Pemenang - Lombok Utara, NTB

Cidomo

Pada hari Minggu

Ku turut ayah ke kota

Naik delman istimewa

Ku duduk di muka

Itulah sepenggal lagu ketika SD yang selalu ku bawakan kalau dihukum gara-gara terlambat masuk kelas. Entah mengapa lagu ini selalu terngiang di ingatanku kalau dihukum oleh guru untuk bernyanyi. Mungkin karena keberadaan Cidomo setiap hari ku lihat kalau berjalan ke sekolah, seolah-olah menjadi hipnotis tersendiri.

Barisan Cidomo (sejenis Dokar) menunggu penumpang

Barisan Cidomo (sejenis Dokar) menunggu penumpang

Cidomo yang merupakan singkatan dari Cikar, Dokar dan Motor (menurut sebagian masyarakat), menjadi satu-satunya alat transportasi tradisional yang masih bertahan sampai sekarang. Dengan memanfaatkan tenaga kuda para masyarakat yang berprofesi sebagai kusir mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Tak peduli makin sengitnya persaingan dengan para ojek dan angkot. Namun, dengan penuh pengharapan Cidomo terus melaju dengan suara khas kaki-kaki kuda yang mengejar impian di tengah kepailitan perekonomian.

Cidomo menjadi transportasi lokal yang masih bertahan di antara transportasi umum lainnya, seperti angkot dan ojek

Cidomo menjadi transportasi lokal yang masih bertahan di antara transportasi umum lainnya, seperti angkot dan ojek

Dari informasi yang kami peroleh rata-rata penghasilan para kusir Cidomo di Kecamatan Pemenang dalam satu kali trayek Rp. 25.000,- sampai Rp. 40.000,- itu pun kalau kondisinya sedang ramai. “Tergantung kita tekun dait deq,” (Tergantung kita juga mau tekun atau tidak) penuturan dari Izi, salah seorang kusir yang kerap kali parkir di Bangsal, Pemenang.

Ketika salah satu bingkaian akumassa Pemenang mengangkat tentang Cidomo aku teringat dengan seorang teman SD ku, yang bapaknya juga berprofesi sebagai kusir Cidomo. Dahulu sepulang sekolah kami biasa nambang (narik Cidomo) untuk menambah uang  jajan. Pengalaman-pengalaman seru menjadi kusir Cidomo semasa SD pun tak lepas dari ingatanku hingga kini.

“Inget Li, bareh sawek dik mengan cia bak bale ta lalo nambang,” (Ingat Li, nanti setelah kamu makan siang ke rumah, kita pergi narik Cidomo) kata temanku mengingatkan agar sewaktu pulang sekolah nanti aku bersiap-siap ikut narik Cidomo bersamanya.

“Aok, dengah-dengahku arak tau ngenangang pasti lueq tau jaga nyendukan” (Baik, saya dengar-dengar ada orang meninggal dunia, pasti banyak orang pergi melayat) balasku. “

“Apalagi tau-tau leq telu Gili tia, angkaq Bangsal kon ta parkir laun” (Apalagi orang-orang dari Tiga Gili itu, makanya nanti kita parkir di Bangsal), tegasnya kepadaku. Kami pun tersenyum sambil membayangkan lipatan-lipatan berkah dari Tuhan.

Setelah makan siang dan menunaikan sholat dzuhur, aku pun segera berangkat ke rumahnya yang masih satu RT denganku. Aku melihat dia sudah mulai memasang perlengkapan Cidomonya.

“Li, bait jaran nu semendaq leq kandang tia,” (Li, ambil kuda itu sebentar di kandang) tuturnya sambil menunjuk kandang kuda di sebelah rumah. Wah, ternyata dia memiliki dua kuda jantan yang sedang asyik menyantap makanannya,

“Mbe ta keang, anuq beriq atau beleq ni?” (Yang mana kita pakai, yang kecil atau yang besar?) Tanyaku kebingungan.

“Anuq beriq tia sengaq anuq beleq tia wah saweq siq keang toneq lemaq siq waq ku” (Yang kecil saja karena yang besar itu sudah dipakai tadi pagi sama bapakku) teriaknya menjawab kebingunganku.

“Aseq siq jaran mun siq paksaq” (Kasihan kudanya kalau dipaksa) tegasnya sambil mengencangkan tali kekang.

