Jurnal Kota: Bangalore Negara Bagian: Karnataka Republik India

Bangalore dari Kacamata Saya, Orang Jakarta

Avatar
Written by Manshur Zikri
Bulan lalu, 25-29 November, saya mengunjungi India. Tapi hanya ke satu kota, Bangalore, dan tidak pula seluruh lokasi di kota itu saya datangi. Saya ke sana menemani salah satu kurator ARKIPEL, Akbar Yumni, yang diundang oleh Shai Heredia untuk mengisi program penayangan spesial tentang sinema Indonesia di festival filemnya, Experimenta.

Bangalore dari kacamata saya (1)

Selama di Bangalore, kami menginap di The Jamun, sebuah penginapan yang beralamat di Blok 3, RMV Extension. Sementara itu, gedung Goethe Institut (Max Mueller Bhavan) yang menjadi venue festival terletak di CMH Road, Indiranagar. Jarak dari The Jamun ke Goethe Institut sekitar 45 menit menggunakan taksi. Berdasarkan keterangan dari Anuja Ghosalkar, Manajer Festival Experimenta, jarak penginapan kami lebih dekat ke Bandar Udara Internasional Kempegowda, ke arah utara jika berpatok dari lokasi venue festival. Jadi, barangkali The Jamun terletak di antara Max Mueller Bhavan dan bandara. Menurut penjaga The Jamun, tak mungkin menempuh jarak sejauh itu menggunakan bajaj. Bisa saja menggunakan bus, tapi harus naik-turun beberapa kali dan memakan waktu yang lama. Jadi, taksi memang pilihan rasional.

Bangalore dari kacamata saya (2)

Setiap kali naik taksi, saya (dan Akbar juga, sepertinya) merasa bahwa supir taksi yang kami tumpangi menempuh jalur yang berbeda dengan supir sebelumnya, sehingga kami sulit mengingat-ingat bangunan-bangunan di pinggir jalan yang kami lewati untuk menandai lokasi. Setiap hari, rombongan kami berjumlah tiga orang. Ada Shireen Seno, kurator dari Filipina, yang juga menginap di The Jamun. Keberadaan Shireen yang jago bahasa Inggris tak berefek banyak, karena kenyataannya semua supir yang taksinya kami tumpangi tidak terlalu fasih berbahasa Inggris. Pertanyaan dan kebingungan kami mengenai jalur yang berbeda itu tak pernah ditanggapi—si supir hanya fokus pada alamat yang diberikan kepadanya.

Bangalore dari kacamata saya (3)

Penjaga penginapan selalu memesankan taksi untuk kami menggunakan Ola Cabs, sebuah aplikasi pemesanan alat transportasi di ponsel pintar, yang sepertinya cukup populer di kota itu (semua kenalan kami di India menggunakannya). Anehnya, ongkos taksi juga selalu berbeda meskipun lokasi keberangkatan dan tempat yang akan kami tuju selalu sama setiap harinya. Pernah suatu kali kami hanya membayar 200 rupee, pernah pula mencapai 500-an rupee. Saya sempat berniat membeli kartu SIM (nomor) lokal India, dengan harapan bisa memesan taksi sendiri supaya dapat memastikan berapa ongkosnya. Tapi urung karena, selain harga kartunya mahal, para penjual mengharuskan saya menyertakan fotokopi passport jika ingin membeli nomor. Itu cukup merepotkan, apalagi kami hanya lima hari di India.

Bangalore dari kacamata saya (4)

Jadwal festival pun sangat padat, dari pukul 12 siang hingga 10 malam. Waktu jeda istirahat di sela-sela acara hanya 30-60 menit. Kami selalu berangkat dari penginapan sekitar pukul 11 siang dan kembali pulang pada malam hari, sekitar pukul 12. Pengaturan jadwal acara festival, di satu sisi, sangat menguntungkan. Mumpung hanya beroperasi di satu venue dan tidak ada jadwal yang bentrok, tentu saja saya tidak mau melewatkan satu penayangan filem pun atau diskusi yang diadakan Experimenta. Tapi di sisi lain, kami tidak memiliki cukup waktu untuk berkeliling kota. Saya memang sempat berkunjung ke sebuah toko baju Fabindia, yang berjarak sekitar 5 menit berjalan kaki dari Goethe Institut, menemani Akbar membeli oleh-oleh untuk ibunya, dan ke sebuah toko buku di MG Road, bernama Blossoms, pagi terakhir kami di negara itu. Selebihnya, kami hanya mengunjungi beberapa restoran setiap malam bersama-sama panitia dan tamu festival.

Pada waktu-waktu jeda acara, banyak pengunjung festival yang menghabiskan waktu dengan nongkrong berdiri di depan gedung Goethe Institut. Umumnya mereka merapat ke lapak pedagang teh yang berjualan di seberang jalan. Gedung tersebut terletak di sudut persimpangan antara Jalan Raya Chinmaya Mission Hospital (CMH Road) dan 2nd Cross Road.

