DKI Jakarta

Para Pengamen di Kereta Terakhir

Domino adalah sebuah permainan kartu generik (dimainkan oleh semua kalangan). Domino tertua dibuat sekitar tahun 1120 Masehi di Negara-negara Barat, tetapi menurut sejarahnya permainan ini kemungkinan besar berasal dari Cina. Awalnya Domino hanya terdiri dari 21 kartu (atau 21 batu Domino), yang mana angka-angka tersebut (contohnya 2-3, 2-6,3-6 dan sebagainya) merupakan hasil dari pelemparan dua dadu. Domino khas Cina ini umurnya lebih lama daripada domino orang-orang Eropa. Selanjutnya, permainan domino Cina ini berkembang menjadi permainan Mah Jong, yang menjadi populer di Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1920-an.  Permainan Domino mulai dikenal di Eropa pada awal abad ke-18, yang pertama kali dimainkan di Italia. Berbeda dengan Domino Cina, Domino Eropa memiliki tambahan tujuh kartu, yaitu enam kartu yang terdiri dari kombinasi angka single die, seperti 0-1, 0-2, 0-3, dan seterusnya dan satu kartu 0-0.

Domino

Domino

Domino ini pun menjamah Indonesia, kemungkinan besar dibawa oleh para penjelajah dari Eropa yang singgah di kepulauan Indonesia. Sebagian besar di Indonesia, terutama di Jawa, permainan Domino lebih dikenal dengan nama Gaple. Kombinasi angka pada Gaple sama dengan Domino, namun bentuk fisiknya bukan batu, melainkan kartu kertas. Aturan permainan dan jumlah kartunya sama halnya dengan Domino di Eropa.

 

Berbicara tentang Gaple, aku pernah mendengar cerita dari temanku, Dani. Dia pernah melihat sekelompok orang bermain Gaple di kereta ekonomi dari Jakarta menuju Bogor. Menurut ceritanya, waktu itu dia sedang berada di dalam kereta menuju pulang ke Lenteng Agung. Dia melihat kerumunan orang-orang di satu titik, lalu dia mendekati kerumunan itu. Ternyata di sana sedang terjadi sebuah pertandingan Gaple, yang dimainkan oleh empat orang laki-laki. Keempat orang itu berdiri, dan ada seorang wanita yang duduk. Paha wanita tersebut dilapisi kain, dimana itu dijadikan meja untuk menyusun kartu. Setelah mendengar cerita dari Dani, aku menjadi penasaran. Akhirnya aku memutuskan untuk membuktikan cerita Dani.

Suasana di Stasiun Lenteng Agung

Suasana di Stasiun Lenteng Agung

Sabtu, 10 April 2010, aku, Dani dan Zikri, berangkat dari Forum Lenteng ke Stasiun Lenteng Agung dengan berjalan kaki. Tujuan utama kami ke stasiun itu adalah para pemain Gaple, yang sering bermain di kereta ekonomi saat jam kerja dan penjual uang kuno di Stasiun Lenteng Agung. Waktu menunjukkan pukul 16.00 WIB sehingga jalan raya cukup ramai disebabkan oleh arus para pengguna jalan dari Jakarta Kota menuju Depok saat jam pulang kerja. Sesampainya di Stasiun, kami langsung membeli tiket menuju Jakarta, karena kami ingin berangkat menuju Stasiun Cikini.

Beberapa orang sedang menunggu kereta di Stasiun Lenteng Agung

Beberapa orang sedang menunggu kereta di Stasiun Lenteng Agung

Sementara menunggu kereta ekonomi yang menuju Jakarta datang, kami mendekati kios jual-beli uang kuno. Pada saat itu, pemilik kios uang kuno itu tidak terlihat di kiosnya. Cukup lama kami mencari si pemilik kios, namun si pemilik kios tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Akhirnya kami bertanya kepada anak-anak yang sedang asyik bermain kelereng di depan kios tersebut. mereka mengatakan bahwa orang yang jaga adalah abang yang sedang berdiri di depan kios buku yang berjarak dua kios dari kios jual-beli uang kuno itu. Mereka pun memanggil abang tersebut, dan saat kami menanyakan perihal si pemilik kios, yang bernama Mardiyanto (kami mengetahui namanya dari kartu nama yang didapat oleh Zikri dari si pemilik toko sendiri, saat dua hari sebelumnya dia sempat mengobrol dengan Pak Mardiyanto). Dan menurut keterangan si abang penjaga  kios buku (yang tidak sempat kami tanya siapa namanya), Pak Mardiyanto sedang ada urusan di tempat lain sehingga kios itu dititipkan kepadanya. Karena gagal bertemu dengan Pak Mardiyanto, akhirnya Zikri dan Dani hanya bertanya tentang harga-harga uang kuno yang dipajang di sekililing dinding kios.

