Bernas Kali Ciujung Provinsi: Banten

Jembatan Dua

Avatar
Written by Fuad Fauji
Jembatan Dua, dilihat dari perkampungan di bawahnya.

Jembatan Dua, dilihat dari perkampungan di bawahnya.

Jembatan dua adalah sebutan umum warga Rangkasbitung untuk dua jembatan Sungai Ciujung yang menghubungkan daerah pusat Kota Rangkasbitung ke daerah Pandeglang dan Serang. Kedua jembatan ini memiliki fungsi yang berbeda. Satu jembatan diperuntukan bagi pejalan kaki, mobil dan motor, sedangkan jembatan satunya diperuntukan khusus bagi kereta api. Jembatan untuk pejalan kaki dan kendaraan itu dibangun tahun 1996, ketika Kabupaten Lebak masih bagian dari Provinsi Jawa Barat. Dalam keterangan batu peresmiannya, Jembatan Ciujung Lama diresmikan tanggal 20 Maret oleh Gubernur R. Nuriana. Sementara itu, konstruksi jembatan khusus kereta adalah bangunan tua yang dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Dulunya, jembatan ini berfungsi untuk pejalan kaki dan sado. Rel kereta api dibangun di permukaan aspal jembatan dan sisinya diberi ruas ruang sedikit melebar, khusus untuk pejalan kaki dan hilir mudik sado. Ketika jalur kereta Bayah masih aktif, jembatan ini sangat sibuk karena, selain dilintasi kereta, juga dilintasi pejalan kaki dan kendaraan hingga harus ada waktu pengaturan penyeberangan. Jika kita akan menyeberang bersamaan dengan kereta, kita harus menunggu kereta melintasi jembatan terlebih dahulu. Kereta yang datang dari Stasiun Rangkasbitung di daerah Muara Ciujung Timur, menuju Bayah dan Serang, memiliki jalur persimpangan, atau biasa disebut ‘wessel Inggris’, yang letaknya persis setelah jembatan, di wilayah Kampung Lebak Sambel.

Sejarah Kereta Api di Indonesia ada sejak tahun 1860, dimulai pada masa kolonial Belanda. Sedangkan dalam catatan Wikipedia, disebut bahwa Stasiun Rangkasbitung “dibangun pada tahun 1901. Kini Stasiun Rangkasbitung merupakan stasiun yang ramai di wilayah Daerah Operasi I Jakarta sekaligus satu-satunya stasiun besar di Provinsi Banten. Di Stasiun ini juga terdapat dipo lokomotif yang menyimpan gerbong Kereta Api Langsam, Rangkas Jaya, serta Banten Ekspres dan lokomotif jenis CC201 yang didatangkan dari dipo lokomotif Jatinegara dan dipo lokomotif Tanahabang. Dulu terdapat Jalur kereta api menuju Labuan melewati Pandeglang. Jalur ini juga mempunyai cabang di Saketi menuju Bayah. Seluruh kereta api mulai dari kereta api barang sampai kereta api penumpang berhenti di stasiun ini,”[1]Wikipedia Ensikopledia Bebas, “Stasiun Rangkasbitung”, diakses pada Juli, 2015. khusus untuk sejarah proyek pembangunan perkeretaapian di Banten, terkecuali proyek pembangunan jalan yang dilakukan Gubernur Jendral Herman Willem Dendles. Sejarah proyek pembangunan rel kereta Staatsspoorween Bantam Lijn atau Kereta Api Lintas Banten, belum dapat saya temukan keterangan jelasnya. Kemungkinan, karena fungsi kereta di Banten saat itu hanya sekedar untung keperluan jalur angkut barang saja. Berbeda dengan perkeretaapian di daerah Jawa yang fungsinya, selain angkutan barang, juga sebagai angkutan penumpang, sehingga seluruh catatan dokumentasi sejarahnya begitu lengkap.