Memang biasanya para kusir yang ke luar nambang pagi hari tidak narik siang harinya. Demikian juga sebaliknya yang narik siang tidak keluar pagi harinya. Semuanya tergantung dari para kusir Cidomo itu sendiri. Para kusir yang ke luar pagi hari, menjadi target tumpangan mereka adalah warga-warga yang berangkat ke sekolah, pasar, kantor dan juga warga masyarakat dari Tiga Gili yang mau pergi ke pasar. Berbeda dengan yang narik pada siang hari, yang menjadi sasaran mereka tidak sebanyak mereka yang narik di waktu pagi. Walaupun demikian, semua berjalan baik-baik saja,

“Anuq sugul lemaq cia pada mbae kanca sugul galeng, kenak seh lueq penumpang lemaq-lemaq tia laguq kancan ta nambang nu poh lueq seruaq,” (Yang keluar pagi sama saja dengan mereka yang kel uar siang, memang benar pagi-pagi itu banyak penumpang tapi teman kita narik juga banyak) tutur salah seorang kusir yang biasanya narik siang hari di Pemenang.

Setelah semua kami rasa lengkap, kami pun narik Cidomo. Tiba-tiba temanku berseru “Astaga Li, pecut nu kelupaq an! Bait leq daeng lawang bale tia,” (Astaga Li, cemetinya ketinggalan! Ambil di samping pintu rumah itu).

Segera ku langkahkan kaki karena hatiku sudah tak sabar untuk menaiki Cidomo tersebut.

“Untung dik inget sengaq masih rapet leq bale ni, mbe lain ta?” (Untung kamu ingat karena masih dekat rumah, kita ke mana?) Tegurku sambil mengatur nafas yang tersengal.

“Bangsal wak kon ta, laguq lamun araq tau taeq bares ti ba ta taekang a,” (Kita di Bangsal saja, tapi kalau ada orang naik ya… kita naikkan saja) jawab temanku dan langsung melajukan Cidomo. Irama kaki kuda menghantarkan kami melewati Pasar Umum Pemenang, terlihat kondisinya yang mulai sepi dan tersisa beberapa orang yang sedang naik ke Mobil Engkel jurusan Mataram.

Pasar Umum Pemenang, salah satu tempat para kusir Cidomo menunggu penumpang

Pasar Umum Pemenang, salah satu tempat para kusir Cidomo menunggu penumpang

“Stop!!!!” teriak salah seorang laki-laki paruh baya dari samping jalan di Perempatan Pemenang.

“Bangsal beaq?” (Ke Bangsal, Nak?) Tanyanya lagi kepada kami. “

“Enggih silaq taeq man. Li, julu kon dik” (Ya silahkan naik pak. Li, kamu di depan) tutur temanku mengatur posisi kami agar kudanya jalan dengan stabil.

Kami memang harus berhati-hati untuk melajukan Cidomo, apalagi perempatan Pemenang belum dipasang lampu merah dan saat-saat seperti ini sangat ramai. Anak-anak SMA yang baru pulang dari sekolah, para pegawai kantor juga terlihat begitu cepat ingin sampai di rumah. Di pinggir jalan ke jurusan Tanjung dan Teben (sebutan masyarakat Dayan Gunung bagi wilayah di sebelah selatan Pusuk), beberapa mobil angkot sedang parkir menunggu penumpang dan para makelar juga sibuk mencari penumpang.

Cidomo kami tiba-tiba berhenti, di depan kami melintas sebuah bis pariwisata yang baru ke luar dari Pelabuhan Bangsal.

“Ya beriq jaran ni, apa ya koat poh?” (Kuda ini sangat kecil, apa dia kuat?) tanyaku kepada temanku, Hamdat.

“Jaran aran a ni, disu tau. Astaga gulem rua a ni, mudah-mudahan deq a ujan” Ini namanya kuda, bukan orang.” (Astaga kelihatannya mendung nih, mudah-mudahan tidak hujan) kata temanku sambil sesekali mengibaskan cemeti di tangan kanannya.

“Truq a wah jakaq ujan, ta lampaq in a bae kedung rame,” (Biarkan saja hujan, kita lawan saja mumpung ramai) jawabku optimis.

Tiba-tiba suara penumpang Cidomo memotong percakapan kami, “Op wah ite kon ku tun, ni ongkos a. makasih beaq aok dait onyaq-onyaq tan” (Berhenti saya turun di sini, ini ongkosnya. Terimakasih Nak dan hati-hati mengemudinya) laki-laki separuh baya itu menasehati kami.

Hamdat pun mengambil uang hasil yang pertama itu dan memutar-mutarnya, sambil berkata “Penggarus Babaq, Kepeng Satus Jari Sataq,” Kata-kata itu sering diucapkan sebagian masyarakat, tetapi sebagai penghibur saja agar tetap optimis bekerja dan tidak cepat putus asa.