Kios Jual-Beli Uang Kuno di Stasiun Lenteng Agung

Kios Jual-Beli Uang Kuno di Stasiun Lenteng Agung

Uang Kuno yang dipajang di dinding kios

Uang Kuno yang dipajang di dinding kios

Kereta ekonomi yang kami tunggu akhirnya datang juga. Kami langsung naik ke kereta itu. Kereta tersebut cukup padat, mungkin karena jam pulang kerja. Saat di dalam kereta, tidak ada hal menarik yang kami temui, apalagi orang-orang yang bermain Gaple. Sekitar pukul setengah tujuh, kami tiba di Stasiun Cikini. Kami sempat bingung apa yang akan kami lakukan di stasiun tersebut. Menurut rencana awal, kami akan bertemu dengan teman kami, Sabil, yang ingin ikut serta mencari orang-orang yang bermain Gaple. Akan tetapi si Sabil tidak kunjung terlihat. Akhirnya kami sepakat untuk kembali ke Stasiun Lenteng Agung, ingin mencoba sekali lagi memperhatikan suasana di dalam kereta, berharap akan menjumpai orang-orang yang bermain Gaple. Pergilah Dani membeli tiket menuju Lenteng Agung.

Stasiun Cikini

Stasiun Cikini

Cukup lama kami menunggu kereta menuju Lenteng Agung itu. Sekitar pukul tujuh, kereta ekonomi tersebut datang, kami pun segera naik dan langsung menuju gerbong paling belakang. Ternyata, semakin ke belakang gerbong semakin padat oleh penumpang sehingga kami tidak bisa bergerak sama sekali.  Harapan kami pupus sudah untuk menemukan para pemain Gaple, kami hanya bisa berdiri dengan hati kecewa menanti kereta berhenti di Stasiun Lenteng Agung.

Sesampainya di Stasiun Lenteng Agung, rasa penasaranku sama sekali belum terobati. Akhirnya aku dan Zikri memutuskan untuk  kembali menaiki kereta menuju Stasiun Jakarta Kota, dengan harapan kami akan menemukan para pemain Gaple tersebut, sedangkan Dani pulang ke Forum Lenteng. Akan tetapi aku dan Zikri tidak membeli tiket baru, karena tiket kami yang sebelumnya masih utuh, sepertinya masih bisa digunakan, karena penjaga tiket tidak memeriksa (merobek) tiket kami.

Datanglah kereta ekonomi menuju Jakarta, dan ternyata kereta ekonomi yang kami naiki tersebut adalah kereta ekonomi terakhir pada hari itu. Kereta masih cukup padat, tetapi tidak sepadat kereta sebelumnya, kami masih bisa leluasa bergerak. Di dalam kereta, banyak aktivitas yang terjadi. Para pedagang, seperti pedagang jeruk, pedagang aksesoris, minuman, tahu, dan sebagainya mondar-mandir dari gerbong ke gerbong menjajakan barang dagangan mereka.

Mahasiswa yang cekakak-cekikik di dalam kereta

Mahasiswa yang cekakak-cekikik di dalam kereta

Di dalam gerbong yang kami naiki itu, terdapat beberapa mahasiswa yang cekakik-cekikik menyerukan kata-kata orasi (pidato formal atau komunikasi oral formal yang disampaikan kepada orang banyak), seperti orang-orang sedang melakukan aksi demo. Menurutku, sepertinya mereka memang habis berdemo, tetapi entah di mana mereka melakukan aksinya. Namun, Zikri malah mengatakan mereka adalah salah satu contoh alay Kota Jakarta. Alay adalah istilah atau singkatan dari anak lebay, yaitu remaja yang berekspresi, berbicara, bertingkah dan bergaya (berpakaian) secara berlebihan. Dan memang, dari penampilan dan gelagatnya, wajar saja Zikri berpendapat seperti itu. Salah satu laki-laki dari mahasiswa itu, mencoba menggoda salah satu penumpang wanita berumur sekitar 17-19 tahunan. Laki-laki itu meminta nomor telepon dan memotret wanita itu secara (menurutku) paksa. Akan tetapi, sepertinya wanita itu memberikan nomor teleponnya kepada laki-laki itu. sesaat kemudian wanita itu turun, entah di stasiun mana.

Dapet cewek lagi nih gue,” kata laki-laki itu ketika wanita itu turun dari kereta.

 

“Norak banget, sih, cowok itu,” kataku dalam hati sementara Zikri hanya tertawa memperhatikan mereka.

Karena keasyikan memperhatikan para mahasiswa tersebut, aku lupa dengan tujuan utama mengapa kami menaiki kereta ekonomi terkahir itu, yaitu mencari orang-orang yang bermain Gaple. Lagipula pada saat itu rasa penasaranku terhadap para pemain Gaple yang diceritakan oleh Dani teralihkan ketika aku mendengar suara musik dangdut dari gerbong sebelah. Bukan hanya aku, rata-rata para penumpang yang ada di gerbong tempat aku berdiri menjulurkan lehernya mencari asal suara musik dangdut itu. Seketika Zikri berseru,

Eh, ada dangdutan di kereta! Wah, akumassa banget nih! Ke sana, yuk!”