***

Jembatan Dua Terlihat dari Bawah

Bangunan jembatan kereta Ciujung dari arah Stasiun Rangkasbitung yang kini disebut Jembatan Dua, jadi peninggalan kejayaan jalur kereta api satu-satunya penggerak rel perekonomian masyarakat. Rangkasbitung pada masa lalu merupakan kota industri dan pertanian yang sangat bergantung pada kelancaran arus perputaran transportasi kereta. Hasil perkebunan dan pertanian dibawa ke Serang dan Jakarta. Hanya kereta yang bisa mengatasi kegiatan ekonomi pada masa lalu menjadi lebih baik. Bangunan jembatan kereta dan persimpangan jalur rel ke Bayah sampai kini masih dapat kita jumpai sebagai bukti. Membaur dengan pemukiman warga kampung. Jalur Kereta Api Saketi – Bayah yang dibangun Pemerintah Jepang menyisakan kisah yang heroik dan pahit untuk diingat. Daerah tersebut merupakan cikal bakal gelora pemberontakan rakyat melawan pemerintah penjajah. Menelan ribuan korban jiwa pekerja pribumi.

Jembatan Dua dan jembatan lainnya di Rangkasbitung biasanya masih bersimpangan di jalan kampung kecil. Di kampung-kampung baru yang tumbuh begitu saja, selalu saja ada orang membangun rumah. Umumnya, mereka adalah para pekerja kereta yang tidak memiliki rumah dinas. Jalan kampung mengarah ke jalan utama Lebak Picung, sedangkan yang lain mengarah ke Jalan Soekarno Hatta. Jalannya memang sempit dan berhimpitan dengan rumah. Ada banyak simpangan. Jalan kampung di Lebak Sambel, dan sekitarnya, mengembang seperti labirin raksasa. Penduduk  berkumpul membentuk sekelompok koloni semut. Anak-anak kampung tiap hari bermain sambil duduk di rel, seperti kawanan semut yang bisa merangkak malam hari tanpa melihat karena sudah hafal jalan. Mereka memperbincangkan apa saja sambil menyeberangi jembatan kereta. Sebetulnya, setelah menyeberang jembatan, ada jalan bercabang tiga. Jalan pertama mengarah ke Pandeglang, jalan kedua ke Soekarno Hatta dan jalan ketiga ke Kampung Lebak Sambel. Kampung ini terlalu kasar untuk disebut sebagai kampung sejumlah pelarian orang-orang dari daerah pelosok Lebak karena tidak ada surat kepemilikan yang sah. Pemukiman menyebar di ketiga jalan. Setahu saya, itu semakin padat sejak tahun 2000-an hingga kini. Tempat ini agak tersembunyi dan hanya jadi perlintasan semata.

Anak-anak di kampung lebak sambel sedang bermain di jembatan dua_2

Kelompok-kelompok warga baru, datang dan pergi. Bayang-bayang rumah yang terus tumbuh terus bergerak disatukan dengan jalan kereta. Memang terkesan bahwa pemerintah ada kecenderungan membiarkan perkampungan menjamur di antara bangunan jembatan, tetapi belakangan memberi perhatian terkait rencana pembangunan tepian sungai dan tata kota. Terlebih saat Rangkasbitung dijadikan titik administrasi perekonomian, karena kota ini sudah di desain pemerintah kolonial untuk mempermudah pengangkutan hasil bumi dari Banten Selatan menuju pelabuhan Merak dan Pelabuhan Tanjung Priok. Bayah sendiri sudah dilokalisasi dalam hal hasil bumi oleh Belanda, karena Banten Selatan subur dan kaya akan hasil bumi dan rempah‐rempah. Akan tetapi, Jepang terlalu cepat datang dan proyek Belanda untuk membangun rel kereta Rangkasbitung – Bayah diambil alih. Karena kekurangan tenaga ahli dan pekerja pembangunan kereta, maka Jepang mempekerjakan orang pribumi. Kerja paksa yang lebih dikenal dengan istilah Romusha. Kepentingan Jepang saat itu adalah mengangkut batubara sebagai sumber energi industri dan transportasi. Stasiun Rangkasbitung adalah titik pemberhentian penting Jalur Saketi – Bayah sebelum akhirnya sampai di Jakarta. Jalur rel kereta api ini sangat bersejarah bagi Indonesia, khususnya Banten, tetapi kini sudah tidak berfungsi lagi. Menurut Gugun, kawan saya dari Rangkasbitung yang bekerja di PT. KAI, jalur kereta Rangkasbitung – Bayah masih dalam kajian pengaktifan kembali. Informasi ini belum saya pastikan ke pihak Daerah Operasi 1 di Jakarta. Jika benar adanya, maka perekonomian Banten akan membaik, mengingat sulitnya jarak tempuh antara daerah satu ke daerah yang lain di Lebak. Dan persoalan selanjutnya adalah pihak PT. KAI akan merelokasi warga yang sudah menjamur dari mulai bawah kolong jembatan kereta hingga persimpangan rel kereta menuju Serang dan Bayah.

