Jurnal Kecamatan: Rangkasbitung Kota/Kabupaten: Lebak Provinsi: Banten

Band Lebak Kini

Avatar
Written by Jaenudin "Dableng"

Aku tidak banyak tahu tentang sejarah musik di Rangkasbitung. Awal musik tradisional yang dulu berkembang di Rangkasbitung ataupun musik modern yang masuk ke Rangkasbitung semuanya blank!. Semuanya terasa buram. Aku hanya mulai dari kisah kecil keseharianku dan ngobrol bareng dengan band Dangers of Live.

Dangers Of Live, sedang latihan di studio Scamp tahun 2009

Dangers Of Live, sedang latihan di studio Scamp tahun 2009.

Aku menghabiskan waktu setiap harinya sebagai penjaga studio musik milik kawan seperjuangan dari Desember 2004 hingga kini. Perhatian Pun kini difokuskan pada remaja dan anak muda di kota Rangkasbitung. Ingatanku tertuju pada sebuah band seangkatan yang masih eksis, Iron nama salah satu personilnya. Kenapa sampai sekarang masih terus ngeband di sela-sela kesibukan kerja? Waktu itu dia menjawab dengan mudah, “aku hanya menikmati hidup”, hanya kata itu yang terucap. Ketika aku melontarkan pertanyaan kembali padanya, kenapa bergabung dengan anak muda, sedangkan usia kita sudah mulai menua? “Aku hanya mendampingi mereka tidak lebih”, sambil tergagap merasa aneh karena aku menanyakannya di luar kebiasaan.

Kecenderungan main band di kota Rangkasbitung semata-mata hanya untuk senang atau menyenangi. Penguatan fakta, dengan kedatangan mereka ke studio musik setiap waktu menandakan bahwa mereka hanya ingin melampiaskan emosi jiwa mereka. Secara psikis mereka membutuhkan media penyalur tentang hal, entah pesan yang dibentuk lewat suara maupun gaya bahasa tubuh mereka yang berjingkrak ke atas, ke kanan dan ke kiri, menggenggam microphone. Hanya memainkan lagu-lagu yang mereka kuasai dan yang disenangi. Seperti halnya band yang saya akan sampaikan kepada kalian. Dangerous of Live, salah satu band dari sekian banyak band yang menjamur di kota Rangkasbitung. Kami bicara singkat di Saidjah Forum, dengan mereka, tulisan ini akan menjadi penjelas dari penulisan yang tertunda. Band sekolah yang gedungnya berada di Kampung Cempa dekat penjagalan kerbau menuju Cibeureum.

Sekumpulan remaja lugu dan polos membangun mimpinya menjadi musisi dimulai. Merujuk pada pengertian musisi, manusia yang memainkan alat musik seperti drum, gitar, piano, atau orang  yang menyanyi. Musikus juga seorang yang menulis musik, entah untuk dirinya sendiri ataupun sengaja untuk dimainkan buat orang lain. Biasanya orang yang menulis musik disebut komponis, baca selebihnya di wikipedia tentang sejarah musik. Cerita yang diucapkan mereka ketika membentuk band bermula dari sekedar iseng dan mempunyai kesamaan hobi. Kini sudah berubah menjadi mimpi besar yang terus akan dipupuk dan dikejar hingga tercapai. Kami membicarakan dan bertukar pengalaman bermusik di Saidjah Forum dengan pengetahuan yang secukupnya, dan mereka pun bercerita mengenai awal mula pembentukan band. Ucapan lugu keluar dari remaja-remaja daerah ini mengenai band.

“Sudah satu tahun terbentuk, bulan Juni 2007 tanggalnya aku sudah lupa, maklumlah sudah tua”, ujar Fazririn (15 tahun) yang dipercaya memainkan lead guitar. Tiba-tiba kawannya menyela pembicaraan, “eeh…Desember! Bukan gobl…k band kita berdiri bulan juni 2007. eehh…tapikan aing euncan gabung jeung dia. Enggeus…!urangkan asupna bareng-bareng.” (tapi aku belum bergabung sama dia. Sudah..! kitakan bergabungnya bareng-bareng), ujar Zikri. “Sudah-sudah…itu kalian direkam, nanti kalau muncul di televisi gimana?, malu-maluin saja”.

Berfoto saat wawancara di Saidjah Forum

Berfoto saat wawancara di Saidjah Forum

“Om sebetulnya kami berdua yang ngabentuk pertama kali, tos dong…! Pluksus!!!”, seorang bernama Zikri menyodorkan tangan kanan ke Fazri. Begitulah kutipan obrolan mereka bersamaku.