“Tunggu aja deh, entar juga ke sini!” kataku.

Para musisi dangdut sedang beraksi

Para musisi dangdut sedang beraksi

Benar saja, beberapa saat kemudian, saat musik itu berhenti, beberapa orang dari gerbong sebelah berjalan menuju gerbong kami dengan membawa peralatan musik, seperti gitar, gendang, organ, dan (yang membuat aku kaget tidak percaya) speaker serta accu yang berfungsi sebagai pemasok listrik untuk menyalakan alat musik listrik mereka. Kami segera mengeluarkan kamera dari dalam tas, bermaksud untuk memotret aktivitas mereka yang, menurut pendapatku pribadi, aktivitas tersebut adalah sesuatu yang unik. Sementara Zikri masih sibuk dengan kameranya, aku segera berjalan mengikuti mereka ke tengah gerbong dan langsung duduk di bangku, di depan organ mereka.

Accu yang digunakan oleh para musisi dangdut kereta

Accu yang digunakan oleh para musisi dangdut kereta

Kenapa aku mengatakan dangdut yang saat itu aku saksikan adalah hal yang unik? Aku sering mendengar lagu dangdut, baik itu di angkot atau di tempat-tempat umum seperti stasiun, pasar, atau di dalam kereta. Akan tetapi yang sering aku saksikan adalah dangdut yang dinyanyikan oleh para pengamen dengan alat gitar biasa (kayu) atau ukulele. Atau kalau pun memang dengan alat listrik, palingan hanya pengamen yang membawa tape dengan pengeras suara (microphone), kemudian bernyanyi diiringi musik tanpa lirik, persis seperti orang karaokean. Sementara pada malam itu, aku mendengar lagu dangdut di dalam kereta yang dimainkan dengan alat-alat listrik yang sering digunakan di atas panggung (gitar listrik, bass, gendang, organ, bahkan ada mixer pengaturnya). Apalagi si pengamen sampe membawa accu yang pastinya berat untuk dibawa ke mana-mana. Oleh karena itu, aku menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang unik. Demi mencari uang, orang mau repot-repot membawa perlengkapan sebanyak itu. Dan yang lebih membuat aku tertarik adalah mereka memainkan lagu dangdut, kenapa tidak lagu rock atau jazz saja?

Sang 'primadona' orkes dangdut di kereta (mengenakan kaos putih)

Sang 'primadona' orkes dangdut di kereta (mengenakan kaos putih

Memang, lagu dangdut adalah lagu yang sangat erat dengan masyarakat umumya. Ada yang bilang bahwa dangdut adalah lagu rakyat (Zikri yang mengatakannya kepadaku, aku tidak tahu dia mendapat informasi dari mana). Pernyataan dari Zikri itu mendorongku untuk mencari informasi tentang dangdut itu sendiri di media online, beberapa saat sebelum aku menulis tulisan ini.

Dari informasi yang aku dapat, dijelaskan bahwa dangdut merupakan salah satu seni musik yang berkembang di Indonesia. Musik dangdut ini merupakan turunan dari musik melayu pada tahun 1940-an. Dalam evolusi menuju bentuk kontemporer sekarang masuk pengaruh unsur-unsur musik India (terutama dari penggunaan tabla) dan Arab (pada cengkok dan harmonisasi). Penyebutan nama ‘dangdut’ merupakan onomatope (menirukan bunyi) dari suara permainan tabla (dalam dunia dangdut disebut gendang saja) yang khas dan didominasi oleh bunyi dang dan ndut. Dibandingkan dengan musik lainnya, musik dangdut sifatnya lebih merakyat, karena dinikmati oleh semua kalangan. Selain itu, aku juga pernah mendengar bahwa lagu dangdut adalah suatu bentuk perlawanan, oleh Rhoma Irama, terhadap gaya hidup saat itu. Dia menganggap bahwa, bukan hanya kelas elit saja yang bisa menikmati musik, masyarakat kelas bawah juga bisa. Saat musik rock ‘n roll melanda Indonesia, dia bertekad dalam hati, “Elvis bisa menjadi raja dengan gitarnya, saya juga bisa dengan gitar saya (dengan lagu dangdut, tentunya!)” Suatu tekad yang mulia, menurut pendapatku.

