Bernas Danau Singkarak Provinsi: Sumatera Barat

Batang Lembang: Sekali Air Besar, Sekali Tepian Berubah

(Foto: Gubuak Kopi; 2015)
Avatar
November 2015, Singkarak memasuki musim hujan lagi, setelah kemaraunya yang begitu panjang. Kemarau sudah dimulai sejak Ramadhan lalu, pada bulan Juni. Awalnya hampir seperti yang diperkirakan: Juni-Juli. Tapi tahun ini kemarau lebih lama dengan kabut asap yang begitu tebal. Seperti yang banyak diberitakan, asap ini menurut BMKG merupakan kiriman dari provinsi tetangga: Jambi, Riau, dan Kalimatan. Tidak hanya Singkarak, kabut ini hampir menutupi seluruh Sumatra dan pulau terdekat. Oknum yang terlibat malah mengelabuinya sebagai bencana. Tapi beruntung, kasus pembakaran ini sudah terkuak ke publik dengan sederetan nama dan perusahan yang terlibat, setelah dunia mengutuknya.

Saya pernah beberapa kali mengelilingi Singkarak, melihat muara-muara sungainya. Tidak salah lagi, Batang Lembang adalah penyumbang sampah terbesar untuk Singkarak.

Tahun-tahun sebelum itu adalah hari-hari ketika Singkarak terlihat begitu suram, kabut memedihkan mata, apa lagi di selatan danau, debu-debu akibat tambang menambah sesak. Pintu rumah, pagar, jendela, daun, dan bunga-bunga jadi kelabu. Hamparan danau juga begitu, kadang serasa di laut karena tidak bisa melihat seberang, otot-otot mata jadi lebih mudah capek untuk tetap fokus. Danau begitu kering, seperti juga sungai, para nelayan lukah yang menangkap ikan di muara tidak memiliki kesempatan. Biasanya kalau sudah kering begini banyak para pengguna lukah beralih pada bom. Masyarakat di Singkarak juga pasrah, beberapa juga menanggap ini sebagai bencana atau kehendak Tuhan.

Akhir musim kering tahun ini datang bersamaan dengan berakhirnya mobil tambang dari Paninggahan, berakhirnya debu di selatan Singkarak. Berkurang pula kekesalan atas ulah debunya yang mengubah pola interaksi warga. Kini, beberapa titik jalan sudah mulai diperbaiki. Waktu itu juga terjadi pembunuhan terhadap seorang penentang tambang: Salim Kancil di Lumajang, kasus yang akhirnya membuat geram banyak aktivis. Kasus-kasus pertambangan tidak ramah—yang selama ini didiamkan—seakan harus segera ditanggapi. Pemerintah akhirnya bergerak.

Kabut asap kiriman provinsi tetangga menyelimuti langit di sekitar Danau Singkarak pada musim kemarau. (Foto: Komunitas Gubuak Kopi; 2015)

Penampakan dari sisi Danau Singkarak ketika kabut asap dan debu masih menyelimuti danau. (Foto: Komunitas Gubuak Kopi)

***

BIASANYA, KEMARAU DI SINGKARAK—kalau tanpa kabut asap dan perubahan lainnya—akan berakhir pada Juli, tetapi tahun ini mencapai lima bulan. Setelah itu hujan datang menjadi-jadi, hampir setiap hari. Di Sitinjau (lintas Solok-Padang), berkali-kali longsor menghantui pengendara. Warga kota kecil seperti Solok pun siap-siap menghadapi sungai yang meluap. Itu sudah biasa terjadi setiap tahunnya, dengan Singkarak yang semakin ramai sampah.

Sampah yang kita lihat di Singkarak hari ini muncul dengan banyak sebab: mulai dari wisatawannya, orang yang tinggal di sekelilingnya, dan yang terbesar adalah kiriman dari sungai, sungai besar ataupun anak-anak sungai.

Suasana di sekitar Batang Lembang. (Foto: Komunitas Gubuak Kopi; 2015)

Batang Lembang adalah sebuah batang sungai yang mengalir dari selatan Solok, Lembang Jaya, dari perairan Danau kembar, terus menuju Danau Singkarak sejauh kurang lebih 40 km, yang juga diikuti anak-anak sungai. Aliran ini melewati banyak perkampungan, punggung rumah, pasar, dan lain sebagainya.

