Lenteng Agung, Jakarta Selatan

Akses Terhadap Pemilu Layaknya Akses Warga Terhadap Perbaikan Jalan

Avatar
Written by Manshur Zikri

Nyoblos di TPS 16, RT 007/002, Kelurahan Lenteng Agung

Rencana saya di tanggal 9 April, 2014, berantakan gara-gara bangun kesiangan. Pukul setengah sepuluh, saat terjaga, saya langsung bangun dari tempat tidur dan berlari menuju TPS di Gang Anyar, Jalan Lenteng Agung. Bukan untuk nyoblos, tapi untuk memperhatikan orang-orang nyoblos, khususnya Mbak Minah dan Mas Min, pasangan suami-isteri yang merupakan induk semang di kontrakan tempat Forum Lenteng bermarkas.

Gang Anyar.

Gang Anyar.

Sudah pastilah harapan saya ketika berlari tak akan terwujud, yakni menyaksikan Mbak Minah dan suaminya nyoblos. Sebab, sehari sebelumnya mereka bilang akan nyoblos pada jam tujuh pagi. Setibanya di TPS No. 16, RT 007/RW 002, Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa itu, saya hanya melihat pemandangan biasa yang tak jauh beda dengan peristiwa pemungutan suara Gubernur Jakarta pada Bulan Juli, 2012. Saya sempat memperhatikan peristiwa itu beberapa menit, lalu memutuskan kembali ke kontrakan Forum Lenteng, memutar otak untuk mencari angle baru untuk tulisan yang hendak dibuat.

IMG_3636

IMG_3635

Siang harinya, saya kembali mendatangi TPS itu. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) sedang menghitung jumlah suara. Panitia menyebut, “Satu suara untuk si anu dan partai anu” atau terkadang juga menyebut, “Satu suara untuk partai anu saja, tanpa nama calon”. Karena peristiwa itu masih membosankan, saya pulang lagi ke Forum Lenteng.

Sore harinya, saya datang lagi ke TPS. Panitia masih menghitung suara. Beberapa orang sibuk di depan papan pencatatan suara, menghitung-hitung dan menulis jumlah suara. Saya menunggu cukup lama, tapi tak terjadi sesuatu. Saya bertanya ke salah seorang ibu yang ada di sana, “Hasilnya sudah diumumkan, Bu?”

Nggak, katanya hasilnya nggak diumumin,” jawab ibu itu.

Lalu, saya mendengar salah seorang panitia berseru, “Ini dilipat saja, ya?! Sudah dihitung, kan?”

Sedetik kemudian saya menghampiri si panitia, dan meminta izin ingin mengambil foto kertas-kertas penghitungan suara yang akan dilipat. Sialnya, saya hanya dapat mengambil foto hasil suara untuk pemilihan DPD.

IMG_3625 IMG_3626

Saat kembali ke Forum Lenteng maghribnya, saya tetap tak menemukan angle baru. Sebab, memang incaran saya adalah kisah Mbak Minah dan suaminya saat mencoblos. Pertimbangan saya mengapa harus Mbak Minah dan suaminya adalah karena pasangan suami-istri ini merupakan rantauan dari Cilacap dan Kebumen yang sudah tinggal cukup lama di Jakarta. Pandangan mereka mengenai peristiwa Pemilu 2014, secara umum melalui pengalaman mereka di TPS Lenteng Agung, saya rasa cukup tepat untuk membuka wacana perspektif warga masyarakat awam mengenai demokrasi.

Akhirnya, Kamis pagi, 10 April, 2014, saya putuskan untuk tetap mewawancarai Mbak Minah dan suaminya. Saya minta mereka menceritakan pengalaman mereka saat nyoblos. Percakapan yang tertera di bawah ini hanya kira-kira, seingat saya saja, karena memang wawancaranya tak saya rekam. Lebih kurang, dialog yang saya tuliskan di sini mengandung inti percakapan kami.

IMG_3640

Warung Mbak Minah yang berada tepat di depan kantor Forum Lenteng.

“Saya gak tahu, Kri!” ujar Mbak Minah. “Gak ngerti omongan yang begitu. Milih, ya milih aja. Kemarin juga datangnya telat, udah sepi…”

“Kemarin ke TPS-nya jam berapa, Mbak?” tanya saya. “Sama-sama dengan Mas Min juga?”

