Jurnal Kecamatan: Gedangan Kota/Kabupaten: Sidoarjo Provinsi: Jawa Timur

Desa Transportasi

Avatar
Written by Pijar Crissandi
Hidup dan bersosialisasi di sebuah tempat dan di antara warga-warga, lalu mengenal semua seluk beluk dan permasalahan juga tempat yang kita tinggali dari kecil, pasti membuat kita begitu paham akan apa yang benar-benar terjadi di sana. Ada perbincangan kecil yang menjadi rumor besar dan tempat-tempat yang jadi wilayah kerja warga dalam menciptakan ruang serta memanfaatkan ruang dan fasilitas yang ada.

Warga sebuah daerah kadang kurang memahami daerah sekitarnya dan tidak mampu memanfaatkan dengan baik fasilitas yang ada. Kadang banyak bangunan dan ruang publik yang tak berguna. Di daerah tempat tinggalku, tak ada banyak fasilitas, karena memang luas daerah ini tak begitu besar. Jadi perangkat desa dan dana yang dikeluarkan dari kelurahan hanya sedikit. Namun dengan kecilnya luas daerah itu tak membuat desaku minim fasilitas, karena dari desakulah banyak warga bergantung untuk melakukan aktivitas, dari berangkat kerja dan pulang ke rumahnya setelah berperang mencari sedikit tambahan kehidupan. Hal itu dikarenakan di desakulah terminal itu ada. Dan di desakulah stasiun dibangun. Keberadaan fasilitas transportasi ini membuat desaku menjadi sangat ramai. Jika pagi telah menujukan cahayanya maka munculah orang-orang dan anak-anak yang berjejer membuat antrian untuk naik angkot. Hal itu dikarenakan sekitar lima kilometer dari rumahku banyak dibangun pabrik dan sekolah-sekolah, mulai dari SMP sampai SMA.

Terminal Gedangan merupakan salah satu tujuan transportasi utama di Desa Gedangan, Jawa Timur

Namun yang jadi perhatianku selama ini bukan terminal dengan mobilisasi manusia yang sibuk itu. Tapi perhatianku lebih tertuju pada sebuah gedung tua. Gedung yang sejak awal dibuat sampai saat ini tidak beralih fungsi. Gedung itu adalah sebuah stasiun dengan arsitektur kuno. Gedung dengan huruf ‘Z’ yang menjadi lambang stasiun ini masih terpampang dengan kokoh. Lambang yang seharusnya sudah berganti. Layaknya sebuah stasiun pada umumnya, sebagai tempat menunggu dan berhentinya kereta api, banyak cerita dari tempat ini yang sejak aku kecil tentang banyaknya peralihan fungsi yang tidak hanya menjadi sebuah stasiun saja. Dari menjadi balai desa untuk acara layar tancap kampung, senam sore untuk ibu-ibu, dan banyak lagi.

Stasiun Gedangan, bukan hanya menjadi lokasi penumpang kereta menunggu, tapi berbagai macam aktifitas warga juga pernah dilakukan di sini

Kejadian itu dikarenakan dulu sebelum ada kereta komuter, stasiun ini sangat jarang sekali didatangi pengunjung karena memang tak banyak trayek kereta yang berangkat dari stasiun ini. Lebih banyaknya berfungsi sebagai tempat berhentinya kereta. Maka stasiun ini sedikit beralih fungsi menjadi fasilitas warga di kampungku. Selama bertahun-tahun stasiun itu seperti kehilangan rohnya sebagai sebuah stasiun pada umumnya.

Namun cerita berubah sejak adanya kereta komuter tahun 2005. Dampak yang timbul pun sangat besar. Banyak warga di kampungku yang bilang bahwa stasiun itu telah bereinkarnasi menjadi sebuah gedung tua berjiwa baru. Dalam hitungan bulan, hampir semua warga yang dulu tak pernah datang jadi datang dan memanfaatkan fungsi dari stasiun. Mulai dari perkerja pabrik, pekerja kantor, dosen, mahasiswa, guru, pelajar, pedagang asongan, dan banyak lagi jenis penumpang lain yang kini memadati stasiun yang dulunya sangat lenggang.

Ibuku adalah salah satu pengguna jasa kereta api. Dia bilang, banyak warga yang memanfaatkan kereta api itu karena tidak terkena imbas macetnya kota. Tarif yang dikenakan untuk sekali berangkatpun begitu murah, hanya 2.000 rupiah. Kurang dari harga angkutan umum yang bertarif 3.000 sampai 5.000 rupiah. Banyak juga pemandangan yang berubah di stasiun ini. Selain penumpang yang semakin banyak, kini hampir setiap pagi dan sore hari stasiun ini dipenuhi banyak pedagang asongan dan juga bermunculannya warung-warung kopi di depan stasiun.

Aktifitas perkeretaapian di Stasiun Gedangan menjadi tempat peruntungan bagi para pedagang

Namun ada satu hal yang kurang dari stasiun klasik ini. Tidak ada pendokumentasian yang baik dan benar sehingga tak banyak yang bisa diceritakan oleh petugaas stasiun tentang kisah awal dan perjalanan dari masa ke masa tempat ini terbangun di daerah sini. Yang aku dapat hanyalah mengenai tahun dibangunnya stasiun ini, yaitu sejak tahun 1930. Namun tanggal dan bulannya masih belum diketahui. Mungkin usaha untuk mencari asal-usul stasiun itu menjadi penting saat ini, karena tidak adanya sebuah cerita menandakan sebuah identitas yang benar. Karena, dari mana, kenapa, juga oleh siapa stasiun itu dibuat masih bias adanya.

Gedung tua yang menjadi Stasiun Gedangan tidak memiliki pendokumentasian yang baik, sehingga sejarahnya belum dapat dipastikan

Selain mencari cerita yang ada, mungkin yang harus diingat adalah mengabadikan tempat itu dalam bentuk  medium yang nantinya dapat dilihat oleh setiap orang di tahun-tahun berikutnya. Jikalau gedung ini mungkin saja dihancurkan, setiap saat warga tetap akan memiliki kisah tentang bagaimana sebuah bangunan tua mengikuti perkembangan jaman.

Gedung paling tua di daerahku ini menjadi gedung dengan karakter dan mobilitas paling kuat. Stasiun itu seolah menjadi gerbang ‘selamat datang’ buat kampungku, untuk warga-warga pendatang, warga yang dahulu tak pernah tahu tempat ini dan warga yang tak pernah mengira bahwa dari sini mereka bisa memulai kegiatan mereka sehari-sehari.

About the author

Avatar

Pijar Crissandi

Dilahirkan di Surabaya pada tanggal 9 Mei 1988. Sekarang sedang menyelesaikan studinya di Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Jawa Timur. Kemudian ia juga sedang bekerja membuat ilustrasi dan Asisstent Boardcasters di Hard Rock Radio, Surabaya.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.