***

Peta Kelurahan Cijoro Lebak

Sistem pemukiman perkotaan di Rangkasbitung tidaklah begitu ketat dalam pengawasan Bagian Tata Kota Pemerintah Daerah. Pemukiman tumbuh subur di kolong jembatan dan tepian sungai berdekatan dengan  pusat pemerintahan. Ini ironis, karena Rangkasbitung adalah Ibu kota Kabupaten Lebak.  Idealnya, pemukiman bisa lebih tertata dengan baik.

Warga Lebak Sambel mempunyai karakteristik yang ‘bebas’. Kawan diskusi saya, Badrul Munir, berpendapat, “Ketika saya masih muda, daerah Lebak Sambel terkenal dengan tempat preman pasar, bandar judi dan pengedar narkoba. Perkampungan ini memiliki angka kekerasan paling banyak se-Kabupaten Lebak. Padahal, setahu saya perkampungan Lebak Sambel tidak memiliki tradisi Jawara atau bukan bagian dari perkampungan yang membangun tradisi Jawara.”

Suasana di dalam Kantor Kelurahan Cijoro Lebak.

Suasana di dalam Kantor Kelurahan Cijoro Lebak.

Di tempat terpisah, pegawai Kelurahan Cijoro, Lebak, memberikan keterangan dan pembenaran bahwa Kampung Lebak Sambel dan kampung lain yang berada di tepian sungai, khususnya Jembatan Dua, masih dalam tahap pengkajian. Pemerintah telah melaksanakan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota yang dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Kecamatan Serta Kawasan Strategis Perkotaan. Masih dalam perencanaan yang dijelaskan pihak kelurahan, bahwa pemukiman di bagian Utara akan direlokasi menjadi wilayah zona hijau, bagian dari pusat Pemerintahan Kabupaten. Secara berkelanjutan, di wilayah RT dan RW pemukiman baru akan dibangun kawasan Tata Ruang Kelurahan yang lebih rapih. Tahun 2017, Pemerintah akan terus melaksanakan kegiatan penataan ruang yang efektif dalam mendukung pembangunan berkelanjutan pusat kota. Rencana ini jadi bahan acuan kepala pemerintahan baru dalam penyusunan program pembangunan untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat. Sampai dengan tahun ini, jumlah kecamatan yang telah memiliki rencana tata ruang baru sepuluh kecamatan, termasuk Kelurahanan Cijoro Lebak.

Saat matahari masih tinggi di langit, saya pergi ke Kampung Lebak Sambel. Berteduh di bawah pohon asam dekat pos polisi, menghadap Jembatan Dua. Di ujung jembatan kereta dari arah Serang, sekelompok anak-anak asyik bermain gelantungan di jembatan kereta. Ada perasaan aneh ketika melihat mereka. Tidak ada rasa takut dan khawatir kereta datang tiba-tiba. Pada saat saya masih kanak-kanak, tidak ada yang berani bermain di jembatan kereta dan hanya berani menyebrang saja. Rel kereta berbaur dengan pemukiman warga. Dengan setengah getir dan bercanda, saya tanya tukang becak di dekat saya yang sedang menggosok batu akik, “Itu orang tuanya pada kemana yak, Mang?” Ia hanya menjawab bahwa pemandangan itu sudah biasa dan tidak ada yang aneh. Saya hanya bisa menggaruk kepala sambil tertawa. Memang benar, adanya jawaban tukang becak sudah menyelamatkan wajah orang tua anak-anak sampai ke taraf tertentu. Saya hanya berpikir, dalam hal ini, masyarakat Lebak Sambel sudah tidak bisa menjernihkan pikirannya tentang daerah bermain anak-anaknya sendiri. Untuk mendapatkan kepastian kalau anak mereka aman saat bermain, baiknya harus diawasi oleh orang tua di depan Jembatan Dua agar tidak jatuh ke dalam perangkap maut Jembatan Dua.

