. Di ujung bar melodi tersebut, mereka bersorak serempak, “Bukat dikit, JOSS!!” berbarengan dengan pukulan ultima dari gong besar yang dipikul dua orang.

Cuplikan adegan di film "The Rainmaker" [kompilasi karya akumassa Ad Hoc]

Cuplikan adegan di film “The Rainmaker” [kompilasi karya akumassa Ad Hoc]

Ondel-ondel menari, mengitari lapangan Perintis di Kampung Paseban. Yang perempuan berbaju merah jambu dan yang lelaki berbaju biru. Wajah mereka mirip, sama-sama bergaun panjang dan berkain selempang. Hanya berbeda di riasan wajahnya saja saja, ondel-ondel perempuan tidak berkumis. Ondel-ondel besar sekali, tapi tidak seseram yang kusaksikan di lapangan Monas semasa kecil dulu. Kalau dulu tubuhku hanya seperempat tubuh ondel-ondel, sekarang tinggiku lebih dari setengahnya. Pemandangan yang tidak pernah kulihat di masa kecil dulu, adalah saat orang yang ada di balik ondel-ondel kelelahan, salah satu anggota grup membantu mengangkat kerangka tubuh ondel-ondel yang besar sekali itu, lalu si pemain keluar dari dalam kerangka tubuh ondel-ondel untuk digantikan oleh kru lainnya. Adegan itu melenyapkan peran teatrikal sosok ondel-ondel yang seakan hidup sebagai mahkluk fantasia, menjadikan pertunjukan di depan mata kembali pada kenyataan. Aku cukup takjub melihat adegan itu. Anak-anak kecil terus menari mengelilingi ondel-ondel. Ada beberapa anak-anak kecil yang memegang telepon genggam berkamera milik ibunya, bapaknya, atau kakaknya, sibuk memotret dan bahkan merekam pertunjukan ondel-ondel dengan kamera video dari telepon genggam. Adegan pergantian pemain pun tak luput dari tangkapan kamera mereka.

Cuplikan adegan di film "The Rainmaker" [kompilasi karya akumassa Ad Hoc]

Cuplikan adegan di film “The Rainmaker” [kompilasi karya akumassa Ad Hoc]

Dokumentasi itu bisa jadi dihapus saat memori telepon genggam penuh. Atau mungkin orang tuanya juga akan menghapusnya saat dirasa dokumentasi itu tidak penting. Namun tentu saja ada kemungkinan dokumentasi tersebut akan disimpan dan bisa dilihat dua puluh tahun mendatang sebagai sebuah peristiwa masa kecil di Kampung Paseban. Saat warga memiliki serangkaian perangkat pendukung untuk mengarsipkan dokumen yang mereka produksi, kesadaran itu tentu akan tumbuh dengan sendirinya.

Bang Gallis, seniman topeng di Sanggar Budaya Paseban [Foto: Harryaldi Kurniawan]

Bang Gallis, seniman topeng di Sanggar Budaya Paseban [Foto: Harryaldi Kurniawan]

Mba Ira dan Bang Gallis berfoto bersama Harryaldi dan tiga orang anak-anak warga Paseban [Foto: Harryaldi Kurniawan]

Mba Ira dan Bang Gallis berfoto bersama Harryaldi dan tiga orang anak-anak warga Paseban [Foto: Harryaldi Kurniawan]

Di Senen, seni tumbuh seiring dengan datangnya musim hujan di akhir bulan Oktober ini. Dia juga hadir di kamar loteng rumah di ujung gang, melalui ekspresi-ekspresi topeng bikinan Bang Galis, si seniman topeng. Seni juga datang tiap kali rombongan ondel-ondel datang dan menari di lapangan Perintis.

Cuplikan adegan film "To The North" [kompilasi karya akumassa Ad Hoc]

Cuplikan adegan film “To The North” [kompilasi karya akumassa Ad Hoc]

Sementara warga kelas pekerja sedang mengantuk setelah makan siang dan berharap segera tiba waktu bubaran kerja, warga Kampung Tanah Tinggi menikmati hari-hari glamornya dengan berkaraoke dangdut diiringi organ tunggal dan sound-system milik sendiri di teras rumah yang langsung berbatasan dengan bibir kanal. Seni hadir dengan mewahnya di bantaran Kali Sentiong, laksana kehidupan keluarga aristokrat yang tidak harus bekerja keras membanting tulang. Hanya menikmati hari dengan bernyanyi dan melatih merpati balap untuk pertaruhan esok hari.