“Siang saya datangnya… Kalau Mas Min udah duluan, pagi-pagi.”

“Ya, saya pengen tahu, bagaimana Mbak Minah milihnya,” saya coba pancing terus ketika ada penolakan darinya untuk berbagi pengalaman. “Kenapa milihnya si itu, alasannya apa?”

“Saya juga bingung,” katanya. “Orang kemarin saya panggil panitianya, ‘Sini-sini, saya gak tahu ini gimana caranya?!’ … Begitu!” Mbak Minah memperagakan ceritanya dengan menggerakkan tangan seperti memanggil orang.

“Lagi survei, Mas?” tanya seorang laki-laki yang kebetulan waktu itu ikut duduk di depan warungnya Mbak Minah. Saya tak tahu dia siapa.

“Iya, untuk tulisan tentang pemilu,” kata saya.

“LSI atau…?”

“Ini, Forum Lenteng,” kata saya sambil menunjuk kantor Forum Lenteng yang berada tepat di depan warung Mbak Minah.

“Sama dia aja, dia lebih tahu!” kata Mba Minah.

“Ya, yang lain juga nanti saya tanya, tapi saya mau tahu pengalaman Mbak Minah dulu,” kata saya. “Gini, lho, Mbak! Pengalaman Mbak Minah aja, pertimbangan Mbak Minah kenapa milih caleg-nya. Calegnya gak perlu disebut.”

“Orang aja gak kenal, gak tahu mau milih yang mana…”

“Tapi tetap nyoblos, kan? Pernah lihat calon-calonnya di TV atau tahu dari mana, gitu?”

Nggak, sekarang ini saya udah jarang nonton TV, Kri…”

“Terus, pas milih kemarin, gimana nentuinnya?”

“Ya, pilih yang mana suka aja.”

“Alasan sukanya…?”

“Kemarin sebelum masuk nyoblos, saya lihat dulu di papan depan TPS, tuh, kan ada foto-foto calonnya,” cerita Mba Minah. “Pas mau nyoblos, bingung… ‘Oh, iya! Ingat fotonya, sempat lihat di depan…!’ Ya, saya pilih itu.”

Gitu doang???”

“Iya…” kata Mbak Minah dengan ekspresi meyakinkan. “Orang bingung… beda kayak yang pemilu dulu.”

Emang yang dulu gimana?” saya penasaran. “Bedanya apa?”

“Kalau dulu itu, kan ada foto-fotonya, ada partainya, ada namanya,” kata Mbak Minah. “Kalau yang sekarang nggak, foto aja semua. Ada juga yang cuma partainya doang, terus nama-nama, gak ada foto.”

IMG_3573

Calon-calon legislatif yang dipampang di papan depan TPS.

IMG_3572 IMG_3571

Lalu saya meminta Mbak Minah menjelaskan bentuk surat suara yang ia coblos. Penjelasannya serupa dengan contoh surat suara Pemilu 2014 yang saya lihat di internet. Surat pertama berwarna merah yang di dalamnya tertera foto-foto bernama (tanpa partai), untuk memilih anggota DPD. Kedua (biru) dan ketiga (kuning) adalah surat yang di dalamnya tertera logo partai dan nama-nama di bawah setiap logo, yakni surat untuk memilih anggota DPRD dan DPR RI. Menurut Mbak Minah, pemilu sebelumnya tidak seperti itu. Kemasannya lebih lengkap, setiap partai mencantumkan foto dan nama. Oleh sebab itu, Mbak Minah menentukan pilihannya berdasarkan foto yang ia lihat terpampang di papan pengumuman depan TPS. Ia pun tak mencoblos nama, hanya logo partainya.

Mbak Minah dan anaknya sedang memasak di warung miliknya.

Mbak Minah dan anaknya sedang memasak di warung miliknya.

“Pokoknya bingung, Kri…!” kata Mbak Minah menegaskan lagi. “Kalau nenek-nenek yang milih pasti juga makin bingung…”

Saya tertawa mendengar keluhan Mbak Minah itu. Diam beberapa saat, laki-laki yang tadi bertanya kepada saya, mencoba memberikan pendapatnya.

