Jurnal Kecamatan: Rangkasbitung Kota/Kabupaten: Lebak Provinsi: Banten

Konversi Minyak Tanah ke Bahbir

Avatar
Written by Badrul Munir
Di depan rumah ini sama saja seperti 10 tahun yang lalu ketika duduk bersama dengan teman-teman sekampung dan sepermainan. Biasanya  sambil minum kopi kami berbincang tentang masa depan yang suram dan tak jelas arahnya. Tapi dulu tak banyak debu kasar yang berterbangan seiring angin bertiup ke arah depan rumah dan tak sebising sekarang yang setiap jam bahkan per 15 menit sekali terdengar deru mesin mobil serta dentuman kayu yang beradu ketika dilemparkan oleh tukang bongkar kayu.

Kayu sisa potongan (bahbir)

Kayu sisa potongan (bahbir) di depan rumahku.

Suara-suara itu cukup mengganggu ketenangan perbincanganku dengan salah satu bos penampung kayu sisa potongan (bahbir) yang duduk dengan kaki ditopangkan ke sebelahnya, sebentar-sebentar ia mempermainkan kunci motornya yang baru dengan mengetuk-ngetukan ke atas meja plastik yang sudah agak lapuk dan hilang warnanya.

Namanya Atay, sering pula disapa Ombi. Dialah salah satu bos tahu yang paling maju dan penampung kayu sisa potongan atau  bahbir. Ia  siap menampung berapa mobil pun yang datang membawa bahbir. Hari itu kami sedang berbincang di depan teras rumah orang tuaku yang berada di Muara Kebon Kelapa yang dulunya adalah perkebun kelapa milik Tuan Sloten, orang Belanda pada jaman penjajahan dulu.

Ketika perbincangan mulai seru, aku bertanya kepada Atay,

“Kapan sih awalnya pabrik tahu berganti bahan bakar dari minyak tanah menjadi kayu bakar?

“Ya sejak minyak mahal,” jawabnya.

“Kenapa gak pakai gas elpiji?”

“Takut meledak dan gak aman,” katanya sambil mengusap-usap kunci motor ke dagunya yang berjenggot jarang.

Aku pun melanjutkan pertanyaanku untuk memuaskan rasa penasaran di kepala. Aku bertanya tentang kekurangan dan kelebihan kayu bakar dan minyak tanah, ternyata memang mempunyai perbedaan yang sangat  signifikan dalam sisi keuntungan finansial, bahkan sampai dua kali lipat. Dengan harga 30 liter minyak tanah (Rp.7.000 per liter) Atay bisa mendapatkan satu mobil kayu bakar yang dapat memproduksi tahu lebih banyak hingga dua kali lipat.

Tak terasa hari mulai menjelang sore, mobil-mobil pick up kecil pun terus berdatangan membawa kayu sisa potongan gelondongan. Terlihat Arip, salah satu tukang bongkar kayu, ia tersenyum girang ketika ditanya oleh Atay, “Banyak order nih, Rip?”

“Lumayan lah,” jawab Arip.

Kayu bahbir sedang bongkar muat

Proses penurunan kayu dari  mobil pick up

Memang banyak manfaat ketika bahbir mulai mengganti peranan minyak tanah. Para pemuda atau para pengangguran yang berada di sekitar kampung ikut mendapat manfaatnya, karena dari satu mobil pick up kayu bahbir yang datang, membutuhkan sedikitnya 3 orang untuk proses penurunan kayu sampai tiba di pabrik tahu. Awalnya kayu diturunkan di samping jalan depan rumah orang tuaku dan dimintai ongkos parkir atau biaya menyimpan kayu sebesar Rp.3000,- per mobil. Selain itu dikenakan pula biaya bongkar kayu dari mobil sebesar Rp. 7000,- hingga Rp. 10.000,- serta ongkos membawa kayu dengan gerobak menuju pabrik tahu Rp.20.000,- per mobil. Prosesnya agak panjang karena mobil pick up tidak bisa masuk langsung ke dalam pabrik tahu dikarenakan jalannya yang kecil dan rawan longsor. Maklum lah Kampung Muhara Kebon Kelapa berada tepat di samping Sungai Ciujung dan Ciberang, dikarenakan banyak penebangan pasir liar, maka sering sekali terjadi longsor dan banjir karena abrasi dan aus.