Perumahan warga banyak yang berdiri di sekitaran Batang Lembang. (Foto: Komunitas Gubuak Kopi; 2016).

Penampakan jalur muara Batang Lembang dari sisi jalan yang beradai di depan rumah warga. (Foto: Komunitas Gubuak Kopi; 2016)

Saya pernah beberapa kali mengelilingi Singkarak, melihat muara-muara sungainya. Tidak salah lagi, Batang Lembang adalah penyumbang sampah terbesar untuk Singkarak. Saya kira statement itu tidak berlebihan. Silahkan saksikan langsung, beberapa kantong sampah itu juga masih tersangkut di pagar-pagar jembatan yang menggantung di atas sungai ini. Kalau musim kering atau tidak hujan, banyak juga sampah yang terpajang di semak pinggiran sungai. Kalau sudah hujan besar, sungai semakin deras, permukaan air semakin naik, semua sampah di semak tersapu hingga pembuangan akhir ini: Singkarak.

“Hujan besar itu terjadi sekitar Oktober lalu,” kata Uniang (‘Ibu’) yang mendirikan warung yang berhadapan dengan Jembatan Sumani. “Begitu banyak sampah yang disapunya, ditambah pula Desember ini, jembatan dicat ulang. Sampah yang tersangkut sudah dilempar ke sungai, pemandangan jadi bagus lagi,” tambahnya ketika kami bertemu akhir Desember 2015.

Saya sering dengar bahwa belakangan banyak anak-anak dilarang orang tua mereka mandi di sungai. Mungkin sungai bagi sebagian besar warga adalah tempat yang kotor, dan memang demikian sebagian besarnya kini.

Saya kira, juga tidak berlebihan menyebut ini sebagai tempat pembuangan akhir. Silakan simak: Singkarak adalah muara dari tujuh sungai besar: Sungai Paninggahan, Sungai Sumpu, Batang Kuok, Imang Godang, Aripan, Sumani, dan Batang Lembang. Semuanya bermuatan sampah. Hanya ada dua pintu keluar: Batang Ombilin dan terowongan air PLTA. Keduanya dikelola PLTA, disaring. Tak ada sampah keluar. Sampah-sampah organik barang kali habis, atau beberapa atomnya menjelma sebagai elemen buih dan aroma aneh danau ini. Sementara itu, sampah berbahan plastik mengendap di dasar danau, setelah ia berputar kian kemari.

Batang Lembang sebenarnya bukan sungai yang begitu menarik bagi warga, ia tidak suci seperti sungai Nil, dan juga bukan sebuah ekositem yang unik seperti Amazon. Tidak juga memiliki sejarah yang mengagumkan seperti Batang Hari dan Musi. Tapi, seperti kebanyakan daerah di Sumatera, atau seperti di daerah lainnya, sungai adalah fenomena alam yang cukup penting dalam perkembangan peradaban. Orang-orang zaman dahulu biasanya akan memilih tinggal di tepian sungai. Selain untuk transporatasi, mereka juga memanfaatkan airnya untuk minum, mandi, mencuci, dan sebagainnya. Di Minangkabau sendiri, jika menyebut elemen yang harus dimiliki sebuah nagari (desa) adalah sebagai berikut: Balabuah batapian, Babalai ba musajik, Bagalanggang bapamedanan (‘Ada labuh dan tepian, ada pasar dan masjid, ada gelanggang dan medan rundingan’). Poin pertama: tempat berlabuh yang sering dipahami sebagai jalanan atau daratan, dan tepian adalah pertemuan darat dan peraiaran sebagai sumber penghidupan seperti sungai, danau, telaga, dan lain-lain.

Tapi belakangan, seiring perkembangan zaman, fungsi sungai barangkali tidak seperti itu lagi, ia tidak begitu berkaitan lagi dengan kebutuhan utama warga. “Sakali aia gadang sakali tapian berubah,” (‘Setiap kali air besar, saat itu tepian berubah,’) begitu orang Minangkabau mendalil perubahan: perubahan akan terus ada ketika keadaan memang tidak bisa ditolak lagi. Sederhananya, seperti yang banyak saya lihat, dalil ini secara prinsip cukup yakin untuk menolak perubahan, lebih memilih menikmati zona nyaman, sampai zona ini benar-benar terusik dan memang harus berubah. Tidak ada bayangan masa depan, atau merasa tidak perlu membayangkan.