“Laju usia personil band ini paling tua 15 tahun. Mereka menginginkan pentas di keramaian, dan peristiwa pementasan di pemutaran akumassa Lebak membuat semangat mereka berlipat karena sekumpulan remaja ini tidak mau rugi hanya jadi penonton”, Adul menambahkan.

“Seandainya mereka berhasil jadi band besar, saya berniat berkata pada mereka–guru-guru yang melarang aktivitas musik band di sekolahnya. Coba lihat anak-anak yang dulu kalian larang, sekarang sudah menjadi band berbakat. Orang yang kalian larang kini menjadi bintang tamu, padahal kenyataannya masih jauh dan sangat jauh dari kata sukses dari capaian mimpi mereka. Dangers of Live tidak memiliki peralatan band secara lengkap apalagi di sekolah. Mereka menjajaki studio musik di beberapa tempat di kota Rangkasbitung dan itu terjadi setiap seminggu dua kali mereka menghabiskan waktu dengan berlatih, walaupun hanya beberapa jam. Kunjungan paling jauh kami ke studio K di Serang”, ujar Adul.

Rasa penasaran, menanyakan sekolah mereka dimana. Tetapi Adul pun menyela pembicaraan dan berkata, “sekolah mereka di SMP Islam Terpadu Al-Qudwah di Kampung Cempa (Desa Karang Anyar arah menuju ke Bojong Leles, dekat Jembatan yang di sampingnya ada tengkulak bambu, dan pabrik tahu. Dari arah Mandala kalau posisi kita dari kota lalu belok ke kiri nanti tembus di Kampung Aweh. Di situ ada perempatan yang arahnya menuju ke Cibeureum tempat jagal baru. Tempatnya ada di sebelum perempatan samping jembatan dekat pabrik sepatu. Kalau pabrik sepatu ke kiri, ini lurus terus setelah jembatan. Lalu di situlah tempatnya ada di sebelah kiri”, aku dibuat pusing dengan penunjuk arah lisan yang diberikan Adul. Sepertinya dia hafal betul daerah situ, akupun bertanya kembali padanya apakah dia asli dari kampung situ dan dia pun menjawab tidak.

“Rumah saya di Cijoro. Kenal mereka saat saya mengajar di sekolah. Saya mengajar mata pelajaran kesenian di kelas 1, 2 dan 3, tetapi sekarang hanya kelas 2 dan 3. Saya mengajar sudah dua tahun setengah, tepatnya dua tahun enam bulan. Saya hanya guru honorer 24 jam, karena setelah mereka keluar dari sekolah saya tetap memiliki tanggung jawab. Maka ketika ada perbuatan mereka yang negatif di luar sekolah, yang disalahkan pasti saya. Mungkin di sekolah, saya guru yang paling dekat dengan murid, jadi mereka tidak sungkan berbicara dengan saya tanpa batas jika diluar sekolah”, ujar Adul.

“Apakah waktu sekolah, anda punya pengalaman ngeband?”

“Iya, aku sempat ngeband waktu sekolah SMKN 1 di Kompleks Pendidikan, namanya Tarantula, selanjutnya selesai sekolah saya bergabung dengan band bersama kawan-kawan alumni SD, namanya Super Fly, lalu bergabung lagi bersama band Rabbit, dan berakhir bersama band Family Clausas, dan itu dulu, sekarang sudah bubar. Beruntung dukungan orang tua wali sangat besar, bahkan menyarankan kepada pihak sekolah untuk menyediakan alat musik, tetapi sekolah malah tidak menggubris dengan alasan tidak memiliki dana”, sambung Adul.

“Apa yang anda lakukan saat ini untuk mewujudkan harapan mereka?”

“Saya hanya menyemangati supaya jangan sampai mundur di tengah jalan, merujuk pada pengalam tahun 1999. Sekarang mereka sudah berani minta tambahan uang untuk latihan, hal itu dampak dari pemisah jarak antara guru dan murid saat di luar sekolah.”