Cidomo penuh penumpang

Cidomo penuh penumpang

Ternyata apa yang kami bayangkan menjadi kenyataan. Cidomo kami penuh dengan penumpang yang berasal dari warga masyarakat Tiga Gili yang pergi melayat. Kami sempat bolak-balik sampai tiga kali dari Bangsal ke Masjid Ass-Shirathal Mustaqim. Kami pun beristirahat sebentar dan memarkirkan Cidomo kami di depan Pasar Umum Pemenang yang jaraknya berdekatan dengan masjid tempat orang-orang melayat.

“Li ta mbeli jaja kanca aek inem juluq aok?” (Li, kita beli kue sama air minum dulu ya?) tanya temanku. Aku iya kan saja, sambil asyik menghitung uang yang kami dapatkan.

Akhirnya, hujan mampir juga di kawasan Kecamatan Pemenang dengan hembusan angin kencang yang cukup mengganggu penglihatan. Aku berharap temanku itu langsung mengajakku pulang karena uang yang kami peroleh juga sudah cukup banyak. Namun, datanglah beberapa penumpang dan mohon dibawa ke Bangsal.

“Ita cukupang karing sekali ni doing wah” (Kita cukupkan lagi satu kali ini saja) tawaran temanku. Aku mengngangguk dan langsung menurunkan tirai di sebelah kiri dan kanan Cidomo untuk menjaga agar hujan tidak membasahi tempat duduk penumpang.

“Taon dik pada nambang nu?” (Apa kalian bisa narik Cidomo?) salah seorang penumpang bertanya. Mungkin ia khawatir melihat kami masih kecil-kecil dan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Pertanyaan itu mengganggu konsentrasiku dan sempat membuatku lengah sampai akhirnya cemeti yang berada di tanganku ketinggalan. Temanku pun marah melihat aku lalai menjalankan tugas. Ditambah lagi dingin kian menusuk pori-pori tubuh, angin kencang semakin menyusutkan kulit-kulit wajah membuat emosi menjadi tidak terkontrol.

Empat meter lagi kami sampai di Perempatan Pemenang, terlihat orang-orang ramai berteduh di warung-warung sambil menikmati segelas kopi. Hujan pun semakin tidak bisa diajak kompromi membuat jarak pandang kita terganggu. Saat ku seka air hujan dari wajahku, tiba-tiba Cidomo kami justru tersungkur ke depan. Penumpang berteriak histeris sambil melompat ke luar dari cidomo. Orang-orang berlari mendekati aku dan temanku untuk membangunkan kuda kami yang tersungkur tersebut. “Deq epe pada kumbe-kumbe kan?” (Anda semua tidak apa-apa kan?) Tanya seseorang yang ber-jas hujan biru kepada penumpang kami yang masih terlihat ketakutan.

Hamdat memeriksa Cidomonya apa ada yang rusak atau baik-baik saja. Sedangkan aku hanya sibuk menjaga uang yang ada digenggamanku agar tidak basah sambil kebingungan mau berbuat apa. Setelah keadaan dirasa beres, kami mempersilakan para penumpang untuk naik. Tapi, penumpang kami tidak mau dan mereka katanya trauma naik Cidomo kami dan justru berpindah ke Cidomo laki-laki yang ber-jas hujan biru itu. Kami tidak bisa berbuat apa-apa melihat kusir itu mengajak penumpang kami naik di Cidomonya.

“Arowah teruqnya wah, te ta uleq pedeq tian ku ni,” (Biarkan sudah, ayo kita pulang aku sudah lapar) kata Hamdat yang sepertinya juga sudah kelelahan. Kami pun berbalik arah untuk pulang ke rumah. Biasanya sepulang dari nambang (narik) Cidomo, kami pergi ke sungai untuk memandikan kuda. Sepertinya kami harus menunggu hujan reda dulu, baru kami berangkat ke sungai.

“Wah kita akan menunggang kuda seperti Arya Kamandanu (pemeran film laga Tutur Tinular-Red),” kataku dalam hati.

About the author

Avatar

Muhammad Gozali

Dilahirkan di Karang Gelebeg pada tahun 1983. Ia tinggal di Karang Subagan, Desa Pemenang Barat, Lombok Utara. Ia kuliah di IAIN Mataram jurusan Syari’ah angkatan 2002. Sekarang dia menjadi Direktur Umum pasirputih, organisasi berbasis di Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, yang fokus pada isu sosial dan budaya.

4 Comments

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.