Bahbir diangkut menggunakan gerobak menuju pabrik tahu

Bahbir diangkut menggunakan gerobak menuju pabrik tahu

Jenis bahbir yang tersedia ada berbagai jenis, di antaranya kayu albasiah, karet, mahoni hingga kayu sebrang, tergantung pembeli atau penampung kayu yang memesannya. Harga kayu bahbir per mobil Rp. 180.000,- sampai Rp.220.000,- tergantung dari jenis kayu bahbir itu sendiri.

Terkadang kayu bahbir itu menggunung di pinggir jalan karena banyaknya pesanan atau stok untuk pabrik tahu. Melihatnya membuat pikiranku terus bertanya-tanya “Berapa pohon setiap hari yang ditebang dan dari mana saja sumber kayu ini?”

Aku pun bertanya pada setiap supir mobil pick up yang datang, ternyata mereka semua datang dari sekitar Kabupaten Lebak yang berbeda kecamatan, ada yang datang dari Kecamatan Cimarga, Leuwidamar, Sajira, Warunggunung, dan lain-lain. Per harinya ada 15 hingga 30 mobil yang datang, tergantung kayu yang ada di sumber kayu atau disebut pemotongan.

Kayu bahbir dipakai sebagai pengganti minyak tanah untuk produksi di pabrik tahu

Kayu bahbir dipakai sebagai pengganti minyak tanah untuk produksi di pabrik tahu.

Ketika aku pergi ke rumah temanku di Kota Serang, yang orangtuanya berjualan kayu bakar bahbir, ia pun mengaku membeli bahbir dari Lebak untuk dijual kembali. Maka dari situ aku berpikir, ternyata Lebak adalah salah satu penghasil kayu bahbir atau kayu sisa-sisa potongan terbesar di Banten, selain menjadi penghasil bambu yang terbesar pula.

Hari pun semakin gelap, karena waktu sudah pukul delapan malam. Kopi hangat serta buku yang sedikit lapuk yang aku pinjam dari perpustakaan Saidjah Forum menemaniku duduk di teras, di kursi karet yang terbuat dari ban bekas.

Ketika mulai membuka lembaran buku, terdengar lagi  deru mesin mobil serta suara keras dari pintu mobil yang ditutup, sesaat kemudian terdengar panggilan “Rip, Rip, Rip!” suara supir mobil  pengangkut bahbir memanggil Arip yang merupakan adik tiriku. Ia sedang asyik dengan telepon genggamnya sambil meng-update statusnya di jejaring sosialnya. Mendengar namanya dipanggil, Arip bergegas berganti baju dan celana dengan pakaian dinasnya, yaitu baju dan celana kotor yang dari siang tadi ia pakai untuk bongkar kayu bahbir.

Terkadang hingga pukul 11 malam pun mobil-mobil pick up masih saja berdatangan. Aku pun tidak jadi melanjutkan niatku membaca buku, karena supir mobilnya duduk di sebelah kursiku. Terjadilah percakapan seputar bahbir.

Aku memulai dengan menyapa kabar, “Kemana aja nih Kang Ajat?”

Kang ajat merupakan supir angkut bahbir yang cukup akrab denganku karena seringnya ia mengirim kayu bahbir ke kampungku. Arip pun jadi tukang bongkar kayu langganan mobilnya, karena di sekitar rumahku ada 3 orang yang siap membongkar kayu dari mobil selain Arip. Bahkan para tengkulak pun mulai merebak seiring lahan baru untuk penyimpanan kayu diperluas. Halaman rumah tetanggaku dibongkar dan dijadikan tempat penyimpanan kayu bahbir yang per mobilnya dihargai Rp.3000,-.

