Jurnal Kecamatan: Senen Kota: Jakarta Pusat Provinsi: DKI Jakarta Proyek: akumassa Ad hoc

Malam di Paseban

Malam hari, 20 Oktober 2013, pukul 21:30, Lapangan Perintis ramai dengan kerumunan warga. Sebagian kubu berteriak, “Pak Agus…ayo, Pak!”, sebagian yang lain, “Andi…Andi!”. Teriakan itu berbunyi bergiliran, sesekali diselingi dengan suara wasit. Pak Agus mendapat skor tambahan 1 karena kock dari Andi tertancam di net.

malam di paseban_akumassa_05

Anak kecil yang duduk di sudut lapangan bertepuk tangan karena melihat orang lain di sekitarnya senang, yang tak lain mereka adalah pendukung kubu Pak Agus. Sedangkan Andi, yang berasal dari luar RW 02, samasekali tidak punya pendukung. Namun, dia tidak menyerah untuk dapat memenangkan pertandingan.

Apa yang tampak dari narasi alinea pertama adalah skema pertandingan bulutangkis di Kelurahan Paseban. Tepatnya, di kampung RW 02 yang memiliki 12 RT. Jika ditotal, Kelurahan Paseban mempunyai 144 RT dengan jumlah RW sebanyak 8. Pemukiman yang terbilang padat karena wilayah Paseban sendiri memiliki area yang sangat sempit. Dengan sanitasi yang kurang dan tempat pembuangan sampah yang minim.

Sanitasi yang kurang dan tempat pembuangan sampah yang minim. Warga membuang sampah sembarangan.

Sanitasi yang kurang dan tempat pembuangan sampah yang minim. Warga membuang sampah sembarangan.

Menariknya, arena pertandingan dihiasi dengan dua poster yang ditempel di tembok sekeliling lapangan.

Satu poster dibingkai dengan logo partai politik dan yang lain bergambar salah satu provider ternama di Ibukota.

“Kenapa posternya ada lambangnya parpol, Pak?” tanyaku kepada seorang bapak tua yang berasal dari RT sebelah.

“Karena kita gak punya uang buat mendanai acara ini, Mbak. Jadinya kita nyari sponsor,” jawab bapak tua itu dengan nada yang parau.

Salah satu spanduk partai politik yang menjadi sponsor kegiatan kompetisi bulu tangkis di RW 02, Kelurahan Paseban.

Salah satu spanduk partai politik yang menjadi sponsor kegiatan kompetisi bulu tangkis di RW 02, Kelurahan Paseban.

Pertandingan tersebut diadakan untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda yang akan berlangsung tanggal 28 Oktober nanti. Acara itu sengaja diminta oleh pemuda setempat dengan mengajukan program kepada Persatuan Bulutangkis dan difasilitatori oleh pihak Kelurahan Paseban. Dengan dana yang minim, panitia kemudian mencari sponsor agar acara tersebut tetap bisa berjalan.

Disela-sela perhatian saya yang tertuju kepada jalannya pertandingan, seorang ibu berteriak histeris mendukung pemain favoritnya. Bagian terakhir dari pertandingan malam tersebut membuat emosi penonton semakin terbakar. Rasa heran pun muncul perlahan. Ibu tersebut saya dekati untuk berbincang ringan.

“Ibu saudaranya Gatot dan Yanto?” tanyaku.

“Bukan, Mbak, saya sekampung dengan mereka,” jawab ibu yang sangat cergas itu.

Kemudian saya menghadangnya dengan pertanyaan lagi, “Acara ini ada buat apa sih, Bu?”

Dengan euforia seorang pendukung yang masih meninggi, ibu tersebut menjawab, “Bentar lagi, kan Sumpah Pemuda, Mbak?! Harus kita rayakan, dong! Biar dikate orang Indonesia!”

Pertanyaan yang singkat tersebut kemudian menghantarkan pemahaman yang baru terhadap saya pribadi. Sebuah masyarakat yang mencoba mengajarkan apa itu nasionalisme  terhadap anak kecil yang ada di Kelurahan Paseban tersebut. Sebab, nantinya acara-acara seperti itu harus dan wajib diadakan setiap tahunnya, bertepatan dengan momen-momen hari kebangsaan, seperti peringatan kemerdekaan dan hari sumpah pemuda.

malam di paseban)akumassa_04

Kerumunan anak kecil berada di sudut lapangan dengan jumlah yang tidak begitu banyak. Sebab, hampir setiap hari saya menjumpai puluhan anak kecil, sedangkan yang menonton pertandingan tidak ada puluhan orang. Hari Senin yang mengharuskan masuk sekolah dan mengikuti upara bendera menyebabkan kawan-kawan mereka harus belajar di rumah. Mempersiapkan benda keperluan sekolah dan tentunya topi merah untuk upacara bendera.

Lantas saya pun bertanya iseng ke kerumunan anak kecil tersebut, “Kalian senang? Kalian ga takut besok akan telat masuk sekolah?”

Mereka pun menjawab, “Senanglah, soalnya jarang yang ada beginian!”

Lapangan Perintis, Kelurahan Paseban, RW 02 (gambar diambil pada pagi hari).

Lapangan Perintis, Kelurahan Paseban, RW 02 (gambar diambil pada pagi hari).

Malam di Paseban kian larut. Banyaknya warga yang semula berkerumun pun seorang demi seorang pulang. Dan anak-anak kecil mulai dipanggil orang tuanya untuk pulang. Yang tersisa dalam arena tersebut adalah pemain, wasit, Pak Lurah dan beberapa penonton saja. Semangat yang semula berapi-api kini mulai perlahan mengecil.

Akankah nasionalisme warga Paseban juga mengecil? Semoga acara pertandingan semacam ini masih ada di tahun depan, sebagaimana harapan yang diutarakan ibu muda yang sangat cergas itu dalam perbincangan singkat kami.

___________

Artikel ini merupakan bagian dari kegiatan akumassa Ad Hoc, sebuah proyek yang diinisiasi oleh Program akumassa Forum Lenteng, dalam rangka berpartisipasi pada Jakarta Biennale 2013–SIASAT.

About the author

Avatar

Auviar Rizky Wicaksanti

Auviar Rizky Wicaksanti, biasa dipanggil Ghembrang Rebelluna, adalah seorang mahasiswi Jurusan Antropologi, di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Ghembrang juga aktif di Komunitas Anak Seribu Pulau, Divisi Riset Balairung. Saat ini, Ghembrang terlibat aktif dalam kegiatan akumassa, khususnya proyek akumassa Ad Hoc.

1 Comment

  • Ghembraaaang! Adikkuuuu… Membaca tulisanmu sedikit banyak mengobati kangenku sama kamu. Dan kalau tahu kamu di Jakarta, aku harus cari kamu! Hehehehe.

    Sukses ya, semoga partisipasimu di Ad-Hoc akumassa berjalan lancar. Dan, sampai ketemu! 🙂

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.