Penampilan pada pemutaran akumassa Lebak

Penampilan pada pemutaran akumassa Lebak

Personil Band

Fajirin Al-Faruk lahir tahun 1993, dia memegang lead guitar. Lulusan sekolah SD Pasir Tariti Rangkasbitung Barat 2. Keinginannya masuk ke SMP 2 Rangkasbitung di Kompleks Pendidikan tetapi kemauan ayahnya berbeda, diapun masuk SMP Islam Terpadu. Perkenalan dengan Zikri dan Kiki sudah dari dulu, karena mereka satu kompleks rumah. Awal pegang alat musik, adalah gitar bolong (akustik). “Saya belajar sama ayah. Ayah saya dulunya pernah ngeband juga. Ayahku dulunya pengajar di MTSN 1 Kompleks Pendidikan tetapi sekarang sudah pensiun. Yang mengajarkan musik selain ayah saya adalah, kakak, teteh, dan mamah. Keluarga semua menyenangi musik. saya dan Kiki memberi nama band-nya Dangers of Live. Dangers artinya bahaya sedangkan Live artinya kehidupan, maka maksud sesungguhnya adalah: band yang membahayakan kehidupan band-band yang lain. Kami disebut oleh guru lain sebagai ‘anak nakal’ jadi Dangers of Live bisa membahayakan kehidupan anak sekolah juga”, menurut Fajrin sambil tertawa lepas.

“Waktu pemutaran acara di Saidjah Forum, kami senang sekali manggung dan berharap bisa lebih dikenal. Kami menikmati suasana pementasan. Aku di rumah kalau sedang merenung sambil pegang gitar, aku suka bikin lagu. Aku belum bisa not balok, kalau ayah bisa not balok. Kami bikin satu lagu Hari-hari Terasa Mati, tentang seseorang yang sudah ditinggalkan dan masih membayangi pikirannya karena kenangan. Kami pernah didampingi pak Salam buat lagu judulnya I’m sorry I Hate U. Kami banyak mendengar musik mancanegara bareng-bareng di televisi dan video klip, kami juga banyak dengar hanya musiknya saja, liriknya kadang sulit dimengerti. Ketika memutuskan sesuatu kadang pusing kalau beda pendapat”, ujar Fajrin.

Muhammad Iksan Sujana yang memainkan gitar dipanggil kawan-kawannya Icang menambahkan. “Kalau aku pertama main alat musik gitar di ajar sama adik kelasku namanya Leo”.

“Om..! namanya sebetulnya Rio, dia tidak bisa menyebut huruf R!”, sela kawannya.

“Sekarang yang ngajarin gitar itu justru dia sekarang. Kami menyukai musik rock dan musik apa saja asalkan jangan dangdut. Saya bisa main gitar otodidak, keluarga tidak ada background musik. Saya kenal dengan kawan-kawan pada saat Masa Orientasi Siswa (MOS). Saya diajak mereka”, ujar Muhammad Rizal Firdausi.

Zikri Jinda nyeletuk angkat bicara, “kami tadinya berempat, tidak ada vokal waktu itu, ketika mencari vokal semua setuju pada Rizki Maulana Afandi. Idola musik saya Avenged Sevenfold.”

Menurut Iksan, di sekolah dia mengaku suka pelajaran seni dan Matematika. “Bapakku berencana mau belikan gitar tapi niatnya diurungkan karena saya bengal.”

Mataku berpaling pada satu sosok remaja yang diam tidak ikut keriangan obrolan.

“Nama kamu siapa?” Tanyaku.

“Namaku Muhammad Rizaludin Firdausi.”

“Kamu tahu arti nama sendiri?”

“Kata orang tuaku, Muhammad itu artinya pemimpin, Rizaludin artinya laki-laki pembawa agama, Firdausi artinya Surga Firdaus jadi namaku diartikan sebagai pemimpin laki-laki pembawa agama untuk surga firdaus, itu kata orang tuaku”, sahutnya sambil menutup mukanya dengan kedua telapak tangan.

“Kamu sekolah dimana?” Tanyaku lagi.

“Saya memilih sekolah bareng Fajrin karena kemauan ayah. Tadinya saya disuruh memilih, pesantren atau sekolah, kalau pesantren tidak bisa pulang tetapi kalau sekolah kamu bisa pulang. Aku lebih memilih pulang kerumah dan ketemulah sama mereka.”

About the author

Avatar

Jaenudin "Dableng"

Zainudin "Dableng" adalah salah seorang anggota Saidjah Forum. Ia terlibat dalam kegiatan lokakarya AKUMASSA Lebak, dan juga dalam produksi film dokumenter panjang, berjudul Dongeng Rangkas (2011, disutradarai oleh Andang Kelana, Badrul “Rob” Munir, Fuad Fauji, Hafiz & Syaiful Anwar) yang diproduksi oleh Saidjah Forum dan Forum Lenteng.

4 Comments

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.