“Sekarang ini, ya susah juga, Mas!” katanya, yang ketika saya tanya mengaku bernama Suyanto. “Kalau milih, belum tentu baik buat kita. Gak milih, juga gak baik buat kita. Jadi, ya daripada gak milih, ya ikut nyoblos aja.”

Saya diam saja mendengar pendapatnya dan dia berkata lagi, “Daripada gak ada…?! Paling nggak, ya satu suara untuk partai. Karena, kan sekarang ini susah kalau gak lewat partai. Mana ada sekarang tokoh yang independen terus maju jadi presiden?! Makanya, yang pileg kemarin, coblos untuk partainya saja.”

“Ya, memang sih, susah kalau berpolitik gak lewat partai,” kata saya.

“Terus juga kalau diamati, ya, Mas, masyarakat itu juga memilih kalau bukan karena duit, ya gak akan milih,” katanya. “Banyak itu kejadian. Contohnya, kayak di kampung isteri saya itu, begitu…!”

“Kampungnya di mana, Mas?”

Mas Suyanto diam sebentar, lalu berakta, “Ya, di sekitaran Solo lah…”

“Hm… terus, terus?!”

“Ya, masyarakat awal dukung yang ini. Pagi-pagi sebelum milih, dikasih seratus lima puluh, langsung semuanya balik,” kata Mas Suyanto melanjutkan cerita. “Walaupun masyarakat dukungnya yang ini, kalau lawannya bisa ngasih duit lebih banyak, ya semua orang milih yang ada duitnya.” Mas Suyanto bercerita sambil memperagakan sekawanan orang-orang di atas meja dengan jarinya, lalu jari-jari tangannya itu bergerak ke arah yang berlawanan.

“Iya, saya juga mah kalau ada duitnya, gak bakal nolak!” Mbak Minah menimpali, lalu tertawa keras.

“Tapi, ya kalau dipikir-pikir, dari semua caleg itu, yang nyuap juga cuma dua puluh persen,” kata Mas Suyanto lagi. “Selebihnya, masyarakat yang minta, yang akhirnya bikin para caleg menyuap secara gak langsung.”

Saya mengerutkan kening mendengar pendapat itu. Menyadari kebingungan saya, Mas Suyanto menjelaskan lagi, “Sekarang-sekarang ini memang udah jarang orang yang datang ngasih duit supaya masyarakat mau coblos. Tapi, warga di kampung-kampung itu biasanya akan milih kalau si calon bisa kasih sesuatu buat kampungnya.”

Cerita Mas Suyanto itu cukup panjang. Ringkasnya, menurut Mas Suyanto, umumnya warga akan memilih seorang calon jika calon tersebut dapat memenuhi tuntutan warga pada saat pra pemilihan. Dalam pandangan Mas Suyanto, warga sudah sulit untuk percaya dengan para calon karena jika sudah terpilih, ujung-ujungnya hanya dibohongi dan warga tidak dapat apa-apa. Jadi, ketika kampanye, warga terlebih dahulu menuntut sesuatu dari calon sebagai jaminan, dan kalau sudah dipenuhi, barulah warga memilih. Berdasarkan pengalaman Mas Suyanto, yang diakuinya ia dapatkan dari obrolan sesama warga, di warung kopi, dan pengalaman di kampung, mulai dari pemilihan Lurah, Camat hingga sekelas Legislatif, yang diminta oleh warga masyarakat adalah perbaikan jalan atau infrastruktur kampung.

“Biasanya mereka minta sekian ratus sak semen, buat perbaikan jalan,” kata Mas Suyanto. “Jadi, ya masyarakatnya juga yang bikin caleg-caleg jadi nyuap. Iya, toh?”

Saya hanya mengangguk-angguk saja.

“Ya, begitu! Kalau tidak dipilih, ya mau gimana? Lebih baik, kan daripada roda pemerintahan gak jalan. Ya, paling nggak dana kampanyenya bisa buat warga, bisa beli kebutuhan-kebutuhan… beli gas… Yang paling penting, biasanya, ya perbaikan jalan.”

“Iya, jalan itu penting. Soalnya buat akses kita juga, Kri, kalau mau ke mana-mana,” Mas Min akhirnya angkat bicara juga. “Sama kayak di kampung kita, juga begitu, kan?”