Suasana kerja di salah satu workshop kaleng yang masih tersisa di Pondok Kaleng {Foto: Andrie Sasono]

Suasana kerja di salah satu workshop kaleng yang masih tersisa di Pondok Kaleng {Foto: Andrie Sasono]

Pak Ukon, salah satu pengrajin kaleng yang masih ada di Pondok Kaleng [Foto: Andrie Sasono]

Pak Ukon, salah satu pengrajin kaleng yang masih ada di Pondok Kaleng [Foto: Andrie Sasono]

Terkadang seni juga hadir di deretan bengkel Pondok Kaleng dari pagi hingga sore, saat banyak pesanan alumunium reklame, neon box atau perkakas dapur. Dentum palu beradu dengan lempengan kaleng, bersaing dengan dengung mesin penghalus kaleng. Komposisi musikal menghasilkan alumunium fungsional.

Pemahaman bahwa seni tidak harus fungsional, bagi saya merupakan ambiguitas, karena biar bagaimana pun dia hadir dengan fungsi pemberi keindahan bagi manusia dan kehidupan. Di sini saya berdiri tepat di garis yang membatasi kehidupan masyarakat dengan pemahaman seni. Perspektif yang terbentuk di kepala saya adalah, bahwa seni tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat sama sekali. Pengalaman mempelajari seni selama sepuluh tahun belakangan ini membawa saya pada kefrustasian, di mana masyarakat awam tidak mampu melihat seni sebagai sebuah ranah dan bidang yang mampu dipahami. Tentu saja ini disebabkan oleh kecacatan sistim pendidikan di negara ini. Sementara dari kalangan seniman pun, mereka selalu tampil di tengah masyarakat sebagai kalangan eksklusif dan berbeda dari masyarakat pada umumnya. Maka saya mengambil keputusan untuk tetap berdiri di garis batas dengan perspektif yang saya sebut di atas, bahwa, sebelum sistim pendidikan (seni) jadi membaik, gerakan pemberdayaan masyarakat harus dibingkai dengan perspektif ke-‘seni’-an, dan di masa sekarang berbasis media atau basis bermedia adalah derap langkah yang harus diambil, karena masyarakat dan media sudah tidak terpisahkan.

***

Menjelang siang, pernikahan kecil berlangsung tidak syahdu di sebuah rumah kecil di gang depan warung kelontong, di Kampung Paseban. Tamu yang hadir hanya sedikit, dan terlihat seperti acara nongkrong-nongkrong biasa, layaknya hari-hari di Paseban. Pengantin perempuan duduk bersila dengan tidak khidmad karena kesusahan duduk bersimpuh terbebani perutnya yang sudah membuncit, siap melahirkan bayinya dua bulan ke depan. Namun dia tetap terlihat cantik.

Makanan dan piring yang tersedia tampak tidak cukup untuk tamu yang hadir. Pengantin pria seperti tidak betah dengan ruitual yang harus dijalani, keluar ruangan paling duluan setelahnya, dan langsung bercengkrama dengan kawan-kawannya di luar pagar rumah sambil merokok. Sungguh tidak ada yang istimewa. Namun perkawinan itu terdokumentasi dengan sempurna sejak awal pengantin perempuan dirias di dalam kamar, hingga acara bubar. Dengan kamera poket berfasilitas perekam audio visual, juga dengan berbatang-batang kamera telepon genggam milik keluarga, rekanan dan warga. Kelak materi itu akan dipotong, disusun dan diperindah menggunakan program komputer rumahan, dipadatkan dalam kepingan DVD, untuk diputar dengan media tayang DVD, untuk dinikmati sebagai sejarah warga.

Seni di Batas Senen_07

Dini hari, para pedagang kue subuh di Pasar Senen berkerumun menonton pertandingan bola Tim Garuda Indonesia yang sedang bertanding live dari telepon genggam milik salah satu dari mereka. Masyarakat dan warga mengambil peran memproduksi informasi layaknya jurnalis atau seniman. Selain itu, salah satu peristiwa yang terjadi di Senen, sebagaimana di wilayah lain, masyarakat dan warga juga mengapresiasi produksi-produksi tersebut dengan keragaman latar belakangnya.

Walaupun kemudian produksi-produksi tersebut tetap harus masuk ke dalam ekslusifitas untuk bisa dilihat sebagai ‘seni’ karena harus ada orang bernama ‘seniman’ yang  membingkainya dengan kepekaan subjektivitasnya, tapi sadarkah mereka, bahwa mereka mendapatkan itu dari masyarakat?

________________________________

Tulisan ini sudah dimuat di dalam Jurnal Akumassa Ad Hoc, berjudul “Seni di Batas Senen” (Forum Lenteng, 2013). Jurnal tersebut merupakan salah satu karya hasil kolaborasi para penulis dari beberapa komunitas yang terlibat dalam proyek akumassa Ad Hoc yang diinisiasi oleh Program akumassa Forum Lenteng, dalam rangka berpartisipasi dalam Jakarta Biennale 2013 – SIASAT.

About the author

Avatar

Otty Widasari

OTTY WIDASARI adalah seorang seniman, penulis, sutradara, dan kurator. Saat ini, ia menjabat sebagai Direktur Program Pendidikan dan Pemberdayaan Media (AKUMASSA) di Forum Lenteng.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.