Secara harfiah,“Bundo Kanduang” sendiri berari ‘Ibu Kandung’, ibu yang melahirkan. Dalam tradisi Minangkabau, Bundo Kanduang adalah sebutan atau julukan yang diberikan kepada perempuan yang memimpin suatu keluarga dalam suatu lingkup rumah gadang, baik sebagai ratu maupun selaku istri raja (permaisuri) dalam kerajaan di Minangkabau, salah satu dari sedikit suku bangsa yang menganut sistem matrilineal. Matrilineal sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu Matri yang berarti ‘ibu’, dan Lineal yang berarti ‘garis’. Dengan kata lain, matrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan dari pihak ibu. Sistem adat matrilineal ini termasuk sistem adat yang minoritas di Indonesia, bahkan di dunia. Saya sendiri sebagai perempuan yang bersuku Minangkabau merasa bangga karena Minangkabau sangat mengagungkan perempuannya. Dan ini menjadi salah satu tugas saya untuk menggali dan memperkenalkan apa itu Bundo Kanduang.
Pandangan saya mengenai Bundo Kanduang itu sebenarnya masih sangat dangkal sekali. Saya adalah perempuan yang lahir dari seorang ibu yang bersuku Minangkabau dan Ayah yang bersuku Sunda. Dari kecil, saya tidak murni berdomisili di daerah Minangkabau karena tuntutan pekerjaan Ayah yang selalu berpindah-pindah. Budaya Minangkabau biasanya sudah diperkenalkan kepada anak-anak Sekolah Dasar (SD) dalam mata pelajaran Budaya Alam Minangkabau (BAM). Mata pelajaran ini mengulas tuntas tentang adat istiadat maupun budaya di Minangkabau, termasuk tentang Bundo Kanduang. Saya yang baru mengikuti pelajaran BAM di kelas 5 SD merasa kebingungan karena dari kelas 1 sampai kelas 4 saya sekolah di Provinsi Riau. Tapi, itu tidak menghambat saya untuk mengetahui dan memahami budaya asli saya sendiri.
Menurut saya, peran dari Bundo Kanduang sudah agak memudar di era milenia ini, apalagi jika kita melihat sudah begitu berkurang fungsi kerajaan Minangkabau pada hari ini. Yang saya tahu sedikit hanyalah tentang kerajaan Pagaruyuang yang berlokasi di Batu Sangkar. Rumah Gadang yang menjadi pusat kerajaan Pagaruyuang, saat ini fungsinya sudah menjadi museum dan semata tempat wisata di Batu Sangkar, meskipun beberapa keturunan Raja atau Ratunya masih ada sampai sekarang. Sejauh yang saya amati, karena fungsi kerajaan-kerajaan di Minangkabau sudah semakin minim dalam mengatur tata kehidupan sosial masyarakat, peran Bundo Kanduang pun kini hanya sebatas simbol saja.
Berdasarkan penelusuran saya di beberapa sumber, saya tahu bahwa pada dahulu, pada zaman kerajaan, Bundo Kanduang sangat berperan dan begitu diharapkan keberadaannya. Ditinjau dari segi peran dan kedudukannya, ada tujuh kegemaran yang harus diaktualkan dalam diri perempuan yang berperan sebagaiBundo Kanduang, yakni (1) suka memelihara diri, (2) suka memelihara anak dan keluarga, (3) suka menjaga martabat kaum dan sukunya, (4) suka memelihara harta benda dan pusaka, (5) suka memajukan dan melanjutkan kehidupan dan ekonominya, (6) suka menyemarakkan Nagari dan Alam Minangkabau, dan yang terakhir, (7) suka menjalankan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (atau ‘adat yang berlandaskan syariat, syariat yang berlandaskan kitab Allah’). Yang terakhir ini, maksudnya adalah sebagian besar aturan adat-istiadat di Minangkabau mengacu pada aturan yang dituliskan di dalam kitab suci Al-Qur’an. Mengacu pada itu, maka penampilan perempuan, menurut ajaran adat Minangkabau, tercermin pada perlambangan “Alam takambang jadi guru”. Hal ini berarti pula bahwa Bundo Kanduang mesti mempunyai wawasan yang luas dan cerdas untuk dapat menjadi contoh bagi masyarakat yang lainnya.
Dari sumber yang saya baca di internet, karakteristik Bundo Kanduang sendiri dilambangkan seperti alam yang indah dan cantik, yaitu Rambui mayang taurai (‘Rambut mayang terurai’), Talingo jorek tahanan, Mato co bintang (‘Mata seperti bintang’), Pipih pauah dilayang (‘Pipinya amat elok’), Bibia limau sauleh, Daguak tabah tagantuang, Gigi umbuik babalah, Lihia bak anyia mahilia, Tangan bak anak pisang (‘Tangan seperti anak pisang’), Kaki bak batang padi (‘Kaki seperti batang padi’), Jalan si ganjau lalai, Pado maju suruik nan labiah, Alua tataruang patah tigo, samuik tainjak indak mati (‘Tegas bertindak atas kebenaran dengan penuh bijaksan’). Tidak semua bait pepatah itu dapat saya artikan, tetapi disebutkan bahwa makna kesemua pepatah tersebut adalah “bahasa yang melambangkan pencerminan lingkungan hidup yang asri”.