Penampakan jembatan Sumani yang melintas di atas Batang Lembang, tahun 2014. (Foto: Komunitas Gubuak Kopi)

Penampakan jembatan Sumani tahun 2015. (Foto: Komunitas Gubuak Kopi)

Penampakan jembatan Sumani tahun 2016. (Foto: Komunitas Gubuak Kopi)

Sungai sebagai bagian penting dulu, sebenarnya masih tampak; masih tampak banyak pembangunan dan pemukiman mengikuti arah sungai, pasar yang dekat dengan sungai, begitu juga arah transportasi darat. Sekarang, dengan segala perkembangan termasuk tingkah laku sosial masyarakat, sungai pun telah beralih fungsi.

Saya sering dengar bahwa belakangan banyak anak-anak dilarang orang tua mereka mandi di sungai. Mungkin sungai bagi sebagian besar warga adalah tempat yang kotor, dan memang demikian sebagian besarnya kini. Tapi di perkampungan dan di pelesok hutan, sungai masih pilihan yang menarik untuk pergi mandi, mungkin karena memang sungai adalah bagian dari mereka yang belum mendapat pasokan air PDAM. Tapi di kampung-kampung, bisa jadi sungai menjadi tempat yang berbahaya. Di hulu kini banyak pohon yang telah tumbang tanpa pengawasan dan daerah sekitar aliran sungai banyak yang sudah botak. Karena kondisi itu, kalau di hulu hujan, air sungai bisa naik dan deras tiba-tiba.

Batang Lembang terlihat dari atas salah satu jembatan yang melintasinya. (Foto: Komunitas Gubuak Kopi; 2016)

Penampakan dari salah satu sisi Batang Lembang. (Foto: Komunitas Gubuak Kopi; 2016)

Di kota atau di pusat peradaban yang dianggap “sedikit lebih maju”—dalam arti perekonomiannya sedikit di atas orang-orang di perkampungan—mereka rata-rata bekerja sebagai pegawai negeri, pengusaha, dan lain-lain. Konon, kota disebut sebagai tempat orang-orang berpendidikan tinggi. Di sana, sungai memang bukan pilihan yang tepat untuk mandi bagi mereka, apa lagi sebagai tempat bersantai yang asik. Sungai cenderung dicitrakan sebagai sumber penyakit. Tidak heran jika sekarang kita melihat bagaimana sungai itu diperlakukan.

Kita lihat di Solok, seperti yang saya sebutkan sebelumnya, sungai, interaksi terbesarnya dengan manusia adalah sebagai tempat pembuangan sampah dan limbah. Memang tidak disebut begitu, tapi semua orang seakan sadar hal itu secara naluri. Bagi beberapa orang yang cukup paham akan dampak sampah ini, mereka berani menentang nalurinya untuk membuang sampah di situ, atau ada juga yang karena hasil dari pendidikan orang tua yang bijak untuk menjadikan sungai asri.

Sungai Batang Lembang hampir setiap tahunnya meluap. Penyebab utamanya memang bukan sampah semata. Barangkali pemanfaatan hutan di bagian hulu dan di sekitar daerah aliran sungai itulah yang tidak bijak sehinga air hujan yang jatuh ke bumi tak terbendung, langsung menuju sungai serta membawa erosi. Tapi itu tidak berarti sampah bukan sebuah persoalan. Sampah adalah biang penyakitnya. Tidak heran, setiap kali setelah sungai meluap, banyak warga sekitar yang terkena cacar, penyakit kulit, DBD, dan sebagainya. Sambilan Korong, Anam Suku, Nan Balimo, Salayo, adalah kampung-kampung yang berderet di sepanjang sungai ini, sekaligus merupakan kampung-kampung yang sering terdampak penyakit-penyakit tersebut.

