Darivisual Kecamatan: Pemenang Kota/Kabupaten: Lombok Utara Provinsi: Nusa Tenggara Barat

Pertemuan Ilda dengan Identitas Pemenang

Avatar
Written by Otty Widasari

Tulisan ini adalah bagian dari buku Sebelas Kisah dari Tenggara yang ditulis oleh Muhammad Sibawaihi, Otty Widasari, dan Manshur Zikri, diterbitkan oleh Forum Lenteng pada tahun 2016. Dimuat kembali di situs web AKUMASSA dalam rangka rubrik “Darivisual”.

icung icung pangi gading kali cuang
biola biola makan gola mentaluan peta
ali agem…ali agem…

Bahkan orang-orang tua pun tak tahu pasti arti syair ini. Tapi semua orang bisa menyanyikannya. Tapi sudah melupakannya. Dulu, hanya waktu kanak-kanak saja, mereka menyanyikan syair tersebut sambil bermain. Sekarang anak-anak mereka pergi ke warung internet dan bermain play station. Sedang di rumah mereka hanya menyanyikan lagu populer saja.

Tapi jika kita menyenandungkan sepenggal awal syair itu, mereka yang masih sempat merasakan masa itu langsung teringat keseluruhan syair dan menyanyikannya dengan tatapan menerawang tentang masa kecil yang gembira.

Ahh…! Bapak tahu lagu itu?

Ya, tidak usah ditanya. Itu lagu kebangsaan warga Pemenang!

Terkadang sederet syair bisa memiliki kekuatan membawa ingatan massa melebihi kemampuan visual teknologis. Membongkar ruang kontemplasi manusia. Kekuatan sastra.

Baiq Ilda Karwayu, adalah seorang penulis muda dari Mataram, yang bermain di ranah puisi abstrak, bermain mengolah kata kembali ke dalam bentuk bakunya. Ilda mengembalikan ingatan massa lewat anak-anak usia PAUD dan Taman kanak-kanak dari 4 sekolah di Pemenang untuk menyanyikannya lagu Icung Icung Pangi yang arti syairnya tidak penting lagi, selain memori kolektif yang dibawanya, di Pesta Rakyat Bangsal Menggawe. Para ibu-ibu guru PAUD dan Taman Kanak-Kanak pun ikut gembira menyanyikan kembali lagu masa kecil mereka.

Baiq Ilda Karwayu (tengah) dan Khairunnas Mahadi (kanan) ketika berkunjung ke rumah Kepala Sekolah SDN 7 Pemenang Barat, Ibu Sriwahyuni, tanggal 9 Februari 2016. (Foto: arsip AKUMASSA Chronicle).

Ilda adalah seorang pengamat yang baik. Mengamati sisi terdalam dari keseharian manusia. Walaupun Ilda tampaknya sedikit mengalami kesulitan dalam melakukan aksi turun ke warga karena memang tidak mudah untuk menyatukan wilayah abstrak dengan praktik kehidupan warga, namun Ilda akhirnya menerjemahkan apa itu identitas Pemenang ke dalam kumpulan buku puisinya justru melalui proses “berwarga” teman-teman seniman yang lain.

Ilda bertemu dengan Pemenang bukan secara sosial, melainkan secara abstrak. Ia bertemu dengan sejarah Pemenang, konsep-konsep ideal Pemenang, serta konstruksi-konstruksi yang membangun Pemenang tanpa perlu menyelami lebih jauh kehidupan sosialnya secara praktis. Yang menarik dari proses berkarya Ilda adalah, bagaimana ia menunjukkan bahwa puisi mampu bicara tentang sebuah lokasi, rekaman-rekaman peristiwa, dan terutama karena Ilda dan puisinya dengan cakap menjalin relasi dengan medium seni yang lain yang memang mengalami persinggungan dengan proses kerjanya: video, lukisan, graffiti, pantomim, tarian, lagu, dan lainnya. Tak hanya itu, bahkan Ilda merekam individu-individu pelaku seni tersebut.

Kerja sastra Ilda merangkum peran seorang sastrawan yang melukiskan perasaannya melalui kata-kata, memvisualkan lokasi dan orang-orang layaknya lukisan, merekam kota layaknya graffiti, dan yang terpenting adalah mencatat geliat sebuah kota kecil layaknya seorang jurnalis. Puisi-puisi Baiq Ilda Karwayu adalah sebuah kronik.

