Darivisual Kecamatan: Senen Kota: Jakarta Pusat Provinsi: DKI Jakarta Proyek: akumassa Ad hoc

Kehilangan Identitas; Kebertahanan ala Jakarta

Avatar
Written by Muhammad Sibawaihi
Tidak jarang saya mendengar orang secara sinis membuat pertanyaan sekaligus pernyataan kepada saya, atau bahkan sering sekali terjadi hal yang sama kepada Anda, ketika menemukan seorang yang merasa sangat tahu tentang sejarah suatu daerah tertentu, atau daerah kita sendiri, melebihi yang kita tahu.

Biasanya mereka berkata, “Kenapa kamu tidak mengetahui sejarah tempat tinggalmu…?” atau “Kenapa kamu tidak tahu sejarah tentang nenek moyangmu…?” Dan berbagai pertanyaan mengenai asal usul daerah atau sejarah nenek moyang kita.

Atau, kita sering terjebak pada kode kedaerahan. Kode itu semacam jimat atau—bukan bermaksud melebih-lebihkan—bencana bagi kita. Seperti misalnya, sebagai orang Jawa, kita lebih memilih makan di ‘warung Jawa’ atau warteg, atau karena kita orang Padang, maka tidak ada yang lebih enak dari pada masakan Padang. Seringkali juga, kita dengan sengaja makan di warung dengan kode daerah lain hanya untuk mengetahui apakah masakan warung dengan kode daerah tersebut senikmat makanan dan masakan di warung dengan kode daerah yang kita tahu.

Osterhammel pernah mengungkapkan bagaimana perilaku sebuah koloni ketika ia berada dan hidup pada koloni yang lain. Bahwa dengan menolak kompromi budaya dengan penduduk terjajah, mereka meyakini superioritas mereka sendiri dan mandat mereka ditahbiskan untuk memerintah.[1]

Pada kalimat di atas, saya sengaja mengganti kata ‘menjajah’ dengan kata ‘berada’. Hal ini kemudian menjadi acuan pada penulisan ini.

Kehidupan yang serba relatif sedang kita hadapi. Setiap hal akan dinilai dengan menggunakan kata ‘tergantung’: “Tergantung dari sisi mana kita melihat dan menilai sebuah peristiwa atau kejadian”, atau “ke-tergantung-an apa yang membuat kita menilai sesuatu”.

Secara harfiah, colonize bisa berarti menjajah atau mendiami suatu daerah baru.

Saya sedang berada di sebuah daerah multikoloni. Sebuah daerah yang terletak di Jakarta Pusat. Tepatnya, di lingkungan Keramat Sawah, Kelurahan Paseban, Kecamatan Senen. Sebuah daerah yang memiliki nilai historis dan juga memiliki memori suram tentang kolonialisme. Daerah Jakarta, dahulunya, memang dikenal dengan sebutan Batavia, di mana kawasan Paseban menjadi pusat perkumpulan pejuang dari Kerajaan Mataram pada tahun 1628 dan tahun 1629.

Saya kemudian bersyukur menjadi bagian dari tim akumassa ad hoc, yang sedang melakukan kajian mengenai kawasan Senen, untuk kebutuhan Jakarta Biennale 2013. Membedah Senen dari mata individu dari koloni yang lain, adalah sebuah proses yang sangat unik. Unik karena membayangkan Jakarta sebagai sebuah kota metropolitan—hasil rekayasa kolonialisme—yang menjadikannya jantung kota, harus dibedah oleh individu yang melebur ke dalam multikoloni masyarakat Paseban, Senen, Jakarta Pusat.

Penilaiannya kini semakin berkembang. Sebab, Senen tidak lagi dilihat dari satu sudut, tetapi dari berbagai macam sudut yang didapatkan dari daerah yang lain.

Sebuah wawancara pagi dengan seorang sepuh di Keramat Sawah, biasa dipanggil Pak Asmuni, memberikan gambaran masyarakat Paseban. Meski tanpa ia sadari, dia juga sedang ikut mendiskusikan dan membingkai Jakarta dari kacamatanya. Ia berbicara tentang mentalitas masyarakat pendatang dan masyarakat lokal. Kecenderungan koloni pendatang yang memiliki etos kerja yang lebih daripada koloni lokal. Ungkapannya mungkin saja tanpa referensi dari sebuah literatur terkenal, dan lebih bersifat pengalaman dari fase kehidupannya.

