Jurnal Kota: Bangalore Negara Bagian: Karnataka Republik India

Bangalore dari Kacamata Saya, Orang Jakarta

Kota ini sudah benar-benar berubah…,” kata Shai Heredia, sambil mengendarai mobilnya pada malam keempat festival. Waktu itu, usai acara festival, saya, Akbar, beserta dua seniman dari Jerman, Helga Fanderl dan Bjørn Melhus, menumpang mobil Shai, menuju restoran Upbeat. Di peta, restoran itu terletak di Dodda Banaswadi Main Road, sekitar 16 menit menggunakan mobil dari Goethe Institut, tapi saya merasa waktu tempuh kami lebih lama dari waktu di peta.

“Dulu, Bangalore tidak seramai ini,” kata Direktur Experimenta itu lagi. “Dalam beberapa tahun saja, pembangunan di kota ini sangat cepat, tapi menjadi kacau. 2010-an tidak semacet ini. Sekarang transportasi umum sangat banyak. Saya juga tidak habis pikir, sangat semrawut… Tuh, lihat, kan…!?” ujarnya, tertawa masygul, sambil menelentangkan telapak tangan kanannya, menunjuk seorang pengemudi motor yang menyalip mobilnya dan memotong lampu merah. Sesaat kemudian, Shai menekan tombol klakson dengan jengkel.

Beberapa saat sebelumnya, sejak dari Goethe Institut, Helga dan Bjørn, yang berbincang-bincang dalam bahasa Jerman, berseru beberapa kali dengan agak ketakutan, seolah-olah mobil kami akan tertabrak. Dan seruan itu muncul beberapa kali lagi sebelum kami sampai di restoran.

“Meskipun begitu, di sini menyenangkan juga,” ujar Helga. “Maksud saya, cuacanya.” Penumpang yang lain mengiyakan. Saya ingat, di hari kedua festival, Helga bercerita bahwa ia sudah pernah mengunjungi sebuah taman kota di Bangalore. “Benar-benar indah dan sejuk,” katanya, sore itu. “Saya ingin datang lagi ke sana, mungkin untuk mengambil beberapa footage.”

Shai pun menjelaskan tentang letak Bangalore yang datarannya tinggi di atas laut. Sesuai dengan cerita Shai, penelusuran saya di internet juga menemukan keterangan bahwa Bangalore terletak di ketinggian 3.000 kaki di atas laut. Informasi lainnya menyebutkan, karena iklim India yang datarannya berbentuk semenanjung dan diapit dua laut, pergantian antara musim hujan dan panas menyebabkan Bangalore yang berada di tengah-tengahnya—jarak lokasinya ke garis pantai di barat dan timur, lebih-kurang, sama—selalu menerima ujung angin/musim hujan sehingga cuacanya selalu sejuk; tidak terlalu basah dan tidak terlalu kering/terik pada setiap musim.

“Yah, meskipun begitu, tetap saja penat dengan kondisi jalanan seperti ini,” kata Shai lagi.

“Kamu tidak sendirian, Shai…” kata saya, menanggapi—saya mendengar Akbar, yang duduk di sebelah Shai, tertawa kecil.

“Oh, iya…! Saya paham…, Jakarta!” kata Shai tertawa kencang.

Bangalore memang sebuah kota yang unik dan tampaknya menjadi salah satu kebanggaan warga India. Selain karena potensi geografis yang dijelaskan Shai waktu itu, keberadaan banyak taman kota dan ruang hijau, membuat kota ini dikenal sebagai The Garden City sejak era 1800-an, tetapi kini mengalami transformasi yang demikian cepat, terutama terkait penataan kotanya yang memunculkan lalu lintas padat.[1]David Abram & Nick Edwards, The Rough Guide to South India (London: Rough Guide Ltd., 2003), hal. 204. Dia sempat juga dijuluki sebagai Pensioners Paradise, tetapi dalam sepuluh tahun terakhir mengalami pembangunan banyak gedung (apartemen) di mana-mana, dan percepatan peningkatan jumlah kendaraan juga menyebabkan kota ini sekarang menjadi tempat yang penuh sesak dan jadi salah satu penyebab turunnya kualitas hidup warga biasa.[2]Vivek Kulkarni, “Offshore to Win and Not Shrink!” (2009), dalam Indian Economic Superpower: Fiction or Future?, Seri ilmiah dunia tentang bisnis abad ke-21, Vol. 2, peny. Jayashankar M. Swaminathan (Singapura: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., 2009), hal. 20. Di tahun 2012, disebutkan juga bahwa penyebab utama polusi di Bangalore berasal dari sektor transportasi.[3]Times of India, “Air pollution? Transport sector to blame”, 3 Juli, 2012, para. 1. Dipetik pada 15 Desember, 2015. Tidak hanya itu, boom teknologi yang kemudian mengantarkan kota ini menjadi Silicon Valley-nya India, juga memancing pengembangan di bidang industri teknologi, menarik banyak imigran, menyebabkan kota tersebut menjadi semakin padat dan kemudian menghadapi masalah kemiskinan dan konflik horizontal yang signifikan.[4]David Abram & Nick Edwards, op. cit. Bangalore seakan menjadi bukti nyata tentang kota di mana iklim alam yang menyenangkan berpadu-padan dengan iklim sosial yang menggerahkan.