Jadi, identitas Pemenang itu ada. Dia tidak menghilang. Dia hanya bersembunyi di balik slogan pariwisata. Dia masih bersenandung dengan lirih di balik dentum musik pesta.

2016

Puisi-puisi oleh Baiq Ilda karwayu.

Epilog

Minggu, 28 Februari 2016. Pukul satu lebih tiga puluh menit.

Laporan melalui handy talkie Hadi kepada Dhoom: Lapangan Guntur Muda Pemenang kosong melompong.

Matahari terik membakar kepala saya, dan Jantung saya berdegup kencang. Seharusnya ratusan masyarakat sudah berkumpul di sana sesuai agenda, pawai akan dimulai pukul dua.

Kemana mereka?

Pukul dua.

Laporan dari Gozali yang sedang berada di rumah Pak Bupati kepada Dhoom: rombongan Bupati Lombok Utara dan Wakil Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat bersiap meluncur ke Bangsal. Akan sampai dalam waktu sekitar tujuh menit.

Dan laporan dari Lapangan Guntur Muda: masih kosong melompong.

Aparat gabungan dari Kepolisian Pemenang dan TNI sudah bersiaga di banyak titik untuk mengawal acara agar berjalan dengan sempurna. Namun, bahkan Pak Camat yang akan mengibarkan bendera tanda pawai dimulai pun kabarnya belum kelihatan batang hidungnya di Lapangan Guntur Muda.

Rupanya warga Pemenang punya kebiasaan, jika akan melakukan pawai yang dimulai siang hari, mereka akan jalan dari rumah masing-masing setelah menunaikan ibadah sholat zuhur. Satu hal lagi yang wajib dilakukan adalah makan siang, agar tidak kelaparan saat pawai. Padahal kami menyediakan lima ratus nasi bungkus yang dibeli dari Inaq Pitu, ibu penjual nasi di sebelah kantor Pasirputih, dengan potongan harga 30 persen ditambah 500 gelas air mineral yang dia sumbangkan secara gratis. Semoga Tuhan memberkati Inaq Pitu.

Pukul dua lebih beberapa menit.

Rombongan pejabat daerah tiba di lokasi yang sudah ditentukan, yaitu di gerbang terminal angkutan umum Bangsal untuk menyambut dan bergabung dengan pawai. Sebelumya sudah ada lebih dulu Bapak Sekretaris Kabupaten, Doktor Lalu Muchsin, tokoh kerukunan antarumat Pemenang, dan beberapa pengawal Bupati dan Wakil Gubernur, yang berpangkat militer namun mengenakan segam batik. Mereka semua menduduki kursi-kursi yang dinaungi tenda kanopi, memandangi ratusan bunga matahari warna-warni Bujangan Urban yang bertebaran di sepanjang tembok pinggir jalan menuju Bangsal.

Akhirnya, pukul setengah tiga.

Laporan Hadi kepada Dhoom: Pak Camat Pemenang sudah mengibarkan bendera tanda pawai dimulai.

Lega. Artinya, tinggal memperkirakan berapa lama ratusan warga ini harus menempuh perjalanan dari Lapangan Guntur Muda sampai ke lokasi tempat kami menunggu yang berjarak kurang dari satu kilometer ini. Tentunya tidak sebentar, membayangkan mereka berjalan kaki dalam barisan berjumlah ratusan. Dalam pawai juga ada anak-anak kecil dan orang-orang tua, yang pasti kecepatan langkahnya tidak sestabil para pemuda. Belum lagi matahari bersinar terik luar biasa.

Mata saya tidak bisa berkedip menatapi ujung jalan simpang Bangsal, di mana seharusnya warga yang berpawai muncul. Waktu hampir pukul tiga. Para pejabat bercengkerama. Saya gelisah, juga anak-anak Pasirputih yang berada di sini bersama saya. Jalan aspal yang memanjang ke arah selatan seperti berasap dibakar matahari. Tiga cidomo yang sudah dihias terparkir rapi di tepi jalan, siap mengangkut rombongan pejabat ke Bangsal beriringan dengan pawai. Namun pawainya belum muncul juga. Saya hanya diam menenangkan diri sambil sesekali menanggapi pertanyaan para bapak-bapak ini …

Akhirnya tepat pukul tiga, suara itu sayup terdengar dan makin jelas dan makin mendekat. Suara lantunan panjang-panjang yang melolong, menyayat dengan mistis, diiringi sayup suara gamelan Sasak.