Senen terkenal dengan banyak hal. Bahkan, teman saya yang juga tergabung dalam tim akumassa ad hoc menulis dalam jurnal online www.akumassa.org tentang rasa parno yang dialaminya ketika pertama kali berda di Senen. H. Misbach Yusabiran (alm) juga pernah menulis Senen sebagai pusat ‘aksi berkesenian dan kebudayaan’ di Jakarta. Juga banyak literatur yang menerangkan bagaimana Senen menjadi pusat percampuran budaya.

Ketika mengunjungi Proyek Senen, tepatnya di pusat penjualan barang bekas (umumnya baju bekas – ed.), yang oleh beberapa teman dan warga yang saya kenal, diistilahkan sebagai pedagang Ayolah[2], kita akan merasa berada pada subkultur masyarakat Indonesia yang lain di sana. Secara audio, kita akan mendengar dialek melayu (Sumatera) yang khas dari pedagang-pedagang yang umumnya berasal dari Padang (Sumatera Barat dan Sumatera Utara – ed.). Mereka menawarkan barang dengan cara berpantun, saling sahut antar satu pedagang dengan pedagang yang lain. Bahkan, jika kita naik angkutan kota (angkot)—atau merelakan diri berjalan kaki—kode-kode kedaerahan pun, secara visual juga dengan sangat jelas terlihat.

Yang lebih indah untuk dinikmati sebagai sebuah kajian budaya adalah perkampungan kota yang terletak di Senen, salah satunya di wilyah Keramat Sawah, Paseban. Kumpulan manusia dari berbagai suku dan budaya, percampuran dialek dari berbagai penutur yang sudah bias ke dialek Betawi, serta percampuran watak dari berbagai latar belakang, bagaikan sekoloni merpati yang hidup berdampingan dengan unsur dan warna yang berbeda. Maka dalam frame video, multikoloni ini menjadi kumpulan gambar yang indah.

Sebuah perkampungan padat penduduk, dengan memberdayakan lahan kosong menjadi hunian atas keberagaman, mengoptimalkan ruang menjadi area bisnis dan memanfaatkan lapangan menjadi arena perkumpulan dan bermain, membuat daerah ini menjadi menarik. Ibu-ibu bisa duduk berjam-jam, ngobrol dengan sangat akrab tanpa memikirkan asal-usul. Bapak-bapak bisa menjadi satu tim dalam permainan bulutangkis dan bermain sangat kompak, tanpa harus menimbang masalah latar belakang dan sejarah nenek moyang. Anak-anak berkumpul dalam satu tim futsal meski orangtua-orangtua mereka berasal dari koloni yang lain. Kaum minoritas dipersilahkan memilih hiburan mereka dan tidak perlu mengkhawa-tirkan masalah daerah atau kekuasaan. Mereka yang merasa termarjinalkan dari koloni mereka karena perbedaan ideologis, bisa bergabung dengan orang lain yang juga termarjinalkan dari kelompok mereka. Membentuk suatu wadah minoritas yang diterima dalam wadah yang lebih besar.

Setelah perpindahan kekuasaan VOC dari Ambon ke Batavia (Jakarta), Batavia diubah menjadi sebuah daerah dengan kultur yang dibentuk oleh Belanda. Berbagai macam koloni yang masuk dan hidup di Batavia seakan kehilangan identitas. Baru kemudian jauh sesudah peristiwa itu, sekitar abad ke 19, oleh Husni Tamrin, ketika peristiwa Volksraad, dibentuklah satu suku untuk menyatukan berbagai macam koloni yang ada di Batavia, yaitu Betawi.

Dewasa ini, ‘kehilangan identitas’ seakan jadi sebuah solusi baru bagi masalah sulitnya menyatukan keberagaman identitas yang ada di Indonesia. Sepertinya, baik sekali membayangkan jika semua orang tidak lagi menyebut koloni mereka sebagai sebuah pernyataan sikap. Sebab, seringkali kita terjebak pada kode kesukuan dan kedaerahan itu. Sebagai contoh, masalah ini juga terjadi di daerah saya, di Lombok. Mentalitas ‘keterjajahan’ menghinggap dan menjadi bumerang pada koloni ini, seperti ketakutan yang sebetulnya adalah kesadaran terhadap kekurangan. Peristiwa sengketa tanah di Trawangan, misalnya, terjadi karena warga lokal memiliki ketakutan terhadap hadirnya warga pendatang. Atau pada ranah aktivitas seni dan budaya, misalnya, muncul semacam sentiman atau kecemburuan sosial antara seniman lokal dan seniman pendatang: berebut pengaruh dan ketenaran, saling tuding dan tuduh sana-sini.