Anak-anak di kampung lebak sambel sedang bermain di jembatan dua_1

Ketika matahari mulai redup, saya melanjutkan jalan kaki menyeberangi jembatan kereta yang panjangnya kurang lebih lima ratus meter. Saya tidak menyeberang sendirian. Ada orang-orang yang berjalan di belakang saya, mengular menyusuri balok jembatan rel kereta yang menganga. Sesekali, mata saya melihat dasar jembatan dengan pemandangan air Sungai Ciujung yang keruh dan mengalir pelan. Jika terlalu lama melihat ke bawah, kepala saya langsung terasa pusing. Ketinggian Jembatan Dua, kurang lebih, empat puluh meter. Cukup menakutkan bagi orang yang takut ketinggian. Atap-atap pemukiman di Lebak Pasar terlihat jelas dari atas jembatan.

Sore itu, saya berjalan kaki di atas jembatan kereta mengikuti Sapri, penunjuk jalan menuju rumah Pak Karna, Ketua RT Kampung Lebak Sambel. Rumahnya berdampingan dengan rel kereta api menuju arah Serang. Pemukiman Lebak Pasar merupakan bagian dari Desa Cijoro, yang sebagian besar penduduknya merupakan pedagang kaki lima. Di Rangkasbitung, biasanya pemukiman warga cenderung tidak memiliki pola persebaran dominan, karena cenderung berada di luar kompleks pusat pemerintahan. Saya memiliki pengalaman menonton video rumahan pertama di Kampung Lebak Sambel. Daerah ini terkenal dengan tontonan semasa anak-anak. Pak Madu, pemilik video rumahan di Lebak Sambel, kini sudah tidak ada lagi. Dulu dia sering memutar video Betamax serial cerita TV. Rumahnya juga berada di samping rel kereta api.

Salah satu penampakan jalan di Kampung Lebak Sambel.

Salah satu penampakan jalan di Kampung Lebak Sambel.

Sesampainya di ujung jembatan, saya turun ke bawah, masuk ke jalan sempit pemukiman padat yang menyebar sampai ke ujung rel bekas jalur kereta jurusan Bayah. Jalan-jalan kampung di Lebak Sambal hanya pas untuk satu orang saja, membuat saya seperti memasuki labirin. Saya berbicara santai mengenai sejarah Kampung Lebak Sambel dengan Pak Karna. Lalu beliau menceritakan, bahwa dulu, di daerah persimpangan kereta sampai ke kolong jembatan hanya ada sedikit bangunan. Rumah-rumah warga bisa dihitung dengan jari. Pemiliknya hampir kebanyakan orang yang bekerja di Perusahaan Kereta Api. Siapa yang peduli dengan warga yang mendirikan rumah-rumah baru di sini? Apakah pihak Pemda memikirkannya? Apakah pihak PT. KAI berencana merelokasi kampung ini untuk dijadikan persimpangan jalur kereta ke Bayah? Semuanya tidak jelas.

“Seringkali ada orang memotret kampung ini, katanya sedang uji ini itu, saya sudah tidak peduli,” ujarnya. “Begitu Kampung Lebak Sambel dipenuhi rumah-rumah, banyak yang terpaksa memikirkan penghidupannya dulu ketimbang memikirkan boleh atau tidaknya mendirikan bangunan. Di sini, orang-orangnya punya harga diri juga, Pak.”

Ketika ditanya perihal nama Kampung Lebak Sambel, Pak Karna mengaku tidak tahu. Menurutnya, dari dulu namanya sudah begitu. Kampung ini memiliki empat RT. Dalam satu RT, terdapat 40, 75, hingga 80 kepala keluarga (KK). Di RT yang paling padat, dalam satu rumah bisa hidup dua, tiga sampai empat keluarga. Pak Karna juga menceritakan masa mudanya yang sering ikut kerja bakti ke desa-desa pelosok di Lebak, ikut membuka jalan baru bersama tentara. Pak Karna sudah 30 tahun tinggal di Kampung Lebak Sambel. Beliau ingat, bahwa dulu di atas rumahnya, di dekat rel kereta, ada pos pengontrol pintu rel kereta. Beliau juga mengatakan, menurut saudaranya yang pegawai PT KAI, jalur kereta ke Labuan akan dibuka kembali karena Bayah kaya akan batubara dan terdapat pabrik semen.