“Iya!” kata Mbak Minah. “Lurah di kampung saya itu gobloknya minta ampun. Masa kebutuhan warga soal perbaikan jalan nggak dipenuhin. Katanya, karena belum balik modal.”

“Lurahnya ngomong begitu?”

“Iya…!”

“Nama kelurahan di kampung Mbak Minah itu apa?”

“Apa, yak?” Mbak Minah malah bertanya ke suaminya.

Mas Min berpikir mengingat-ingat, kemudian menyebut nama Kelurahan Kali Gending, Kecamatan Sadang, Kebumen. Desa tempat tinggal mereka adalah Desa Pereng.

“Itu tahun berapa kejadiannya, Mbak?”

“Baru-baru ini… Lurahnya masih menjabat. Kalau nggak salah, dua tahun lagi, apa, masa jabatannya selesai…” kata Mbak Minah. “Pernah masuk TV juga itu…”

Semua keterangan itu saya catat di kertas yang saya bawa. Melihat saya mencatat seperti itu, Mas Suyanto pun bertanya  lagi, “Kalau survei-survei begini, bisanya bisa langsung ke pemerintah, gitu ya, Mas?”

“Ya, gak secara langsung, sih…” jawab saya.

“Nah, itu… menyampaikan aspirasi ke pemerintah itu juga susah,” kata Mas Suyanto. “Kita orang kecil ini gak bisa apa-apa.”

“Sama juga itu kayak RT di kampung saya, suruh bikin proposal untuk perbaikan jalan ke Lurah, gak bisa-bisa,” kata Mas Min.

Mbak Minah dan Mas Min pun menceritakan bahwa RT di tempat tinggal mereka di Desa Pereng itu masih termasuk saudara mereka sehingga obrolan mereka bisa lebih santai ketika membahas si Lurah.

“Saya pernah marahin RT-nya,” kata Mbak Minah. “Saya bilang, ‘Kamu itu gimana, sih jadi RT? Goblok bener?! Masa ngurusin buat jalan ini ke Lurah aja gak bisa-bisa?!’ Soalnya dia juga keluarga kita, gitu, jadi bisa ngomong blak-blakan.”

Mas Suyanto pun memberikan pendapatnya lagi bahwa seharusnya yang terpilih bisa menyampaikan apa yang diinginkan masyarakat. Tapi, kenyataannya tidak, warga dibohongi. Apalagi sekarang, calon-calon yang maju tidak dikenal oleh masyarakat.

“Banyak pilihan, tapi justru gak bisa milih, ya, Mas?” ujar saya.

“Iya, bener!” seru Mas Suyanto. “Mendingan dulu zaman Pak Harto, tiga partai aja cukup, gak perlu pusing. Kalau zaman dia itu, kan, masyarakat gak perlu tahu negara ada utang berapa, yang penting bisa hidup tenang. Gaji sedikit tapi berasa kaya. Gak kayak sekarang, gaji banyak tapi kok gak cukup-cukup…”

Piye kabare? Enak jamanku toh, Le?” ucap Mbak Minah menirukan iklan kampanye sejumlah calon legislatif yang menggunkan ikon Soeharto untuk menarik perhatian warga.

Miris juga mendengar pendapat-pendapat seperti itu. Ada semacam keterputusan pemahaman tentang polemik jatuhnya rezim Orde Baru dan kebermanfaatan era keterbukaan informasi di mata orang-orang yang saya ajak bicara tersebut. Tapi, saya tak mencoba untuk menggangu pendapat mereka. Saya biarkan saja mereka mengutarakan apa yang mereka rasakan.

Mas Suyanto (baju putih).

Mas Suyanto (baju putih).

Saya pun hanya menjelaskan cara kerja penelitian saya, “Kita buat tulisan ini untuk naik di media online, di internet, nanti disebar. Jadi semua orang bisa baca. Paling nggak, ya masyarakat bisa membacanya dan kemudian jadi sadar dan kritis.”

“Sebenarnya sekarang ini udah banyak masyarakat yang kritis, lho, Mas?” kata Mas Suyanto menanggapi saya.

“Ya, kritis itu kan ada dua macam. Kritis yang mengeluh saja, atau kritis yang ada aksi konkretnya.”