Coba kita melirik ke Jakarta! Seperti yang kita tahu, di Jakarta, jika ada koloni yang mampu bertahan dengan menjual pakaian baru dengan harga mahal kepada pembeli dari kalangan kelas atas (orang kaya), koloni lain akan mampu bertahan, bahkan menandingi, dengan menjual baju bekas dengan harga murah kepada pembeli dari kalangan kelas menengah ke bawah (tak jarang, warga kelas atas pun akhirnya menjadi pelanggan mereka pula).

Atau misalnya, semakin menguasanya studio XXI, yang saat ini semakin men-digital sebagai trend bagi kebiasaan menonton warga kota, mengurangi jumlah ruang pertemuan warga kota subaltern (kaum homoseksual dan kalangan tertentu lainnya) yang membutuhkan ruang publik spesifik bagi kalangannya yang tidak hanya menjadikan bioskop sebagai tempat khusus untuk menonton, melainkan sebagai tempat semacam klub spesifik. Bioskop Grand Senen, salah satunya—yang bertahan dengan ke-analog-annya, disebabkan oleh kekeraskepalaannya untuk tidak berubah menjadi bioskop digital, tidak terbeli oleh jalur distribusi XXI (dan kemudian menjadi sekarat dalam situasi monopoli distribusi filem)—ia masih tetap bertahan sebagai sebuah bioskop yang menyediakan ruang bagi mereka yang tidak memiliki akses atas pengalaman menonton ke XXI.

Kita sadari, ada semacam keuntungan ekonomis akan gejala the loss of identity, atau lebih tepatnya ignorance ini. Ketidakpedulian harus makan apa hari ini dan di mana makannya, harus  bergaul dengan siapa, harus menolong siapa, bekerja untuk siapa dan banyak lagi, justru memunculkan hasrat untuk bertahan dan keharusan untuk ‘mencair’ pada perbedaan-perbedaan.

Di Keramat Sawah, Paseban, tepatnya pada sirkulasi massa yang terjadi di sekitar Lapangan Perintis, kami (tim akumassa ad hoc) mencair dengan koloni-koloni yang berbeda. Keberagaman ini menjadi indah seperti deretan kue-kue warna-warni dengan pola dan bentuk yang berbeda. Ia seperti komposisi warna dan bentuk pada sebuah frame, menjadi sebuah lukisan yang indah. Membongkar Senen, sama seperti membongkar tumpukan kue. Ia tidak hanya menjadi indah dalam penampilan, namun juga secara konten.

Susunan rumah yang tampak kumuh, dengan jalan sempit dan saluran pembuangan yang dipenuhi sampah, menyimpan koloni-koloni yang megah atau ingin hidup megah. Tanpa harus terjebak pada kode identitas sosial, ekonomi dan budaya.

_____________________

[1]. Diakses dari http://www.slideshare.net/pargawati/imperalisme-kolonialisme, tanggal 21 November, 2013.

[2]. Istilah ini diambil dari bunyi suara yang diucapkan oleh para pedagang, yakni “Ayolah! Ayolah”

*Tulisan ini sudah dimuat di dalam buku Akumassa Ad Hoc, berjudul “Seni di Batas Senen” (Forum Lenteng, 2013). Jurnal tersebut merupakan salah satu karya hasil kolaborasi para penulis dari beberapa komunitas yang terlibat dalam proyej akumassa ad hoc yang diinisiasi oleh Program akumassa Forum Lenteng, dalam rangka berpartisipasi dalam Jakarta Biennale 2013 – SIASAT.

About the author

Avatar

Muhammad Sibawaihi

Dilahirkan di Desa Pemenang, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, pada tanggal 20 Mei 1988. Lulusan IKIP Mataram jurusan Bahasa Inggris. Ia adalah Direktur Program di Yayasan Pasirputih. Sehari-harinya ia juga aktif sebagai penulis dan kurator.

2 Comments

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.