Bangalore dari kacamata saya (8)

Bagi saya, Bangalore tidak berbeda dengan Jakarta—meskipun Jakarta beriklim sangat panas. Seorang kawan dari Jatiwangi, Ismal, yang juga punya pengalaman tinggal di Bangalore selama beberapa minggu, bercerita bahwa kondisi lalu lintas di kota itu sangat menegangkan. Para pengemudi, terutama bajaj yang sering dinaikinya, mengendarai kendaraan seakan-akan tanpa rem. Tak peduli apakah ada kendaraan lain di hadapannya atau di sampingnya, jalannya tetap laju dan kencang. Anehnya, kata Ismal, hal itu seakan telah menjadi kebiasaan lumrah, dan masing-masing pengemudi tampak telah memiliki kepiawaian untuk berkendara dengan cara yang demikian. Seperti harmoni, bergerak zigzag menembus ketersendatan macet, tapi tanpa benturan di sana-sini meskipun jalanan padat dan sesak.

Wajah supir bajaj datar saja, seolah tak terjadi apa-apa, menurut Ismal. Dia bercerita tentang bagaimana dirinya dan Pak Ila, teman seperjalanannya, hampir selalu mengalami ‘serangan jantung’ setiap kali bajaj yang mereka tumpangi bergerak beringas melintasi jalanan kota di Bangalore—mungkin mereka berseru-seru ketakutan seperti Helga dan Bjørn.

Bangalore dari kacamata saya (9)

Bangalore dari kacamata saya (10)

Bangalore dari kacamata saya (11)

Cerita menarik Ismal ini, selalu saya tunggu-tunggu untuk dialami sendiri ketika menaiki taksi, tapi itu tak terjadi. Memang, pernah satu-dua kali taksi kami hampir menabrak kendaraan lain, tapi kekagetan semacam itu sudah biasa saya alami di Jakarta—tidak seperti apa yang saya bayangkan berdasarkan cerita Ismal, misalnya terjadi belokan tajam menghindari tabrakan. Apakah mungkin karena bukan bajaj—sebab, Ismal secara spesifik menyebut bajaj…? Sebenarnya, saya sempat mencoba menggunakan jasa bajaj satu kali saja, di hari terakhir sebelum pulang ke Indonesia, sehingga tak cukup bagi saya untuk merasa puas menikmati secara langsung cerita Ismal itu—tak ada kejadian menegangkan selama di bajaj—dan entah mengapa, jalanan yang kami lalui saat itu, dari Blossoms ke Goethe Institut, kosong melompong, berbeda dari hari-hari sebelumnya.

Footnote   [ + ]

1. David Abram & Nick Edwards, The Rough Guide to South India (London: Rough Guide Ltd., 2003), hal. 204.
2. Vivek Kulkarni, “Offshore to Win and Not Shrink!” (2009), dalam Indian Economic Superpower: Fiction or Future?, Seri ilmiah dunia tentang bisnis abad ke-21, Vol. 2, peny. Jayashankar M. Swaminathan (Singapura: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., 2009), hal. 20.
3. Times of India, “Air pollution? Transport sector to blame”, 3 Juli, 2012, para. 1. Dipetik pada 15 Desember, 2015.
4. David Abram & Nick Edwards, op. cit.

About the author

Avatar

Manshur Zikri

Lulusan Departemen Kriminologi, FISIP, Universitas Indonesia. Anggota Forum Lenteng, pelaksana Program akumassa. Dia juga aktif sebagai sebagai kritikus film di Jurnal Footage, dan sebagai Kurator di ARKIPEL - Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.