Barisan Pak Emy dan anak-anak Karang Baru berada di belakang rombongan komunitas Gerbong Tua yang berinisiatif membawa rengka (tandu) yang mereka buat sendiri, berisi penuh makanan sumbangan warga. Warga menyemut menutup permukaan jalan menuju Bangsal. Paling depan sekali Asta dan Saharudin Efendi berpakaian lengkap dengan jas, sarung dan peci, memimpin pawai. Mereka tampak ganteng sekali. Berkoar-koar dengan loud speaker masjid, menyuarakan Bangsal Menggawe dan acara puncak babak final perebutan Piala Bangsal Cup. Masing-masing menenteng seekor kambing. Asta menenteng kambing besar yang akan menjadi milik juara satu Bangsal Cup, dan Sahar menenteng kambing kecil untuk hadiah juara ke dua. Tepat saat melewati rombongan pejabat daerah, rombongan pawai berhenti sejenak, mempersilakan para pejabat ini naik cidomo hias dan bergabung dengan pawai. Pawai pun dilanjutkan. Rombongan pembawa rengka mengawal para pejabat. Asta, Sahar, dan kambing-kambing melanjutkan koar-koar mereka. Rombongan dilanjutkan oleh kelompok Perisean, Pak Emy dan anak-anak memainkan musik gamelan Sasak. Alunan seruling pak Emy berkumandang memenuhi ruang terbuka melalui loud speaker yang menjulang tinggi disambungkan oleh sebuah tiang panjang ke alat pengatur suara bertenaga baterai.

Suara musik Perisean bersahutan dengan musik dari grup Rudat Perempuan, yang disambut dengan nyanyian anak-anak PAUD dan Taman Kanak-kanak. Lalu barisan tegap Rudat pimpinan Zakaria melengking bersalawat gembira. Jabo mengenakan seragam Rudat dan menari bersama mereka. Drumband anak-anak SMA, gambus, kasidahan, dan semua bebunyian yang ada di Pemenang memenuhi udara.

Barisan pawai terus mengular membelah kota Pemenang. Jumlahnya jauh melebihi perkiraan kami tentang partisipasi warga. Bukannya 500 orang seperti jumlah nasi bungkus dan air mineral yang disediakan Inaq Pitu. Tapi lebih dari seribu orang dari berbagai elemen masyarakat terlibat dalam pawai. Semoga Tuhan memberkati partisipasi warga.

Di Bangsal.

Semua seni yang ada di Pemenang saling mengambil panggungnya, bersahutan, bergembira, berpesta. Awan mendung  yang sering singgah di wajah Zakaria, kini menghilang. Tampan, dengan seragam kostum Rudat merahnya dia menari dan merawikan salawat bersama Sanggar Panca Pesona sambil tersenyum lebar. Teks-teks pemenang mengitari Bangsal di atas plang-plang papan karya Sulung dan warga diusung oleh anak-anak dari kelompok Pencak Silat. Anak-anak Karang Baru menarikan tarung Perisean diiringi seruling pak Emy dan gamelan Sasak. Warga bebas mengambil buku kumpulan puisi milik Ilda dan komik The Broy yang disediakan di dekat Syah Bandar. Dari dalam ruang tunggu Syah Bandar, video klip Kelompok Musik Gambus milik Madun karya Wahid di putar di TV flat yang terpanjang di dinding, berselingan dengan serial Montase Air milik Gelar, berikut video yang menayangkan iklan Bangsal Cup yang dibuat Hamdani, dan video-video anggota Komunitas Pasirputih dalam rangkaian workshop yang diberikan oleh Gelar. Di atas panggung, kelompok  perempuan Qasidah Al Iqro’ menyanyikan Mars Pemenang yang diciptakan oleh Wahid Hasyim, si pengusaha televisi kabel dan Muhammad Sibawaihi, anggota Pasirputih, diiringi permainan keyboard Wahid.

Bupati Lombok Utara, Bpk. Najmul Akhyar, dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat, Muhammad Amin, memasuki area Pelabuhan Bangsal pada acara Bangsal Menggawe: Membasaq (28 Februari 2016).