Kembali pada peran penting Bundo Kanduang di Minangkabau tadi, ada beberapa peran yang harus dijalankan Bundo Kanduang dahulunya, yaitu Limpapeh rumah nan gadang, Umbun puruak pagangan kunci, Pusek jalo kumpulan kunci, Sumarak dalam nagari hiasan dan kampuang, Nan gadang basa batuah, serta kanduang undang ka madinah, kapayuang panji ka sarugo. Sebuah sumber menyebutkan bahwa peran-peran yang tersebut dalam pepatah Minangkabau itu juga merupakan bagian dari bait sebuah gurindam, yang intinya berarti: dalam adat Minangkabau, perempuan sangat diutamakan dan merupakan tanda kemuliaan dan kehormatan.
Menurut saya, walaupun peranan Bundo Kanduang sudah jarang dimainkan dalam masyarakat Minangkabau modern, namun para ibu yang bersuku Minangkabau tidak melupakan esensi dari Bundo Kanduang itu. Di Solok sendiri, tepatnya di Kampung Jawa, untuk melestarikan arti dan peran tradisi Bundo Kanduang itu, kaum ibu di kelurahan ini membuat suatu perkumpulan atau organisasi yang diberi nama “Bundo Kanduang” pula.
Organisasi Bundo Kanduang sebenarnya tersebar di beberapa kelurahan di Kota Solok. Ibu Rosmini adalah ketua Bundo Kanduang di Kelurahan Kampung Jawa. Sekretariat organisasi ini terletak di Jalan Yos Sudarso dan sekaligus juga merupakan bangunan Pustaka Nagari Kelurahan Kampung Jawa. Di dalam ruangan bangunan ini terdapat beberapa hasil karya kerajinan dari ibu-ibu anggota organisasi Bundo Kanduang, serta baju-baju adat koleksi perkumpulan tersebut. Koleksi kumpulan buku di perpustakaan, sebagian besarnya, adalah buku-buku tentang pertanian. Perpustakaan ini juga mengoleksi foto-foto dokumentasi kegiatan Bundo Kanduang dalam berbagai acara di Kota Solok.
Saya tidak menemukan struktur organisasi Bundo Kanduang di dalamnya. Saya dan teman-teman satu komunitas di Gubuak Kopi, yakni Volta dan Delva, sempat berbincang-bincang mengenai Bundo Kanduang dengan Ibu Rosmini. Menurutnya, kegiatan organisasi Bundo Kanduang se-kota Solok biasanya diadakan oleh Pemerinth Daerah tingkat Kota. Ada berbagai kegiatan lomba, seperti lomba memasak rendang, kue tradisional, kain yang disulam emas, dan lomba lainnya. Ibu Rosmini selaku Bundo Kanduang Kelurahan diangkat oleh Bundo Kanduang tingkat kecamatan. Kepada kami, Ibu Rosmini mengatakan bahwa komunitas atau organisasi Bundo Kanduang juga tersebar di wilayah luar Sumatra Barat.
Pada hari Rabu, 8 Maret 2017, kami menyempatkan diri makan lontong di kedainya Uni Des, salah seorang warga Kampung Jawa yang berjualan lontong dan gorengan, tepat di depan Pustaka Nagari Kampung Jawa. Uni Des berkata kepada kami bahwa ibu-ibu yang tergabung dalam organisasi Bundo Kanduang Kelurahan Kampung Jawa memang rutin melakukan pertemuan tiap bulannya. Kegiatan ini diisi dengan makan bersama dan berbincang-bincng mengenai apa saja. Menurutnya, pertemuan ini tampak bermanfaat untuk mempererat tali silaturrahmi kaum ibu selaku warga Kelurahan Kampung Jawa maupun Kelurahan lainnya yang berada di Kota Solok.
Awalnya, saya mengira bahwa Uni Des juga merupakan anggota Organisasi Bundo Kanduang, tapi ternyata dugaan saya salah. Saya pun bertanya kepada Uni Des mengapa ia tidak turut bergabung menjadi anggota organisasi tersebut. Uni Des beralasan bahwa kesibukannya sehari-hari membuatnya tak memiliki waktu yang maksimal untuk aktif di organisasi Bundo Kanduang Kampung Jawa. Tapi, sejauh pandangannya pribadi, organisasi Bundo Kanduang Kampung Jawa terbilang aktif. Kaum ibu yang tergabung dalam organisasi tersebut sering kali diminta untuk mengisi acara-acara adat, seperti Betagak Penghulu (Pengangkatan Penghulu) atau Baralek (Pesta Pernikahan).
Akan tetapi, di mata saya saat ini, keaktifan organisasi Bundo Kanduang masih jauh dari ekspektasi yang semestinya. Terlepas dari pengelolaan Pustaka Nagari yang terbilang masih belum maksimal, keterlibatan perempuan-perempuan muda juga terbilang sangat jarang. Semestinya, pendidikan tentang pengetahuan tradisi, adat-istiadat Minangkabau, dan esensi dari filosofi “Bundo Kanduang” harus diajarkan kepada yang muda-muda. Praktik dan pemahaman tentang Bundo Kanduang tentu saja sudah berubah di zaman sekarang, tetapi bukan berarti pelestarian ajaran tersebut tidak dapat disesuaikan dengan tuntutan zaman. Harapannya, keterlibatan perempuan-perempuan muda, terutama yang seumuran saya, akan lebih meningkat di masa depan. Karena bagaimanapun, Bundo Kanduang adalah pemegang kebijaksanaan dalam berperilaku dan bermasyarakat.***