Selain Atay ada pula Bapak Aning, tetanggaku, yang juga menjadi penampung kayu karena beliau mempunyai pabrik tahu sendiri. Setiap hari ia nongkrong di halaman rumahku sambil menunggu mobil kayu bahbir datang. Karena kalau terlambat menyambut supir, para tengkulak siap menyerobot, Udin dan Kurek adalah nama tengkulaknya, yang sering bercanda dan saling ejek denganku karena mereka adalah temanku sendiri. Penghasilan mereka cukup lumayan apabila dapat membeli 5 hingga 10 mobil kayu bahbir, karena per mobil mereka mendapatkan keuntungan Rp.15.000,- sampai Rp.25.000,- dengan menjual kembali kayu bahbir ke bos –bos pabrik tahu yang jumlahnya mencapai 15 saat ini, dan 1 buah pabrik tempe. Setiap pabrik dapat menghabiskan 1 sampai 2 mobil kayu bahbir per hari untuk produksi tahu.

Bahkan potongan–potongan kayu yang lebih kecil, sisa pembongkaran dari mobil, dapat dijual dengan mengikatnya menjadi sebongkah kayu-kayu kecil yang dihargai Rp.2000,- per ikat. Arip adalah orang yang paling rajin mengumpulkan potongan-potongan kecil sisa pembongkaran, karena dari situ ia bisa mendapatkan uang lebih untuk menambah modal berjualan pulsa. Kadang potongan kayu-kayu kecil itu dimanfaatkan oleh orang tuaku untuk bahan bakar, karena orang tuaku masih senang menggunakan kayu bakar walaupun Gas Elpiji sudah tersedia di dapur. Menurut mereka, rasa masakan menggunakan kayu bakar lebih nikmat dan beda dibanding jika dimasak menggunakan gas.

Sampai detik ini, apabila Gas Elpiji habis dan salah satu dari keluargaku membeli yang baru, tidak ada satu pun dari mereka yang bisa dan berani memasang Gas Elpiji ke kompor. Sampai terkadang aku heran, padahal aku sudah sering memberi contoh proses mengganti gasnya. Bukan hanya keluargaku, namun sebagian besar masyarakat di kampungku masih menggunakan kayu bakar sebagai pengganti minyak tanah. Dikarenakan lebih murah dan masih banyak warga yang sangat takut dengan menggunakan gas 3 kilo hasil konversi pemerintah. Apalagi setelah banyak tersiar kabar di televisi tentang banyaknya gas yang meledak, maka kayu bakar bahbir pun menjadi semakin laris.

About the author

Avatar

Badrul Munir

Dilahirkan pada 16 April 1978. Menyelesaikan studi Hubungan Masyarakat di LP3I tahun 2000 dan studi Ilmu Dakwah di STITDA – Lebak tahun 2008-2009. Pengajar ilmu Bahasa Inggris di STKIP Banten & STIB Pandeglang. Pernah mengikuti workshop akumassa dan terlibat dalam produksi filem dokumenter Dongeng Rangkas.

3 Comments

  • akhirnya lebak muncul juga . . . cintaku padamu saidjah forum . . . semangat membangun perpustakaannya ya . . .

  • Keren, Cakrob!

    konversi bahan bakar; fenomena sosial tentang ketakutan masyarakat; di mana tabung hijau menjadi monster kecil yang mengerikan; langkanya minyak tanah yang sama dengan kebijakan pemerintah; kearifan tradisional yang sebenarnya juga mengancam lingkungan hidup; sampai ‘updating’ status di jejaring sosial dan fenomena media massa yang sama ramainya dirayakan oleh masyarakat.

    cukup lengkap dan tergarap manis.

    dan saya lega..Lebak kembali nongol di jurnal kita tercinta, setelah sekian lama kami merindukan karya penulis2 berbakat dari sana yangs selalu memberi kejutan dengan kisah-kisahnya.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.