Sampah yang bertumpuk di salah satu jembatan yang melintasi Batang Lembang. (Foto: Komunitas Gubuak Kopi; 2016)

Bangunan rumah di sisi muara Batang Lembang berpotensi menghasilkan limbah rumah tangga yang dapat merusak Batang Lembang. (Foto: Komunitas Gubuak Kopi; 2014)

Sampah yang merusak Batang Lembang. (Foto: Komunitas Gubuak Kopi; 2014)

Pasar Raya Solok adalah pasar terbesar untuk wilayah Kabupaten dan Kota Solok. Kalau Anda pernah memasuki wilayah pasar raya melewati pintu Anam Suku, tentu Anda pernah melihat jembatan yang menjadi pintu pasar. Dari jembatan itulah menyegat bau daging dan darah. Di jembatan itu pula kita bisa melihat kotoran, bulu ayam, dan sisa-sisa potongan ayam dicampakkan. Dari sana pula, kita pun bisa tahu, muara dari selokan kios-kios daging itu adalah Batang Lembang. Darah yang mengalir di selokan itu, kotoran, dan sisa-sisa daging yang tidak untuk dijual terus terjun ke sungai ini. Kita tahu di atasnya juga ada pabrik tahu, yang limbahnya juga langsung jatuh ke sungai. Ke bawah sekitar lima kilometer, kita akan berjumpa dengan rumah pemotongan sapi, tempat darah–darah mengalir menuju Batang Lembang, bersama komposisi lainnya, hingga ke Singkarak. Mereka dianggap sebagai “komposisi organik” yang tidak akan memengaruhi danau yang seluas 100 kali lapangan bola itu, padahal kenyataannya tidak demikian.

Aktivitas warga yang bekerja di tempat pemotongan ternak. (Foto: Komunitas Gubuak Kopi; 2014)

Limbah dari pemotongan hewan ternak mencemari Batang Lembang. (Foto: Komunitas Gubuak Kopi; 2014)

Limbah dari aktivitas warga di sekitaran Batang Lembang. (Foto: Komunitas Gubuak Kopi; 2014)

Saya ingat beberapa kali sore menyaksikan anak-anak yang tinggal di sekitaran muara Batang Lembang, di Sumani, tengah bermain bola bersama teman-temannya. Di tepi sungai itu, terdapat seruas jalan yang cukup lebar untuk bermain bola. Beberapa kali pernah bola itu meloncat ke sungai lalu mereka berenang mengambilnya. Bagi mereka, sebenarnya itu bukan kesenangan, melainkan semacam hukuman, karena badan akan gatal-gatal. Namun anehnya, ada juga beberapa orang dewasa yang suka mandi di sana.

Salah satu jalanan di sisi Batang Lembang sering menjadi tempat bermain bola. (Foto: Komunitas Gubuak Kopi; 2014)

Anak-anak bermain bola di sekitaran Batang Lembang. (Foto: Komunitas Gubuak Kopi; 2014)

Suatu kali di tengah permainan bola, Oky dipangil ibunya. Ia disuruh buang sampah. Spontan ia berlari menuju rumah yang tak jauh dari sana. Dengan dua kantong sampah di tangannya ia berlari keluar, lalu melemparkannya ke sungai. Yang dilakukan Oky merupakan rutinitas sore sehari-harinya, sebagaimana dianggap oleh banyak orang di sana, dan itu biasa saja. Membuang sampah di sungai seakan sebuah latah budaya yang seakan tidak perlu mereka protes. Walau di bawah sana beberapa orang dewasa tengah mencuci atau mandi. “Orang-orang tua itu sudah kebal,” kata anak-anak ini.

***

DI UJUNG TAHUN 2015, saya kembali mengikuti pertemuan antara Batang Lembang dan danau. Di sana saya juga bertemu Ibu Dewi. Dia adalah seorang penangkap rinuak, ikan-ikan kecil yang cukup terkenal dari muara Batang Lembang ini. Ia menangkap rinuak hampir setiap subuh di muara Batang Lembang. Perempuan asal Medan yang bersuami orang Singkarak ini kenal betul muara tersebut.