Kembali kita kepada para pengamen dangdut tadi. Pada saat para musisi dangdut itu mulai menyanyikan lagu mereka, Zikri mengabadikannya dengan kamera. Ternyata bukan hanya Zikri, beberapa dari penumpang lain juga ikut mengabadikan momen tersebut denga kamera handphone yang mereka miliki. Saat aku bertanya kepada mereka, ternyata kelompok musisi dangdut tersebut juga sering manggung di acara-acara pesta (pernikahan dan khitanan). Akan tetapi mereka terkadang ngamen di kereta saat tidak ada jadwal manggung, itung-itung buat cari penghasilan tambahan. Antusias para penumpang menyaksikan aksi para musisi dangdut di dalam kereta itu lumayan besar. Malahan ada di antara mereka yang ikut berjoget mengikuti irama lagu. Para pemain musik, seperti gitar dan organ, juga sangat mahir memainkan musik dangdut yang mereka bawakan, sementara ‘primadona’ atau si penyanyi menyanyikan lagu dengan baik, namun tidak terlalu serius.

Di sebelah kiriku, ada dua anak laki-laki berumur sekitar 15-17an, salah satunya memegang gitar kecil (ukulele). Ketika aku sedang memotret para pengamen dangdut, anak yang memegang ukulele yang akhirnya kuketahui bernama Adi, bertanya,

Buat apaan, Mbak? Wartawan, ya?”

Enggak buat apa-apa, pengen aja. Emangnya mesti wartawan, ya, yang boleh foto?” jawabku. Adi dan temannya bernama Rizki tertawa. Akhirnya aku dan kedua anak itu mengobrol banyak dengan iringan lagu dangdut berjudul ‘Perpisahan’.

Para pengamen ukulele. Rizki (bertopi) dan Adi (sedang memegang ukulele)

Para pengamen ukulele. Rizki (bertopi) dan Adi (sedang memegang ukulele)

Ternyata kedua anak itu juga pengamen. Bedanya, mereka berdua biasa ngamen di angkot-angkot. Mereka berada di kereta itu bukan untuk mengamen, hanya untuk menghibur diri, karena seharian ini mereka mendapatkan hasil ngamen yang sedikit. Adi adalah seorang anak yang ayahnya sudah meninggal, dia hanya lulusan SD. Sedangkan Rizki adalah seorang anak dari keluarga bermasalah atau biasa disebut brokenhome, dan dia sudah lama tidak pulang ke rumah. Mereka berdua menetap di Pasar Minggu. Mereka pun sempat bertanya apakah aku adalah orang yang pernah menanya-nanyai tentang rumah singgah. Aku menjawab bukan.

“Emang ditawarin masuk ke rumah singgah sama orang itu?” tanyaku.

Enggak, kemaren Si Mbak itu cuma nanya-nanya aja,” jawab Adi.

Pengamen dangdut telah selesai mendendangkan lagu mereka. Mereka langsung membenahi alat-alat ngamen dan kemudian turun di Stasiun Gondangdia. Aku dan Zikri tidak sempat berbincang dengan para pengamen dangdut itu.

Saking asyiknya dengan para pengamen, aku dan Zikri lupa tentang para pemain Gaple yang kami cari. Tanpa sadar kami sampai di Stasiun terakhir, yaitu Stasiun Jakarta Kota. Kami pun berpisah dengan ke dua pengamen ukulele itu, yang akan melanjutkan perjalanan menuju Pasar Minggu, tempat tinggal mereka kini. Saat kami turun di Stasiun Jakarta Kota, rasa penasaranku terhadap fenomena permainan Gaple di dalam kereta, sesungguhnya, masih ada, tetapi saat itu rasa penasaran itu sedikit terobati dengan pengalaman melihat dangdutan di dalam kereta dan perbincangan ringan dengan dua orang pengamen ukulele. Aku pun berpikir, kalau malam itu aku tidak bertemu dengan orang-orang yang bermain Gaple, mungkin lain  waktu aku akan menjumpai mereka.

“Terus, kita mau ngapain, nih?” tanyaku seketika.

“Ngapain, ya?” Zikri menggaruk-garuk kepala.

“Ke Kota Tua aja, yuk! Kali aja di sana kita bisa ketemu sesuatu yang menarik!”

Kami pun melanjutkan perjalanan ke Kota Tua, melihat suasana Kota Tua di malam hari.

 

About the author

Avatar

Dian Komala

Dian Komala, akrab disapa Ageung, tinggal di Parungkuda, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sehari-harinya ia bekerja sebagai buruh pabrik wig di Parungkuda. Ageung turut aktif di Forum Lenteng dalam Program akumassa, untuk lokasi dampingan Lenteng Agung (Jakarta Selatan) dan Depok. Selain menjadi salah satu penulis aktif di jurnal online www.akumassa.org hingga sekarang, Ageung juga mengelola blog pribadi, bernama www.dariwarga.wordpress.com, yang mengangkat narasi-narasi warga Parungkuda, khususnya warga masyarakat yang tinggal di sekitar rumahnya.

2 Comments

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.