Pak RT Karna dan cucunya.

Pak RT Karna dan cucunya.

Sekawanan Lalat hitam menyebar seperti tawon di ruang tamu sederhana dan kecil rumah Pak Karna. Sebagian menyelam dan menghilang di gelas kopi saya. Keterangannya tentang Kampung Lebak Sambel, akhirnya, sampai di kertas catatan. Pak Karna menjelaskan dirinya sudah 30 tahun menjabat sebagai Ketua RT. Setiap kali pemilihan, selalu saja terpilih, padahal beliau sudah menolak karena sudah terlalu tua dan sudah sangat jenuh. Temannya, sesama Ketua RT Kampung Lebak Picung, yang seangkatan dengan beliau, sudah tidak ada. Jelas saja, umur Pak Karna sekarang sudah 70 tahun lebih, istrinya sudah lebih dulu meninggal dunia. Keduanya meninggal di sini, di Lebak Sambel. “Sekarang sudah empat tahun kehilangan istri. Rumah kami dijual, akhirnya saya ikut tinggal bersama anak di sini, “ ujar pak Karna.

Saya merasa kebetulan bertemu dengan Pak Karna yang juga mengenal pemilik penyewaan video. Ketika saya memintanya untuk mengantar saya ke rumahnya, beliau tidak mau. Ia hanya bisa memberikan cerita bahwa pemilik penyewaan video adalah warga asli Kampung Lebak Sambel. Biasanya, sesudah pulang berjualan di pasar, dia memutar tontonan video dewasa. Anak-anak di Lebak Sambel sering menonton dan tidak jarang dia mengusir anak-anak Lebak Sambel dari rumahnya karena videonya untuk orang dewasa. Tapi terkadang anak-anak itu diterima begitu saja, termasuk saya. Sejak itu, tempat itu terkenal sebagai tempat tontonan video dewasa tahun 1980-an. Sekarang, tidak ada lagi rumah tontonan video. Yang ada adalah tempat penyewaan video game.

Footnote   [ + ]

1. Wikipedia Ensikopledia Bebas, “Stasiun Rangkasbitung”, diakses pada Juli, 2015.

About the author

Avatar

Fuad Fauji

Dilahirkan di Lebak, 10 Maret 1983. Fuad Fauji menetap di Forum Lenteng Jakarta sebagai periset dan penulis seni rupa. Tahun 2005 ia dan kawan-kawan lainnya terlibat mendirikan komunitas Saidjah. Kerja video pertamanya adalah “Saidjah Project”, 2005. Pada tahun 2007 akhir, ia mendapatkan gelar S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, konsentrasi Jurnalistik. Film fiksi pertamanya “Maria”, hasil project workshop Cerpen ke Filem yang diadakan Forum Lenteng, 2008. Dia dibesarkan oleh keluarga yang sederhana. Kedua orang tuanya petani musiman di Leuwidamar. Kadang bertani kadang tidak. Ayahnya telah meninggal bersamaan dengan kerja residensi pertamanya di Tanjung Priuk tahun 2009. Terlibat dalam produksi teks dan video dokumenter di akumassa. Sejak tahun 2010 hingga sekarang ia bekerja dengan Dewan Kesenian Jakarta sebagai peneliti kritik seni rupa Indonesia. Bersama program akumassa dan Saidjah Forum, karya-karyanya telah diputar di berbagai perhelatan filem dan seni rupa, antara lain; Festival Film Dokumenter ke-9 (2009); The Loss of The Real, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung (2010); Decompression #10, Expanding Space and Public, ruangrupa, Galeri Nasional Indonesia – Jakarta (2010); The Decade of Reformation: Indonesian Film/Video, Artsonje Arthall, Korea Selatan; 24 Edition Images Festival, Toronto Free Gallery, Kanada; Selametan Digital, Langgeng Art Foundation, Yogyakarta (2011); Entre Utopia y Distopia-Palestra Asia di Museo Universitario Arte Contemporaneo, Meksiko (2011).

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.