Tak masalah apa yang diberikan dalam kata sambutan Pak Wakil Gubernur NTB tentang pentingnya sektor pariwisata Lombok Utara, warga tetap sukacita berpesta. Warga memiliki hajatannya sendiri. Para street artist berdemo menggambari seonggok baja sebesar bekas penopang dermaga yang sudah berkarat dan mengotori pemandangan bangsal sejak lama. Sebelumnya benda itu berdiri kokoh di sudut Pelabuhan bersama tumpukan sampah. Tapi semalam warga membersihkan semua sampah itu. Kini dia jadi berwarna secerah matahari.

Di dinding lebar kantor Syah Bandar terpajang sekitar lima ratusan sketsa charcoal wajah warga Pemenang yang dilukis oleh Jatul. Warga mengerumuninya dengan takjub. Ada yang mengambil wajahnya sendiri. Ada yang mengambil sketsa wajah gadis cantik. Ada yang mengambil satu, dua, dan ada yang mengambil berlembar-lembar sketsa wajah-wajah itu untuk dibawa pulang.

Para pedagang Bangsal menangguk rezeki seperti di masa lalu. Bangsal menjadi tempat berkumpul warga kembali. Semoga Tuhan Memberkati Bangsal.

Bupati Lombok Utara, Bpk. Najmul Akhyar, membacakan Wasiat Pemenang, tanggal 28 Februari 2016.

Wasiat Pemenang kolaborasi Ismal dan warga Pemenang dibacakan oleh Bupati, yang kemudian membawanya ke ujung dermaga untuk diletakkan di monumen gapura yang baru terpasang. Dengan salawat dan tarian, Zakaria dan Kelompok Rudatnya mengiringi perjalanan Bupati menuju ke ujung dermaga.

Syair masa kanak-kanak di Pemenang dinyanyikan anak-anak Paud dan Taman Kanak-kanak.  Sampai di bait kesekian, serentak warga ikut menyanyikannya. Syair-syair yang setara dengan lagu kebangsaan bagi warga Pemenang. Di tiap sudut, tampak anak-anak kecil berkostum hitam sampai ke kaki dengan wajah putih riasan pantomim. Mereka menyandang karung goni penampung sampah pesta yang berukuran sebesar tubuh mereka dan berkeliling Bangsal memunguti sampah sambil sesekali melakukan gerakan-gerakan muslihat pantomim. Nash bersama mereka, melakukan hal yang sama.

Tepat pukul lima.

Warga bergerombol menuju pantai sebelah timur. Babak final perebutan piala Bangsal Cup dimulai. Yang berpesta tetap melanjutkan kegembiraannya. Menyanyi, menari, ataupun jajan. Anak-anak kecil sudah lebih dulu berlarian memenuhi pantai untuk berenang dan meta keke (mencari kerang), dengan posisi tubuh memunggungi tiga gili. Posisi tubuh yang memang sudah begitu sejak dulunya.

Lebih dari lima ribu orang menghadiri pesta rakyat Bangsal Menggawe. Bukan pestanya, tapi partisipasi warganya yang paling penting bagi Kota Pemenang. Partisipasi yang datang dari keinginan warga sendiri. Itu yang tidak mudah didapat di tempat lain. Di latar bukit sana, Gunung Rinjani diliputi kabut. Di pantai utara, matahari bersinar terang hingga menjelang senja. Seperti memberi lebih banyak waktu untuk warga berpesta gembira.

***

Lalu, apa bedanya masyarakat awam dengan masyarakat yang menyandang gelar seniman? Tidak ada. Mereka sama-sama warga masyarakat yang mendiami lokasi sosial. Yang membedakan hanyalah profesinya, yang tersemat sebagai peran-peran. Peran warga adalah mengangkat martabat kehidupan bersama. Dan peran senimanlah untuk menjadi panitianya. Semoga Tuhan memberkati para seniman.

Amin.

Cibubur, 24 Mei, 2016

About the author

Avatar

Otty Widasari

OTTY WIDASARI adalah seorang seniman, penulis, sutradara, dan kurator. Saat ini, ia menjabat sebagai Direktur Program Pendidikan dan Pemberdayaan Media (AKUMASSA) di Forum Lenteng.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.