Bangalore dari kacamata saya (5)

Sejauh pengamatan saya, ada banyak jalan yang dilabeli “main road” dan “cross road”. Jika kita lihat di peta Google (yang mana arah utara berada di bagian atas), “cross” menunjukkan jalan yang arahnya vertikal, sedangkan “main” yang arahnya horizontal. Setiap jalan kecil diberi nama sesuai dengan urutan jarak dari sebuah jalan raya, misalnya “1st Main Road”, “2nd Main Road” (dan seterusnya), atau “1st Cross Road”, “2nd Cross Road” (dan seterusnya). Ada juga jalan yang disematkan huruf “A” atau “B”, seperti “1st A Main Road” atau “2nd B Cross Road”. Sementara itu, 2nd Cross Road yang saya maksud adalah sebuah jalan kecil yang memotong CMH Road—diberi urutan “kedua” (2nd) karena letaknya secara paralel berada di urutan kedua, sebelah barat, dari Jalan Raya Domlur – KR Puram (Domlur – KR Puram Road), di mana jalan raya itu terletak di ujung timur CMH Road. Gedung Goethe Institut itu terletak di persimpangan 2nd Cross Road yang memotong CMH Road itu, tepatnya di sisi selatan CMH Road dan sisi timur 2nd Cross Road, sedangkan si pedagang teh yang saya sebut itu, berada di seberang Goethe Institut, mangkal di sisi selatan CMH Road dan di sisi barat 2nd Cross Road.

Bangalore dari kacamata saya (6)

Selama hari-hari festival, baik panitia, tamu, maupun sebagian warga yang berlalu lalang, selalu meramaikan lapak si pedagang teh. Apalagi sore hari. Si pedagang menjual dua macam teh: lemon tea dan masala tea. Yang kedua menjadi favorit mayoritas warga beretnis India, sedangkan yang pertama menjadi favorit saya dan Philip Widmann (seorang seniman dari Jerman yang saya kenal sejak dia datang ke Jakarta, Agustus lalu). Banyak orang yang membeli teh seharga 8 rupee itu berkali-kali, karena sajiannya yang sedikit: dalam gelas plastik yang ukurannya cuma bisa memuat teh sebanyak dua kali teguk. Selain teh dan gorengan—saya tidak tahu namanya, yang jelas seperti kue pastel, juga seharga 8 rupee—pedagang itu juga menjual rokok. Orang-orang tidak bisa membeli rokok sebungkus-dua bungkus, harus batangan, seharga 11 rupee per batang.

Di hari ketiga festival, beberapa saat setelah saya baru saja tiba di venue festival, seorang warga menghampiri saya dan bertanya, “Ada acara apa di dalam sana?” seraya menunjuk gedung Goethe Institut.

“Festival filem, Experimenta,” jawab saya, menunjuk spanduk festival yang terpampang jelas di atas gerbang masuk gedung.

“Oh…?!” orang itu mengangguk-anggukkan kepala. Darinya, saya tahu bahwa titik lokasi itu tidak ramai oleh pejalan kaki pada hari-hari biasa. Orang yang bertanya kepada saya itu mengaku, dia tahu bahwa di gedung tersebut ada sekolah bahasa Jerman (begitulah dia menyebutnya), dan kadang-kadang memang ada acara. Tapi, menurutnya, beberapa hari itu adalah yang paling ramai dibandingkan acara-acara lain yang pernah dia lihat.

Kalau begitu, si pedagang teh sedang untung banyak dalam beberapa hari ini, pikir saya.

Bangalore dari kacamata saya (7)

Orang itu juga bertanya tentang asal saya dan apakah saya adalah salah satu siswa sekolah Jerman itu. Dengan tersenyum, saya menjelaskan bahwa kedatangan saya bersama seorang kawan memang untuk mengisi acara di festival Experimenta. Yang membuat saya yakin dia adalah warga biasa, bukan publik festival Experimenta, adalah karena dia bertanya lagi apakah filem-filem yang ditayangkan di festival itu filem-filem Bollywood. Saya pun menjelaskan dengan susah payah, bahwa Experimenta menghadirkan filem-filem dari berbagai negara yang memiliki gaya cerita dan visual yang tidak biasa.

Ketika mengetahui saya dari Indonesia, dia menjadi bergairah. “Bagaimana Bangalore menurutmu?” tanyanya (sama seperti pertanyaan basa-basi dari orang-orang lain yang saya temui sepanjang festival). Saya menjawab, “Tidak jauh berbeda dengan Jakarta, kota tempat saya tinggal di Indonesia.”

“Mengapa begitu?” tanyanya lagi, penasaran.

Mengingat pengalaman menempuh perjalanan sepanjang 20 km menggunakan taksi setiap hari, saya pun menjawab singkat: “Macet…,” disambut tawa lepas orang itu.

About the author

Avatar

Manshur Zikri

Lulusan Departemen Kriminologi, FISIP, Universitas Indonesia. Anggota Forum Lenteng, pelaksana Program akumassa. Dia juga aktif sebagai sebagai kritikus film di Jurnal Footage, dan sebagai Kurator di ARKIPEL - Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.