“Nah, itu dia, yang ada ya ngeluhnya doang!” seru Mas Min, dan Mas Suyanto pun mengiyakan.

“Makanya, kalau Forum Lenteng biasanya memuat tulisan yang selain mencoba menyadarkan masyarakat, kita sebisa mungkin memaparkan semacam rekomendasi dan solusi yang bisa diikuti oleh warga yang membaca, jadi tidak hanya tinggal diam mengeluh. Ya, kita sama-sama usaha.”

Setelah itu, oborlan kami mulai beranjak jauh dari bahasan pemilu. Saya pun berpamitan dari warung Mbak Minah dan kembali ke ruangan kerja untuk langsung menulis.

Ah, sungguh aneh, memang! Di era kebeasan seperti ini masyarakat justru terkungkung dalam ketidakmengertian dan ketidaktegasan memilih. Budaya “ikut apa kata pemerintah” yang dilakukan oleh Orde Baru, justru menjadi hal yang dirindukan. Paling tidak, oleh tiga orang yang saya ajak berbincang sebagai narasumber itu.

Sekali lagi, seperti yang disampaikan oleh Mas Suyanto, “Toh yang ngusulin calon DPR itu, kan partai! Bukan usulan benar-benar dari masyarakat. Lebih baik dulu, tiga partai saja. Kita pilih saja partainya, nanti baru mereka yang tentukan. Jadinya tidak mubazir dan buang-buang duit buat kampanye. Mendingan duitnya dikasih buat orang-orang kecil beli makan.”

Ada baiknya kita tangkap cara berpikir seperti itu sebagai suatu dampak kekecewaan atas tiadanya signifikansi reformasi bagi masyarakat awam (di luar keuntungan bagi kaum intelektual dan pers). Masyarakat ingin sesuatu yang konkret, bukan kebebasan mengawang yang justru memberikan keterbatasan dalam bentuk yang baru. Jika dulu tak tahu mengapa seorang tokoh bisa terpilih jadi pejabat, sekarang masyarakat tak mengerti kok bisa begitu banyak orang bisa mencalonkan diri, padahal tak dikenal.

IMG_3580

Mungkin, masyarakat membutuhkan akses dan cara yang jelas, terukur pasti, dan mudah diindikasi langkah apa yang harus dilakukan, tidak terkecuali dalam isu pemilu ini. Sama halnya dengan pandangan masyarakat yang meyakini bahwa perbaikan jalan sebagai akses penting untuk membantu kondisi ekonomi, akses yang jelas ke informasi tentang apa dan mengapa harus memilih pun juga harus konkret. Paling tidak, akses yang jelas untuk menyampaikan aspirasi, semacam proposal perbaikan jalan. Apa jadinya jika kampanye lebih dianggap sebagai momentum yang lebih menguntungkan ketimbang waktu pencoblosan dan pasca pemilihan. Betapa, nasib demokrasi kita sekarang.

About the author

Avatar

Manshur Zikri

Lulusan Departemen Kriminologi, FISIP, Universitas Indonesia. Anggota Forum Lenteng, pelaksana Program akumassa. Dia juga aktif sebagai sebagai kritikus film di Jurnal Footage, dan sebagai Kurator di ARKIPEL - Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival.

2 Comments

  • miris sekali jika mengetahui pesan dari pemilu legislatif tidak bisa sampai ke hati para pemilih, gembar-gembor kampanye malah jadi sesuatu yang bikin bingung, dan kebingungan ini mengarahkan ke keputus-asaan yang berujung pada kerinduan ke rezim yang lalu, kalau sudah seperti ini, bisakah kita mengatakan bahwa panitia pemilu maupun parpol sudah gagal membuat fokus masyarakat untuk memilih wakilnya dengan hanya berusaha menaikkan elektabilitas dengan menjual calon presiden (bukan mensosialisasikan caleg secara baik) ? bukankah itu artinya pemilu legislatif hanya ancang2 untuk merebut kekuasaan di pilpres?

    yang lebih menyedihkan hal ini terjadi di pusat, entah bagaimana ceritanya kalau tulisan ini dibuat oleh seseorang di daerah pelosok, mungkin cerita yang didapat lebih menyedihkan 😉

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.