Penampakan Batang Lembang dari pinggir muara. (Foto: Komunitas Gubuak Kopi; 2015)

Saya mengunjungi rumah Ibu Dewi, salah satu nelayan rinuak. (Foto: Komunitas Gubuak Kopi; 2015)

Saya berbincang dengan Ibu Dewi, salah satu nelayan rinuak. (Foto: Komunitas Gubuak Kopi; 2015)

“Kalau hari hujan, cokelatnya sungai begitu pekat. Bersama sampahnya ia tidak pecah begitu saja sesampai di muara. Aliran yang keruh tersebut akan tetap seperti itu saat memasuki danau, seakan tidak mau menyatu hingga ke bagian tengah danau,” begitu kira-kira terang Ibu Dewi, seperti yang juga diceritakan nelayan lainnya. Sampah tersebar dan berserakan di berbagai titik, tergantung angin mengarahkan ombak ke mana, tapi biasanya dia juga berada di sekitar muara ini.

Penampakan salah satu rumah nelayan rinuak lainnya yang ada di sekitaran Batang Lembang. (Foto: Komunitas Gubuak Kopi; 2015)

Penampakan salah satu rumah nelayan rinuak lainnya yang ada di sekitaran Batang Lembang. (Foto: Komunitas Gubuak Kopi; 2015)

Hari itu, saya mengambil jalan pintas menuju dermaga melewati muara dan tepian danau. Ibu Dewi menganjurkan saya harus ekstra hati-hati atau lewat jalan lain saja. Karena kalau hujan, ada sebuah jembatan kecil yang akan terendam. Di atas jembatan itu sebenarnya motor masih bisa lewat dengan perlahan. Jembatan itu ternyata tidak terjal, ia seperti direntangkan di atas sebuah lubang. Yang tidak mengenakkan adalah keheningan, angin yang tidak terasa, binatang-binatang kecil, seperti jangkrik dan anggota harmoni semak lainnya, menjadi diam. Ada predator! Saya semakin mendekati jembatan, semak beroyak kencang, beberapa ekor biawak sebesar anak-anak 7 tahun itu berlarian menjauhi saya, menerobos semak dan tumpukan sampah menuju danau.

***

DI KEDAI UNIANG, di hadapan Jembatan Sumani yang di bawahnya mengalir Batang Lembang, sambil menikmati kopi, seorang sopir ojek yang rumahnya di tepian tak jauh dari sana bercerita tentang sampah-sampah yang sudah mulai ramai di sekitar rumahnya. “Sampah musim hujan!” katanya.

Saya pernah mendengar, di muara Batang Lembang bakal ada semacam penyaringan sampah. Kabar itu sudah saya dengar sejak sebelum 2013 lalu, juga tersiar di beberapa media lokal. Saya tidak antusias, berita itu tidak sepenting komitmen serius pemerintah membangun masyarakat dan negeri yang bersih. Tentu itu bukan soal perjuangan Adipura: kota bersih di lokasi dan di hari penilaian.

Batang Lembang. (Foto: Komunitas Gubuak Kopi; 2015)

Soal penyaringan tersebut, si sopir ojek bilang begini: “Mungkin harus tunggu kasus serupa jadi sorotan media nasional dulu, seperti Salim Kancil tadi itu, lho…! Kalau tidak, ya… semua dampak akan diamini sebagai bencana seperti asap negeri tetangga.”

Bak kecek urang awak, aia gadang lu, baru barubah tapian!” (‘Seperti yang selalu orang Minang bilang, air besar dulu baru tepian berubah,’) ungkapnya menertawakan.

Solok, 4 Februari 2016

About the author

Avatar

Albert Rahman Putra

Albert Rahman Putra (Solok, 1991), biasa disapa Albert. Penulis, pegiat media, dan pendiri Komunitas Gubuak Kopi, sebuah kelompok studi seni dan media yang berbasis di Kota Solok. Lulusan Institut Seni Indonesia Padangpanjang (2009-2015). Ia juga pencetus lahir ruang diskusi reguler Otarabumalam (2013), yang kemudian juga melahirkan sub-program Musik Tanpa Batas. Selain kesibukan di Gubuak Kopi, Albert juga aktif berkegiatan bersama Orkes Taman Bunga selaku manager. Baru-baru ini ia juga menerbitkan buku pertamanya yang berujudul Sore Kelabu di Selatan Singkarak (Forum Lenteng, 2018). Ia aktif terlibat dalam sejumlah proyek seni di Indonesia baik selaku partisipan, fasilitator, maupun kurator. 2018 lalu ia juga menjadi partisipan program Residensi Penulis Indonesia 2018.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.